Mohon tunggu...
Ferhat Ferhatt
Ferhat Ferhatt Mohon Tunggu... -

Ferhat, lahir di Banda Aceh, 24 September 1985. Menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Tahun 2001 bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Pernah menjabat menjadi ketua Umum FLP Aceh periode 2006-2008. Antologi cerpen yang sudah dipublikasikan diantaranya, Bintang di Langit Baiturrahman, Meusyen, Biarkan Aku Bercinta Sendiri, Rumah Matahari Terbit.. Beberapa tulisannya memenangkan lomba kepenulisan seperti yang diselenggarakan oleh Dokarim, BRR-Aceh Institute, Plan Aceh, BKKBN Aceh, Impact-Mercy Crops. Mendapatkan penghargaan sastra dari Balai Bahasa Aceh 2009. Serta beberapa tulisannya juga dimuat di media lokal dan nasional, seperti Harian Aceh, Sabili, Annida, Seputar Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku dan FLP

4 Agustus 2012   16:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebersamaan ini terus berlanjut. Tanpa dikomandai kami seperti keluarga kecil yang berbahagia. Disana, saya mulai mengerti bagaimana berkarya dengan baik. Menulis bukan hanya sekedar membuang isi kepala, namun  juga harus meyebar nilai kebaikan. Hal-hal yang mungkin terdengar sepele, namun sulit didapat diluar sana. Perlahan dengan keterbatasan, saya berusaha memberikan yang terbaik. Dan hasilnya, beberapa karya saya dimuat di antologi dan surat kabar. Melihat itu girangnya tak terkira. Disini saya mulai menyadari. Kami menulis bukan untuk berkompetisi, tapi untuk saling berbagi.

Hingga suatu ketika, masa sewa sekret usai. FLP harus angkat kaki. Pemilik ruangan tak lagi berniat menyewakan. Ia ingin mengubah ruangan yang FLP tempati menjadi gudang usahanya. Perlahan saya dan teman-teman berkemas. Mengangkut inventaris FLP yang tak seberapa. Bersyukur, salah satu anggota FLP sedang merintis usaha. Disanalah saya dan teman-teman berdiam diri. FLP hanya mampu menyewa beberapa meter dari ruangan lantai dua. Cukup untuk meletakkan inventaris organisasi. Untuk berkumpul? Bersyukur, lagi-lagi saya menemukan keikhlasan hati membagi dari teman-teman FLP. Kami dibebaskan menggunakan semua sudut ruangan untuk berdiskusi.

Pada masa itu, untuk keduakalinya saya menarik diri dari FLP. Alasannya sederhana. Saya takut dicalonkan menjadi ketua umum FLP Aceh. Mendekati muswil saya menghilang, sebab mendengar nama saya digadang-gadang menjadi salah satu calon. Saya yang tipikalnya sedikit pemalu dan cenderung pendiam, merasa tak mampu melibatkan diri lebih besar di FLP. Diakui menjadi anggota saja bagi saya cukup membanggakan. Tak ingin berharap minta lebih.

Hingga lantas, duka itu datang tiba-tiba. Air menggulung tinggi. Menghanyutkan dan merusak apa yang ada. Termasuk sekretariatan FLP Aceh. Banda porak-poranda dalam kedipan mata. Semua kacau. Hancur. Saat itu semuanya mengungsi. Pergi meninggalkan Banda yang nyaris tanpa nadi.

Di pengungsian, saya mendapat kabar kalau ramai teman-teman FLP yang pergi digerus gelombang; Meutia Maelda, Faryati, Rita Ulfia teman-teman yang begitu ikhlas membangun FLP dari keterbatasan. Bahkan yang sulit saya utarakan, saat menerima kabar Diana Roswita turut meninggal dalam pelukan bersama dua putra kembarnya. Jujur ini menyedihkan. Sedih. Kehilangan begitu banyak teman dalam satu waktu tentu diluar dugaan. Saya yang lama tak bersua lagi dengan rekan-rekan FLP merasa luka yang teramat. Merasa tak yakin. Pedih sekali. Mungkin perasaan ini terkesan berlebihan, namun itulah yang saya rasakan.

Banda kembali berdenyut. Sungai mulai mengalir tenang. Ramai orang berhilir mudik. Laut tak lagi mengamuk. Saya dibuncah rasa untuk mengetahui kabar FLP terbaru. Meninggalkan FLP dengan kondisi luluh lantak setelah tsunami, membuat saya tergerak untuk kembali dan berbuat lebih. Dan Tuhan seakan mendengar harapan itu.

Tak diduga, disaat saya sedang menempuh tahun pertama dibangku perkuliahan. Saya mendapat kabar dari selebaran yang ditempel disudut toko buku yang sering saya kunjungi. Anggota FLP Aceh harap berkumpul di Perumnas Sentosa, Tungkop. Dibawahnya tergambar sketsa kasar denah rumah tujuan.

Ingin rasanya bersegera kesana. Bergabung kembali dan merasakan kebersamaan seperti dulu. Namun urung! Saya malu. Lebih tepat tak berani untuk memunculkan diri. Terasa bodoh, hadir untuk kedua kali disaat dulu sempat menghilang. Tapi disudut lain, hati ini terus memaksa. Saya harus kesana! Harus! Harus!

Dan dilarut malam sebuah SMS masuk. Dari Cut Intan. Dengan gayanya yang tegas ia mengabarkan kepada saya untuk hadir dipertemuan perdana pasca tsunami di Tungkop. Jika tak hadir akan dicoret dari keanggotaan FLP. Itu SMS yang terdengar begitu kejam.

Saya nekad! Dengan menumpangi angkot saya menuju ke Perumnas Sentosa, Tungkop. Tak tahu dimana lokasinya. Tak tahu di rumah siapa. Saya beranikan diri hingga nyasar mencari tujuan. Sesampai disana setelah berputar-putar, saya menemukan wajah-wajah baru; Alimuddin, Eqi, Ubai, Arief. Saya tak mengenal mereka, namun sambutan hangat yang membuat saya betah hingga lupa waktu. Dan lagi-lagi saya diterima dengan terbuka. Disambut hangat. Tak ada dendam atau kecewa dari mata mereka.

Siang itu pertemuan lebih banyak dihabiskan dengan bincang-bincang tentang FLP. Dan juga tentang kerusakan sekretariat FLP akibat digerus gelombang. Tak banyak barang-barang yang diselamatkan. Bahkan piala juara 1 Nasional sebagai FLP terpuji di Jogjakarta, juga tak terselamatkan. Piala yang membuat kami begitu bangga hingga membawanya ke meja Walikota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun