Mohon tunggu...
Ferhat Ferhatt
Ferhat Ferhatt Mohon Tunggu... -

Ferhat, lahir di Banda Aceh, 24 September 1985. Menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Tahun 2001 bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Pernah menjabat menjadi ketua Umum FLP Aceh periode 2006-2008. Antologi cerpen yang sudah dipublikasikan diantaranya, Bintang di Langit Baiturrahman, Meusyen, Biarkan Aku Bercinta Sendiri, Rumah Matahari Terbit.. Beberapa tulisannya memenangkan lomba kepenulisan seperti yang diselenggarakan oleh Dokarim, BRR-Aceh Institute, Plan Aceh, BKKBN Aceh, Impact-Mercy Crops. Mendapatkan penghargaan sastra dari Balai Bahasa Aceh 2009. Serta beberapa tulisannya juga dimuat di media lokal dan nasional, seperti Harian Aceh, Sabili, Annida, Seputar Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Srikandi Aceh dalam Tanah Perempuan

16 Maret 2010   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:24 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai inong Aceh dipat droe neuh

Peu droe neuh ngop lam ie mata?

Ingat geutanyoe nyoe inong Aceh

Inong nyang beuhe ngon geumaseh

Hantom menyerah

Geutanyoelah inong nyang geumaseh

Ibu pertiwi sepanjang masa

Keun lom nan awak nyan

Keumalahayati, Safiatuddin, Cut Nyak, Gata!

Nyoe mandum inong Aceh nyan beuhe

Nyang hana habeh dipeulahe di bumoe nyoe

Hai inong Aceh dipat droe neuh?

(Tanah Perempuan, Helvy Tiana Rosa)

Lirik lagu diatas terasa mengingatkan kita kembali bagaimana keperkasaan serta pengasihnya para pejuang perempuan dari tanah Aceh, serta 'menghardik' -khususnya perempuan Aceh- untuk tetap tegar tanpa perlu larut dalam airmata. Semangat itulah yang akhirnya memantapkan pejuang perempuan Aceh terus dikenang hingga detik ini.

[caption id="attachment_94855" align="alignright" width="300" caption="Perempuan Aceh/Admin (KOMPAS)"][/caption]

Semangat tak kenal menyerah mengusir kaphe-kaphe penjajah tentu bukanlah sekedar cerita klasik. Sejarah telah membuktikan perempuan Aceh bukanlah perempuan yang hanya mengurusi urusan domestik rumah tangga. Bukan pula pelengkap kehidupan, namun memiliki peranan sama penting dengan apa yang dilakukan kaum lelaki. Kemandirian dimiliki perempuan Aceh inilah yang mengilhami Helvy Tiana Rosa, seorang sastrawan Indonesia, untuk melahirkan sebuah naskah drama serta mementaskannya dalam lakon "Tanah Perempuan".

Tanah Perempuan menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan Aceh yang selalu dirundung luka, Safiah Cut Keumala atau kerap disapa Mala. Cerita bermula dari masa konflik Aceh yang berkepanjangan. Mala harus merelakan ketika Ma'e, abangnya menghilang tiba-tiba. Lalu lukanya berlanjut ketika Ayahnya tewas ditembak oleh orang tak dikenal. Kepergian Ma'e dan Ayah secara tiba-tiba membuat Ibu Mala sakit-sakitan. Disaat Mala harus berjuang memulihkan kesehatan Ibunya diwaktu bersamaan juga Majid, suami Mala diculik oleh orang tak dikenal. Ia dituduh sebagai anggota pemberontak walaupun itu tak pernah terbukti.

Kepergian orang-orang terdekat membuat Mala meratapi kemalangan hidupnya. Kini ia hanya memiliki Mak dan Agam, putra semata wayangnya yang masih duduk dibangku sekolah dasar. Masa suram disaat konflik Aceh dicerita dalam beberapa adegan, seperti penemuan mayat, pembakaran sekolah, maupun suara letusan. Hal-hal inilah yang akhirnya membuat jiwa Mak terganggu.

Disaat luka keluarga Mala belum pulih benar, gempa yang disusul tsunami menggulung daratan Aceh. Mak meninggal sedangkan Agam tak tahu keberadaannya. Mala semakin terpuruk dalam duka. Semua orang terdekatnya pergi dan meninggalkan Mala seorang diri. Ia berulangkali memohon pada Tuhan agar segera mencabut nyawanya. Baginya tak ada guna lagi hidup jika orang-orang yang ia cintai tak ada lagi.

Di tengah prahara dan putus asa itulah ia bertemu dengan para pahlawan perempuan Aceh masa lalu. Perlahan Mala memasuki labirin kehidupan Laksamana Keumalahayati, Sultanah Safiatudin Syah, Cut Nyak Dhien, Pocut Meurah Intan, Cut Meutia, dan Pocut Baren.

Dialog-dialog 'menghardik' keterpurukan semangat Mala dilontarkan oleh para pahlawan Aceh itu. Mereka menggugat semangat juang inong Aceh yang memudar serta merutuk kelemahan iman Mala yang ingin mengakhiri hidup. Berturut-turut kehadiran pahlawan perempuan Aceh serta petuah-petuah dari mereka menumbuhkan semangat dan kesadaran bagi Mala untuk melanjutkan hidup. Kobaran semangat mereka merasuki jiwa Mala hingga akhirnya ia mampu untuk bangkit kembali.

Akhir tahun lalu, saya beserta teman-teman dari Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh merasa bangga ketika dipercayai menjadi panitia pementasan teater naskah ini. Bertepatan peringatan 5 tahun tragedi tsunami, pada tanggal 26 desember 2009 untuk pertama kalinya naskah drama Tanah Perempuan dipentaskan di Banda Aceh bertempat di Auditorium RRI Banda Aceh.

Teater ini dimainkan oleh mahasiswa/i Universitas Negeri Jakarta dibawah naungan Bengkel Sastra UNJ asuhan Helvy Tiana Rosa, sang penulis naskah. Pementasan ini mendapat sambutan hangat dari warga kota. Pementasan yang berlangsung hampir 2 jam ini turut dimeriahkan penampilan wakil walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal yang berperan sebagai Sultanah Safiatuddin Syah dan penyair Aceh D Keumalawati yang berperan sebagai Laksamana Malahayati.

Banda Aceh merupakan kota ketiga dari rangkain roadshow Tanah Perempuan yang sebelumnya juga sukses dipentaskan di Bandung (17 Juli 2009) dan Jakarta (8 November 2009). Helvy Tiana Rosa yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta mengaku pertunjukkan di Jakarta terbilang sukses. Pertunjukkan yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta berhasil menggandeng tokoh-tokoh besar untuk memeriahkan pementasan tersebut. Tercatat beberapa nama kondang ikut memeriahkan, seperti Habiburrahman El Shirazy (penulis novel Ayat-Ayat Cinta), Oki Setiana Dewi (pemeran Anna dalam film KCB), bahkan wakil walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal dan penyair Aceh D Keumalawati sengaja terbang ke Jakarta untuk mementaskan peran yang sama.

Kesuksesan pementasan di Bandung dan Jakarta yang akhirnya memantapkan langkah para pemain dari Bengkel Sastra Universitas Negeri Jakarta untuk terbang ke Aceh akhir desember lalu. Keterbatasan dana tidak meredupkan langkah mereka, walaupun jumlah pemain tidak sebanyak saat pementasan di Jakarta.

Disaat berbincang-bincang bersama Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, selaku panitia penyelenggara di Aceh, Helvy Tiana Rosa mengaku jika pementasan di Jakarta melibatkan sekitar 80 orang pemain dan kru. Namun dengan minimnya dana, hanya 30 personil yang mampu dihadirkan ke Aceh itupun telah termasuk para pemain musik.

Minimnya dana yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pemain tentu menyulitkan dalam segi pementasan. Maka beberapa bagian naskah Tanah Perempuan tidak turut dipentaskan, namun nilai semangat juang yang menjadi pesan dalam pementasan ini saya yakin tetap tersampaikan dengan baik bagi penonton. Bahkan dari pementasan ini juga kita bisa mengetahui sejarah gemilang yang diukir para pejuang perempuan Aceh yang disampaikan lewat dialog-dialog antar tokoh. Seperti Laksamana Malahayati yang merupakan lulusan Mahad Baitul Maqdis akademi militer dengan instruktur dari kekhalifahan Turki Utsmani, pemimpin 100 kapal perang Kerajaan Aceh yang membawa 2000 perempuan Aceh tanpa suami sebagai armada. Ataupun kepemimpinan Sultanah Safiatuddin selama 35 tahun yang mampu mengirim zakat dari Kerajaan Aceh untuk rakyat Mekkah.

Naskah Tanah Perempuan terbilang dahsyat. Naskah ini ditulis oleh Helvy Tiana Rosa seminggu setelah tsunami menerjang Aceh. Bahkan naskah ini juga telah dibukukan oleh penerbit Lapena Banda Aceh, serta terpilih sebagai 10 besar naskah terbaik 7th Women Playwrights International tahun 2006 di Jakarta.

Dalam kata sambutannya dalam pembukaan pementasan yang turut dihadiri Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin, Helvy mengaku ia membutuhkan kurun waktu untuk mencari data penunjang mengenai kejayaan Aceh masa silam. Maka tak heran ketika kita menyaksikan pementasan teater ini, kita bukan sekedar dihibur oleh akting pemain yang memukau, namun juga disuguhi informasi-informasi sejarah kegemilangan Aceh masa silam. Kegemilangan yang mengajak kita untuk berkaca diri, bukan hanya sebatas kebanggaan semata. ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun