Mohon tunggu...
Ferika Sandra
Ferika Sandra Mohon Tunggu... Penulis - Mahasantri Kontemporer

Saat ini sedang dalam masa inkubasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang - Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Politik

Elegi Dualisme PC PMII

21 Januari 2021   02:36 Diperbarui: 21 Januari 2021   02:42 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dualisme Kepemimpinan PMII Banyuwangi. (Foto. Timesindonesia)

Membincang gerakan mahasiswa tentu akan menjadi diskursus panjang dalam perjalanannya. Tak ayal, gerakan mahasiswa yang kini kembali menjadi nafas segar bagi masyarakat. Sebab meski di tengah pandemi Covid-19 tidak menyurutkan aksi kawan-kawan mahasiswa untuk terus berada digarda terdepan mengawal kebijakan.

Termasuk aksi puluhan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Banyuwangi. Selain menuntut transparansi, massa aksi menganggap, besaran anggaran penanganan Covid-19 dinilai tidak dapat meminimalisir kasus positif.  

Tapi tulisan ini tidak akan jauh membahas perihal hiruk-pikuk tuntutan tersebut atau masifnya masyarakat yang saat ini terdampak pandemi Covid-19 yang mulai meredup kesadarannya diakar rumput. Penulis justru terpantik melihat hegemoni gerakan mahasiswa utamanya di wilayah Bumi Blambangan tempat penulis dilahirkan. Sebab beberapa kawan yang penulis kenal sempat menyampaikan ihwal dialektika gerakan ini.

Melihat gerakan mahasiswa di Banyuwangi tentu memiliki catatan panjang. Aksi turun jalan serta beragam pola-pola diskusi yang dikembangkan menandakan gerakan ini tak pernah tidur. Meski penulis akui jika repetisi dan pengulangannya akan berbeda jika dibandingkan pada masa akhir 90 an. Jika pada masa itu seluruh gerakan satu suara saat turun kejalan, saat ini justru berbeda.

Dimana masing-masing gerakan terkadang memiliki cara pandang tersendiri saat melihat suatu gejolak sosial di masyarakat. Dampaknya aksi-aksi yang dilakukan kadang justru hanya dilakukan secara mandiri tidak lintas gerakan mahasiswa dari organisasi lain. Entah lantaran cara pandang yang berbeda atau ketidak samaan respon dalam melihat gejolak sosial.

Konflik Kepentingan

Tidak hanya lintas Gerakan Mahasiswa, di dalam organisasi kadang juga muncul polemik yang membedakan cara pandang kita dalam berproses di organisasi mahasiswa. Penulis cukup terdistraksi saat mendengar gerakan mahasiswa dalam hal ini Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Banyuwangi memiliki perbedaan cara pandang dalam memilih ketua umum.

Mengapa penulis ingin membahas gerkan ini, sebab tidak hanya di Banyuwangi saja, dari kampus penulis berasal di Malang wadah gerakan ini cukup masif diperbincangkan dan menjadi salah satu wadah pilihan organisasi pergerakan. Tidak hanya dalam sudut pandang wacana pergerakan namun juga marwah dalam keorganisasiannya.

Pun begitu, penulis yang sempat kali terahir melihat perkembangan Gerakan ini di Bumi Blambangan mengaku masygul. Akibat adanya saling silang pandangan hingga mengakibatkan perpecahan antar pengurusnya. Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Banyuwangi, PMII Komisariat Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy menolak keputusan Konferensi Cabang (Konfercab) XXII PC PMII Banyuwangi.

PC PMII Komisariat IAI Ibrahimy merasa tidak dilibatkan dalam pemilihan ketua di Konfercab sehingga menggelar aksi turun kejalan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Maron, Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng Banyuwangi. Bahkan akibat penolakan tersebut, muncul dualisme kepemimpinan. PC PMII Banyuwangi yang dipimpin Sahabat Saifurrahman, sedangkan PC PMII Banyuwangi Selatan diketuai Ach. Faisal Hikam Hamdani.

Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi kalangan Mahasiswa, utamanya anggota di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Banyuwangi. Sebab dengan adanya dualisme kepemimpinan ini menjadikan perbedaan visi organisasi didalamnya. Meski tidak dipungkiri polemik yang terjadi bagian dari dinamika organisasi yang biasa terjadi, tetap saja hal ini akan berimplikasi negatif.

Wadah Gagasan

Idealnya harus ada penengah untuk meredam kedua belah pihak agar tetap satu gagasan dalam berorganisasi. Sebab, jika berlarut-larut dualisme kepemimpinannya juga akan berdampak pada aksibilitas dan keberlangsungan organisasi kedepannya. Hal ini tentu akan berdampak pada segala hal yang berkaitan dengan organisasi.

Memang ego sektoral dari kedua kubu selalu memiliki pembenar untuk selalu menjadi yang terbaik. Namun perlu digarisbawahi bahwa segala sesuatu tersebut perlu diredakan terlebih dahulu guna keberlangsungan organisasi agar lebih baik kedepannya. Agar penyalurkan gagasan dengan akses  orgasnisasi tidak terjadi kendala.

Sehingga niatan awal organisasi gerakan mahasiswa dalam mewadahi gagasan yang ingin disampaikan tetap berjalan sempurna tanpa ada konflik kepentingan. Sebab keinginan untuk terus mengembangkan kemampuan dan ikut berpartisipasi sekaligus turut serta aktif dalam kegiatan keorganisasian menjadi salah satu hal yang menarik bagi mahasiswa.

Bisa menjadi bagian dari Organisasi Gerakan Mahasiswa adalah salah satu jalan untuk bisa mewadahi gagasan agar tetap bisa menjaga kewarasan. Hamat saya organisasi Gerakan Mahasiswa akan memberikan kontribusi penuh terhadap anggotanya dalam belajar didunia pergerakan dan politik kampus.

Tentu bukan gerakan yang pragmatis dan politik praktis. Sepemahaman penulis fungsi gerakan mahasiswa sebagai kontrol sosial cukup mendapat beban moral. Hal ini menjadi penengah antara kaum elite dan alit agar menjadi mediator publik. Fungsi taktis inilah bisa diasah melalui grakan mahasiswa sebagai kontrol sosial dengan dua cara.

Pertama, peran mahasiswa sebagai alarm dimana mahasiswa berfungsi sebagai pemberi sinyal adanya kesenjangan antara harapan publik dan penguasa sebagai pemberi hak publik. Secara otomatis, sinyal itu menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan koreksi diri. Dengan kata lain, mahasiswa melakukan gerakan untuk mengingatkan pemerintah melalui aksi-aksi mahasiswa, baik aksi agitasi maupun aksi turun ke jalan.

Kedua, peran mahasiswa sebagai palu yang merupakan alternatif berikutnya yang ditempuh ketika peran sebagai alarm tidak membuahkan solusi pasti. Pada tahap ini gerakan mahasiswa langsung berdampak pada perubahan sosial. Mahasiswa tidak lagi bersifat pasif, akan tetapi lebih aktif dalam melakukan perubahan sosial. Peran mahasiswa dalam melakukan kontrol sosial mutlak diperlukan untuk mencegah adanya akumulasi kekuasaan di tubuh pemerintahan yang sedang berjalan.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun