Mohon tunggu...
Ferhat Ferhatt
Ferhat Ferhatt Mohon Tunggu... -

Ferhat, lahir di Banda Aceh, 24 September 1985. Menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Tahun 2001 bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Pernah menjabat menjadi ketua Umum FLP Aceh periode 2006-2008. Antologi cerpen yang sudah dipublikasikan diantaranya, Bintang di Langit Baiturrahman, Meusyen, Biarkan Aku Bercinta Sendiri, Rumah Matahari Terbit.. Beberapa tulisannya memenangkan lomba kepenulisan seperti yang diselenggarakan oleh Dokarim, BRR-Aceh Institute, Plan Aceh, BKKBN Aceh, Impact-Mercy Crops. Mendapatkan penghargaan sastra dari Balai Bahasa Aceh 2009. Serta beberapa tulisannya juga dimuat di media lokal dan nasional, seperti Harian Aceh, Sabili, Annida, Seputar Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Bapak Sepuluh Tahun Lalu

4 Agustus 2012   16:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia seperti tak ingin kalah dengan stroke yang menyerangnya tiba-tiba. Selama di bangsal, ia menggenggam hingga lumat buah jeruk purut yang bertekstur kasar. Melatih kepekaan kembali jari-jari tangannya yang sempat kaku.  Sepanjang pagi, ia mengangkat kakinya pelan-pelan. Melatih lututnya yang sempat tertahan. Maka disana, aku melihat Bapak sebagai sosok yang tak ingin kalah.

Ia berhasil melawan stroke pertamanya. Dokter china yang merawat Bapak menaruh bangga dengan upaya-upaya dilakukannya. Untuk kali ini, stroke kecil itu berhasil dikalahkan. Ia hanya butuh terapi. Hingga minggu-minggu selanjutnya, secara bergantian kami mengantar Bapak ke fisioterapi. Menumpang becak. Melihat ia tertatih-tatih berjalan selayak balita. Memainkan jari-jarinya dengan bandul-bandul kecil hingga ia mampu menggenggam kembali.

Aku pernah mendengar, jika seseorang terserang stroke dan sedikit merasa pulih. Lambat laun, penyakit itu kembali datang dengan frekuensi setingkat lebih tinggi. Aku tak paham anggapan itu. Namun, dengan Bapak aku seperti mengiyakan pernyataan itu.

Februari 2000, stroke kembali datang menyergap Bapak. Jantung dan darah tinggi yang diidapnya lama seperti pengundang yang paling ampuh. Kali ini stroke menyerang kerongkongannya. Lendir penuh memenuhi kerongkongannya hingga ia sulit berujar-ujar. Untuk minum makan, itu sangat menyiksa Bapak. Air seakan tak tertampung baik di kerongkongannya, dan tak menebas rasa hausnya. Ia lebih banyak memuntahkannya. Mengunyah makanan, ia kesulitan. Tumpah ruah kembali muntah. Hanya sedikit yang mampu ia telan dengan baik. Bahkan pernah selang panjang dimasukkan dari celah hidungnya sebagai pengganti saluran makanan. Dari sana, nasi halus dan minuman disuntik perlahan-perlahan. Bapak terlalu tangguh dengan deritanya. Tak sekalipun ia mengeluh.

Kondisi ini membuat Bapak lemah. Tubuh besar jangkungnya beringsut perlahan-lahan. Bobotnya turun drastis. Gerakannya juga semakin lambat. Sesekali lendir kental mengucur dari mulutnya tanpa ia sadari. Bapak semakin parah.

Segala upaya dilakukan. Dari tradisional hingga menyedot lendir dengan bantuan medis. Hanya mampu bertahan sejenak. Lendir-lendir itu kembali memenuhi kerongkongannya. Disaat itu, mendengar suara Bapak adalah kelangkaan bagi kami. Bapak sering bertepuk-tepuk tangan memanggil-manggil anak-anaknya. Menggerak-gerakan tangan jika ia kehausan. Dan memberi isyarat-isyarat jika ia menginginkan sesuatu.

Sesekali ia menangis. Tangisnya semakin deras jika selepas shalat. Ibu memilih vakum sejak dari aktivitas mengajarnya. Ia menyerahkan waktu hidupnya merawat Bapak. Dan Bapak semakin tak berdaya. Segala kebutuhan hajatnya harus ditopang oleh kami. Bergiliran, kami memandikannya setiap pagi dan sore hari. Menuntaskan segala kebutuhan pribadinya.

Aku ditunjuk Ibu untuk menemani tidur Bapak. Di kamar depan, aku tidur bersama Bapak dan Ibu. Keputusan ini diambil jika hal terburuk terjadi di malam hari. Dan aku menjadi perantara membangunkan orang-orang rumah. Kejadian ini seperti sering terjadi di tengah-tengah malam. Bapak yang tiba-tiba drop, Bapak yang membutuhkan air hangat, atau kerap gempa yang datang tiba-tiba dan kami bersegera menggotongnya keluar rumah.

Bapak tak pernah mengeluh. Itu yang kami rasakan.  Ia jarang mengeluh dengan apa yang ia alami. Dia penyabar dalam sakitnya. Hal baik yang terus kami ingat hingga kini.

Dan pada suatu pagi, ketidaksempurnaan ini seakan menjadi lengkap bagi Bapak. Disaat kami sibuk dengan aktivitas pagi, dan Ibu sibuk menyiapkan wisuda sarjana abangku. Tiba-tiba Bapak perlahan bangkit dari kursi rotannya. Lututnya tak lagi kuat. Jalannya sempoyongan. Tak ada yang memapah dia pagi itu. Tak ada penyangga yang menopang tubuhnya. Dan semenit kemudian, disaat kakinya menapak dua langkah. Tubuhnya sempoyangan, dan BRUKK!!! Bapak ambruk. Terjerembab. Lebam besar menganga dipahanya pertanda dentuman tubuhnya yang kuat. Sendi lututnya bergeser. Mulai saat itu, ia tak mampu lagi berdiri terlebih bertatih. Bapak meringkuk dikasur. Untuk bergerak beberapa langkah kedepan, ia hanya mampu beringsut. Ia hanya mampu terbaring.

Saat itu malam ganjil. Sepuluh tahun lalu di tigabelas ramadhan. Entah untuk kesekian kali, Bapak kembali dirawat inap. Kali ini lebih parah. Ia drop. Hal terburuk telah aku duga dengan ketidaksanggupan daya pikirku. Saat itu aku masih duduk dibangku kelas dua SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun