Mohon tunggu...
Ferhat Ferhatt
Ferhat Ferhatt Mohon Tunggu... -

Ferhat, lahir di Banda Aceh, 24 September 1985. Menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Tahun 2001 bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Pernah menjabat menjadi ketua Umum FLP Aceh periode 2006-2008. Antologi cerpen yang sudah dipublikasikan diantaranya, Bintang di Langit Baiturrahman, Meusyen, Biarkan Aku Bercinta Sendiri, Rumah Matahari Terbit.. Beberapa tulisannya memenangkan lomba kepenulisan seperti yang diselenggarakan oleh Dokarim, BRR-Aceh Institute, Plan Aceh, BKKBN Aceh, Impact-Mercy Crops. Mendapatkan penghargaan sastra dari Balai Bahasa Aceh 2009. Serta beberapa tulisannya juga dimuat di media lokal dan nasional, seperti Harian Aceh, Sabili, Annida, Seputar Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kembang Gula dari Lamlhom

17 Maret 2010   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu Juariah ditemani putrinya tampak sibuk mempersiapkan pesanan kue meuseukat. Di bawah pohon mangga di halaman depan rumahnya, ia sibuk mengaduk-ngaduk adonan yang tengah dipanaskan. Sesekali ia bergantian mengaduk dengan putrinya. Lumayan lama ia harus mengaduk hingga adonan benar-benar matang.
”Kue jih harus diaduk trok dua jeum, (Kuenya harus diaduk sampai dua jam,)” ujarnya ketika kutanya berapa lama proses itu berlangsung.
Meuseukat adalah salah satu penganan atau peunajoh khas Aceh. Bentuknya serupa dengan dodol, namun warnanya lebih terang seperti kuning telur. Biasanya meuseukat menjadi hantaran wajib disaat hajatan perkawinan Aceh. Rasanya manis seperti kembang gula.
Usaha ini menjadi alternatif pilihan kaum wanita di desa Meunasah Beutong Lamlhom, Aceh Besar untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Makanya tak terlalu sulit menemukan para pengrajin kue khas Aceh di desa yang letaknya berdampingan dengan desa Lampisang. Dari Juariah pula saya mendapatkan informasi bahwa beberapa warga disini juga menggeluti usaha serupa. Ia menyebutkan beberapa nama dan lokasi rumah mereka.
”Lamlhom dari dulu memang terkenal jadi tempat pembuatan kue Aceh. Rame ureung peusan kue disinoe...(ramai orang pesan kue disini...)”
Hari itu ia juga sedang mempersiapkan pesanan seseorang untuk hajatan perkawinan. Kue meuseukat memang menjadi hantaran wajib bagi masyarakat Aceh kebanyakan disaat sedang melangsungkan tueng dara baroe.
Juariah juga tak segan-segan membagikan resep pembuatan kue tersebut kepada saya. Sambil mengaduk-aduk adonan yang dipanaskan diatas kompor yang ditutupi seng agar tak tertiup angin, ia menyebutkan satu persatu bahannya.
”Bahan jih hana that susah. Cuma ie, saka, tepung, boh manok, mentega, vanili, pasta boh aneuh, kadang-kadang ta boh pih moka. Tergantung peusanan.. (Bahannya tidak terlalu susah. Cuma air, gula, tepung, telur, mentega, vanili, pasta nenas, kadang-kadang pakai moka. Tergantung pesanan...),”
Dari penuturannya, wanita yang berusia 58 tahun ini mengaku baru fokus ke usaha pembuatan kue pasca tsunami. Walaupun sebenarnya usaha ini telah menjadi usaha turun temurun dikeluarganya. Tetapi dulunya, ia lebih tertarik menjadi petani dan menggarap areal persawahan di kaki bukit.
Namun sejak tsunami menghantam diakhir tahun 2004, profesinya sebagai petani tak bisa dilakoni lagi secara maksimal diawal-awal tahun 2005. Hal ini disebabkan karena areal pertanian di Lamlhom rusak parah setelah tsunami. Sedangkan disatu sisi ia harus terus menyambung hidup, terlebih suaminya menjadi salah satu korban keganasan tsunami.
”Suami Mak meuninggal keunong tsunami...(Suami Mak meninggal terseret tsunami)”
Juariah menceritakan ketika gempa kuat usai mengguncang, suaminya menuju ke areal persawahan di kaki bukit. Tapi naas tsunami datang menghantamnya. Juariah pun harus merelakan kepergian suaminya yang tiba-tiba.
Walaupun areal persawahan di Lhoknga dan sekitarnya mulai menggeliat akhir-akhir ini, Juariah tetap menerima pesanan disela-sela mengelola pertaniannya.
Daerah di desa Lamlhom yang berada di atas bukit termasuk aman dari terjangan ombak tsunami, sedangkan di kaki bukit banyak rumah yang hancur yang kini mulai dibangun kembali oleh para donatur.
Beruntung rumah Juariah berada sedikit lebih tinggi sehingga tak terjamah tsunami. Makanya disini saya masih bisa melihat bangunan yang kokoh. Rumah Juariah yang bergaya lama dan berdiri tepat di depan meunasah masih kokoh tak tersentuh tsunami. Padahal jarak desanya dengan pantai Lampuuk tak terlalu jauh, maka tak heran masjid Rahmatullah yang berada di pinggiran pantai Lampuuk tampak terlihat jika kita menuju ke desa Lamlhom.
Hampir dua jam saya menunggu adonan meuseukat matang. Ketika adonan matang, adonan dipindahkan ke dalam wadah untuk didinginkan sebelum nanti dicetak dalam bentuk lebih menarik.
Juariah sempat menyuruh saya untuk mencicipi adonan yang sudah matang, ”pakriban? (Bagaimana?)” tanyanya. Saya hanya tersenyum, adonannya telalu manis.
”Mameh that ya? (Manis sekali ya?)” tanyanya seakan mengerti raut wajah saya. Saya mengangguk. Juariah kembali tersenyum.
”Meuseukat cit mameh, (Meuseukat memang manis,)”
Sekilas tampilan meuseukat tak terlalu jauh dengan dodol. Rasanya sama-sama manis, lembut dan sedikit lengket. Hanya warnanya saja berbeda, dodol lebih cenderung berwarna gelap sedangkan meuseukat berwarna kuning telur. Tapi dari penjelasan mereka saya juga semakin tahu ternyata meuseukat juga bisa berwarna gelap.
”Ditambah moka saja kalau mau sedikit gelap,” jelas putri Juariah sambil meletakkan meuseukat yang matang di teras rumah yang sudah digelar tikarnya.
Sambil duduk di teras rumah saya menyimak proses selanjutnya. Meuseukat diratakan di talam besar. Setelah diangin-anginkan, adonan dipercantik dengan motif-motif menarik diatasnya.
”Biasanya jih, ureung leubeh galak motif pinto Aceh ngon bungong mawar... (Biasanya orang lebih senang dengan motif pintu Aceh dan bunga mawar)” ujar Juariah sambil membentuk pinto Aceh diatas adonan yang telah diratakan di talam.
Sesekali ia tampak kesulitan membentuk motif ketika adonan yang keluar dari plastik yang dilubangi ujungnya tak begitu lancar, sehingga ia harus berulangkali merombak motif yang telah dibentuknya.
”Kalau adonannya diaduk pakai mesin hasilnya lebih lembut, nggak perlu sesusah kayak gini untuk bikin motif,”
Rupanya adonan meuseukat juga bisa diolah dengan mesin. Juariah pun menyebut salah satu nama warga di Lamlhom yang usahanya menggunakan mesin, Rosnawati yang rumahnya tak begitu jauh dari tempat saya berdiri. Saya pun berniat untuk bertandang kesana selepas dari rumah Juariah.
Meseukat yang dihias akhirnya selesai juga. Bentuk pinto Aceh yang dipadu padan dengan bunga mawar tampak begitu manis dan menarik. Penganan yang dibuat oleh Juariah akan diambil oleh pemesan keesokan paginya, jadi Juariah harus mempersiapkan satu hari sebelumnya agar adonan sedikit keras dan tidak terlalu lembek.
Harga meuseukat yang dijual Juariah bervariatif. Untuk satu talam besar ia mematok harga Rp 160.000, untuk talam kecil seharga Rp 100.000. Jika ada adonan yang tersisa ia akan membentuk ukuran-ukuran kecil seharga Rp 5.000 sampai Rp 40.000. Meuseukat dengan bermacam ukuran itu dipasarkan di Lampisang yang dikenal sebagai sentral penjualan makanan khas Aceh dan juga dijual di seputaran Banda Aceh.
Sambil berlesehan di teras rumah, Juariah juga menceritakan kesulitan yang selama ini ia alami. ”Promosi jih kureung that. Goh lom, kue meuseukat bagah broek dalam padum uroe,(Promosinya masih kurang. Belum lagi, meuseukat cepat basi dalam beberapa hari),” ujarnya sambil menutupi meuseukat dengan plastik agar terhindar dari debu.
Menjelang siang saya berpamitan. Saya menyalaminya dengan takzim, Juariah tersenyum ramah, ”bek tuwoe, jak-jak lom ya! (jangan lupa, datang lagi ya!)”. Saya mengangguk pelan.
Dengan sepeda motor, saya menuju salah satu rumah yang juga menggeluti usaha serupa di desa Lamlhom. Rosnawati, begitu Juariah menyebut nama itu. Katanya Rosnawati menggeluti usaha itu sudah cukup lama bahkan produksinya pun sudah menggunakan mesin tidak lagi manual seperti Juariah. Dalam sehari bisa beberapa kali menghasilkan meuseukat.
Rumah Rosnawati tak begitu jauh dari rumah Juariah. Dari luar, rumah berpagar besi itu tampak sepi. Di depan garasi tampak sebuah mesin. Ditengah-tengahnya ada belanga besar dan besi pengaduk memenuhi wadah belanga tersebut.
”Itu mesin pengaduk adonannya,” tunjuk Rosnawati ketika saya tanya hal itu.
Ia tampak ramah menjelaskan detail-detail produksi ketika saya utarakan maksud kedatangan hari itu.
Menurut pengakuannya ia telah fokus dalam usaha ini sejak tahun 1993. Usaha ini merupakan usaha turun temurun dari keluarganya. Di desa Lamlhom hanya Rosnawati yang menggunakan mesin dalam pembuatan kue meuseukat.
”Pakai mesin lebih cepat dan hasilnya bagus,” ujar Rosnawati sambil menemani saya memperhatikan mesin pengolah itu.
Rosnawati juga mengaku, penghasilan yang ia peroleh lumayan besar setiap bulannya. Sebab dalam sehari ia bisa memproduksi lebih dari dua buah meuseukat.
”Kalau untuk menghias meuseukat juga lebih mudah. Adonannya lembut dan halus. Jadi hasilnya lebih baik,” lanjutnya kemudian.
Menurut penuturannya, pasca tsunami Lamlhom semakin dikenal orang sebagai sentra produksi kue khas Aceh. Hal ini bisa saja diakibatkan karena desa Lambung yang terdapat tak jauh dari pantai Ulee Lheue hancur lebur karena terjangan tsunami. Dulu, sebelum tsunami terjadi desa Lambung terkenal sebagai sentra penghasil kue-kue khas Aceh, tapi semenjak tsunami menghantam dan meluluhlantakkan desa tersebut banyak masyarakat yang beralih memesan kue ke desa Lamlhom. Tapi saat ini, desa Lambung mulai bergeliat kembali.
”Padahal dari dulu di Lamlhom ini sudah banyak pengrajin kue khas Aceh, tapi masyarakat umumnya lebih mengenal Lambung. Mungkin karena jaraknya lebih dekat dengan Banda Aceh ya...” ujarnya sambil merapikan jilbab.
Dalam usahanya Rosnawati terbilang sukses. Jika dibandingkan dengan pengrajin kue lainnya ia terbilang sudah mapan. Nama merek pun sudah dipakai untuk membedakan produknya dengan produk pesaing lainnya. Bahkan ia juga pernah mendapat bantuan dari Disperindag berupa peralatan produksi dan bahan baku untuk produksi.
Umumnya peningkatan pesanan kue meningkat ketika mendekati lebaran. Bahkan pengrajin kue disini bukan saja fokus pada kue meuseukat tapi juga dodol, bolu, kue bhoi, black forrest, ataupun kue kering.
Tapi kedatangan saya kali ini kurang beruntung. Hari ini Rosnawati tak memproduksi kue meuseukat karena tidak ada pesanan. Akibatnya, saya tidak sempat melihat bagaimana mesin ini mengolah adonan meuseukat.
”Baru besok pagi Ibu ngolah meuseukat. Datang aja besok kalau mau lihat...”
Saya hanya tersenyum, membayangkan perjalanan jauh dari Banda Aceh menuju Lamlhom yang membutuhkan waktu tak sedikit. Terlebih desa ini terletak di pinggiran Banda Aceh.
Sambil duduk, Rosnawati juga menceritakan hambatan yang ia alami. Sama halnya dengan Juariah, ia mengaku promosi tentang kue khas Aceh masih minim.
”Kalau promosi lebih kuat, mungkin penjualan kami meningkat,” ujarnya sambil tersenyum getir.
* * *

*Juara favorit lomba Impact tentang gampong (2009)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun