Mohon tunggu...
Politik

Akankan Political Decay di Tubuh Golkar Berlanjut

16 Mei 2016   01:10 Diperbarui: 16 Mei 2016   01:28 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari gini ngomongin parpol, males banget rasanya, ya nggak, ya nggak. 

Gimana ga males coba, kalo setiap hari disuguhi drama berbagai intrik yang ga cuma ga cantik, tetapi njelehi (memuakkan) kalo orang jawa bilang. Ya memang njelehi, lah wong data dan fakta bisa dijungkir balikkan, akal sehat kita harus dipaksa menerima kelakuan, opini dan kegaduhan para politisi ini.

Yang masih segar dalam Ingatan kita adalah kasus papa minta saham, tau dunk aktor utamanya siapa? Yup anda benar, Setya Novanto yang sekarang foto-fotonya terpampang paling cetar dari Jalan masuk Bandara Ngurah Rai, ini juga yang membuat saya tergelitik untuk menulis tentang Golkar dan pembusukan di dalamnya.

Oya, back to "papa minta saham", kasus ini telah melukai akal sehat dan nurani rakyat. Bayangkan, mencatut nama presiden untuk mendapatkan proyek dan penyelesaiannya ga jelas. Ini dagelan politik yang paling absurd dan ga lucu pada semester pertama tahun ini.

Anehnya setelah mengundurkan diri dari kursi ketua DPR, dia langsung menduduki ketua fraksi Golkar di DPR dan kini mencalonkan diri menjadi ketua umum Partai Golkar. Ini pembusukan yang sangat kasat mata, tidakkah hal ini disadari oleh Golkar, atau mereka sudah masa bodo, yang penting perut kenyang, bisa golf, naik jet pribadi dan hepi-hepi.

Diantara seluruh partai politik saat ini, Golkar termasuk partai senior, karena sudah ada dari jaman bung Karno, meskipun peran politiknya sangat dominan pada masa Pak Harto berkuasa. Saat itu bisa dibilang Suharto adalah Golkar dan Golkar adalah Suharto. Meski secara umum ada 3 partai, tetapi Golkar adalah The untouchables, mendapat privilege dan protection sedemikian rupa, hingga kedua partai lain yaitu PDI dan PPP terlihat hanya sebagai pemanis demokrasi-demokrasian saat itu.

Setelah Suharto tumbang, Golkar tidak lagi mendapat privilege yang biasa dimiliki hingga pada masa Presiden Gus Dur, Golkar nyaris dibubarkan. Tapi bukan Golkar namanya, kalo ga bisa counter attack. Tentunya ini terjadi pada masa kepemimpinan Akbar Tanjung yang menurut Dimas Oky Nugroho seorang Peneliti pada Akar Rumput Strategic Consulting memiliki kharacter Political Heavy. Cirinya banyak manuever politik serta intrik-intrik politik yang kasar dan kasat mata.

intrik-intrik kasar pada masa kepemimpinan Akbar Tanjung sungguh memuakkan dan disinilah political decay atau kebusukan politik Partai Golkar mulai tercium oleh rakyat. Salah satu yang membuat mangkel saat itu adalah kasus Bulog Gate II yang melibatkan Akbar Tanjung yang pada saat itu juga menjabat sebagai Ketua DPR. Sangat aneh, kasus penyalahgunaan dana non budgeter Bulog sebesar Rp. 54,6 milliar, tiba-tiba dianggap selesai tanpa penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan.

Kasus ini juga melukai hati nurani rakyat pada saat itu, tak terkecuali saya, yang pada masa reformasi 98 setiap hari turun ke jalan demi kemerdekaan berdemokrasi dan perbaikan peri kehidupan sosial politik.

Setelah era kepemimpinan Akbar Tanjung, image Golkar sedikit membaik saat dipimpin oleh Jusuf Kalla. Gaya kepemimpinan yang Tehnokratik dan minim intrik, menjadikan Golkar seolah adem ayem. Jusuf Kalla pada saat itu lebih menonjol sebagai sosok borjuis sosialis, beliau kaya prestasi terutama yang berkaitan dengan mediasi berbagai konflik di tanah air. Kemampuan Jusuf Kalla membangun konsensus antar pihak yang bertikai sangat layak diacungi jempol. Jusuf Kalla saat itu mampu membawa Golkar menjadi Partai yang kembali disegani.

Tetapi rupanya kepiawaian Jusuf Kalla dalam me-rebranding Golkar tidak mampu diteruskan oleh ARB. Mengutip Dimas Oky Nugroho pada kesempatan saya mengikuti Kuliah Umum beliau di FISIP UNUD, beliau menjelaskan bahwa karakter politik Golkar di bawah kepemimpinan ARB adalah Borjuasi Nasionalis yang bercirikan politik uang. Tak jauh beda dengan masa kepemimpinan Akbar Tanjung, Golkar masa ARB juga ditandai dengan manuver-manuver politik yang kasar dan kasat mata. Lebih parah lagi Golkar pada masa ARB telah dijadikan alat negosiasi berbagai bisnis yang dimiliki ARB, salah satunya tentu Kasus Lapindo, yang penyelesaian akhirnya menggunakan APBN. Dan bukannya malu atau kapok, eh ...... malah ngebor lagi, ga jauh dari lokasi bencana pula.

Itu sebabnya kekacauan politik terbesar di tubuh Golkar terjadi pada masa kepemimpinan ARB, siapa yang ga ingat adanya Golkar tandingan. Ini seharusnya menjadi cermin bagi ARB bahwa ada kader-kader Golkar yang sudah jengah dengan intrik-intrik kotor, bahwa ada kader-kader yang menginginkan pembaharuan dan kebaruan di tubuh Golkar.

Berkaitan dengan Munaslub yang sedang berlangsung saat ini, kita seolah diberi tontonan antara kelompok caketum status quo dengan dosa-dosa politik yang kasat mata yang juga menjadi perpanjangan tangan ARB, versus caketum pembaharu yang seolah menjadi underdog. Namun proses demokrasi di tubuh Golkar tetaplah milik kader-kader mereka. Apakah akan lahir Golkar Baru atau malah justru pembusukan politik di tubuh Golkar semakin parah.

Akankah mereka berani memilih dengan nurani? kita lihat saja. Salah memilih berarti mereka akan tenggelam pada pemilu berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun