Mohon tunggu...
Ferhat Muchtar
Ferhat Muchtar Mohon Tunggu... lainnya -

Author/Tourism Writer. Dreamers. Ex Banker Suka melamun. Nggak betah dengan bulu kucing dan asap rokok. Tukang koleksi buku-buku. Mantan teller. Penggiat FLP Aceh. Kalap ngeblog di www.ferhatt.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kuburan Massal di Rumah Sakit

27 Desember 2013   08:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah sejak peringatan ke berapa, setiap tanggal 26 Desember aku sempatkan berkeliling kota. Merasakan bagaimana air merambat ke daratan, dan kota hancur selepas itu. Sekedar mengenang agar tak abai. Dulu-dulu kegiatan ini kerap kujalani sendiri atau bersama kakak tertuaku. Ulee Lheue adalah tujuan utama. Sebab daerah pesisir ini paling parah terkena tsunami 26 desember 2004 silam. Dan tahun ini kegiatan itu kulakukan ulang tepat diperingatan sembilan tahun. Beberapa teman ikut serta. Libur panjang membuat mereka ingin melepaskan penat. Kisaran pukul 09:00 WIB aku bersama Aslan, Adit, Junaida, dan Isni berkumpul di pusat perbelanjaan Pante Pirak. Pagi tadi suasana kota sedikit syahdu. Ada hawa beda yang kurasakan. Hal sama diiyakan Adit. “Hari ini kayak lebaran bang!” Langit sedikit temaram. Jalanan tak terlalu padat. Hilir mudik warga kota berpakaian putih menuju tempat berdoa. Bendera merah putih di beberapa tempat dikibar setengah tiang. Suara mengaji sayup-sayup terdengar dari menara mesjid hingga meunasah. Menurutku peringatan tahun ini jauh lebih semarak. Mungkin juga karena bertepatan cuti bersama. Atau juga karena di beberapa sekolah sengaja diliburkan aktivitas yang diganti doa bersama. Sepeda motorku menembus jalan lengang di Ulee Lheue. Parkiran padat mulai tampak di seputaran komplek kuburan massal. Beberapa polisi tampak sibuk mengatur lalulintas. Memasuki kompek ini, pengunjung dianjurkan mengambil air bunga untuk disiram di makam. Air bunga disediakan gratis oleh penyelenggara. Juga disediakan kotak infaq bagi yang ingin bersedekah. Ternyata peringatan tsunami masih menjadi daya tari tersendiri. Terbukti belasan wartawan lalu lalang. Ketika aku tiba, serombongan wisatawan Malaysia juga ikut berziarah.

Komplek kuburan ini lumayan luas. Lahannya mencapai 15.800 m. Dulunya disini berdiri Rumah Sakit Meuraxa. Ketika tsunami banyak mayat berserakan tak tahu harus dikebumikan dimana. Inisiatif, halaman rumah sakit ini pun digunakan. Hingga akhirnya menjadi kuburan massal yang menampung lebih 14.800 jenazah! Hingga kini bangunan Rumah Sakit Meuraxa yang hancur dihempas tsunami masih dipertahankan. Retakan bangunannya masih tampak terlihat. Disini terdapat tiga gedung utama yang semuanya hancur. Kerugiannya ditaksir mencapai 25 milyar.
Aku berjalan menyusuri komplek ini selepas berdoa. Di dekat balai pertemuan terpajang pameran foto yang dikerubungi warga. Kebanyakan foto-foto tsunami di kawasan Ulee Lheue. Mengintari kuburan massal ini jauh dari kesan angker. Rumput hijau padat terpangkas rapi. Di atas gundukan tanah bertebaran batu-batu gunung dalam ukuran besar. Pohon trembesi tumbuh teduh di pinggir lintasan kaki yang ditaburi koral putih. Sekilas mirip taman kota. Di ujung komplek terdapat sisa bangunan Rumah Sakit. Sisa bangunan ini dikeliling tiang rendah. Aku sempatkan untuk masuk ke dalamnya. Melihat bekas air yang melekat di dinding gedung. Retakan dinding. Atau lantai keramik yang tercerabut tak beraturan. “Ketika tsunami datang, gimana ya pasien disini?” tanya Junaida yang membuatku bergidik. Aku terdiam. Lebih tepatnya tak mampu berkhayal ketika masa itu terjadi. Bagaimana pasien yang lunglai harus pontang panting berlarian ketika air datang. Atau memilih pasrah ketika air laut menghantam. Sebab jarak rumah sakit dan laut sangat dekat. Hanya terbilang beberapa ratus meter. Bahkan bangunan ini hancur hingga lantai ketiga. Jika pun selamat itu mukjizat. Kompleks kuburan massal ini berada dalam satu area pusat mitigasi bencana tsunami TDMRC. Kantor TDMRC menjulang tinggi. Fungsinya bukan sekedar perkantoran, tapi juga dijadikan bangunan penyelamat jika tsunami datang kembali. Bangunannya didesain tahan gempa. Bangunannya pun lebih banyak ruang terbuka hingga memudahkan air mengalir. Di samping gedung juga tersedia lintasan penyelamatan. Bentuknya berupa lantai landai yang menghubungkan hingga teras teratas serupa hall. Aku mencoba melintasinya. Diikuti oleh beberapa pengunjung lainnya.
Dari atas ternyata pemandangannya indah sekali. Daerah Ulee Lheu terlihat sempurna. Lautan terhampar biru di depan. Di kejauhan samar Pulau Weh/Sabang terlihat. Ombak berdesir halus. Tak ada yang mengira laut tenang itu, sembilan tahun lalu menggelegak merambat ke daratan. Menghamuk apa yang ada, hingga terisak bagi mereka yang ditinggalkan. #9ThnTsunami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun