Beberapa tahun terakhir ini sepertinya hampir tiap orang menyukai dan merencanakan perjalanan wisata, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Keterbukaan informasi memudahkan banyak orang untuk memulai suatu perjalanan. Ada banyak ribuan travel agent, guide, dan komunitas online yang bersedia membagikan infomasi dan siap membantu kita untuk mempersiapkan perjalanan. Fenomema kegandrungan akan jalan-jalan ini tentu saja menandakan bahwa daya beli masyarakat kita sedang naik. Bank Dunia mencatat, pertumbuhan kelas menengah dari nol persen pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada tahun 2011 menjadi 130 juta jiwa. Diperkirakan pada tahun 2030 akan meningkat menjadi 141 juta kelas menengah di Indonesia.
Tak hanya kalangan dewasa, anak-anak muda juga suka melakukan perjalanan. Ada sebagian orang yang merasa bahwa hobi ini merupakan pemborosan, tetapi bagi pecinta travelling termasuk saya, ini adalah salah satu upaya untuk kepuasan tersendiri ketika bisa mencapai tempat tujuan tertentu terutama yang cukup jauh, mengetahui hal-hal baru, budaya baru, orang-orang baru, sejarah dan alam di tempat tujuan tersebut.
Selain persiapan yang matang, seperti biaya yang cukup, bekal dan alat alat yang akan dipergunakan selama perjalanan, ada baiknya untuk tetap memperhatikan faktor keamanan, baik yang menyangkut materi yang kita bawa sampai dengan keselamatan jiwa kita sendiri.
Maka dari itu, ada baiknya kita persiapkan dokumen kita dengan baik. Pengalaman saya biasanya foto kopi dokumen rangkap 1-2 terutama paspor untuk jaga-jaga ketika mengalami kehilangan. Ditakutkan ketika tas kita dicuri, paspor juga ada di tas tersebut. 3 tahun yang lalu ada teman kantor yang sedang tugas ke Shanghai, China dan tanpa sengaja paspor yang dia simpan dalam saku jaketnya raib beserta dompetnya. Tidak ada uang dan tidak ada dokumentasi sama sekali. Terpaksa dia dibantu rekan kantor yang ada di kota tersebut dan bersama polisi setempat dan tinggal selama 3 minggu bolak-balik Shanghai dan Beijing untuk mengurus kehilangan paspor di Kedutaan Besar Indonesia. Waktu itu dibantu oleh beberapa kolega yang memang tinggal dan bekerja di Shanghai.
Cari tahu kondisi keamanan di daerah tersebut untuk mengetahui tingkat kerawanan kejadian kriminalitas. Dari beberapa negara yang pernah saya kunjungi, India dan Bangladesh adalah dua negara yang sepintas kurang aman dikarenakan kotanya sedikit tidak rapi. Kesan pertama saya ketika memasuki Kota Dhaka di Bangladesh adalah kumuh dan merasa tidak aman, walaupun pada akhirnya bisa bertahan di sana dan mendapatkan bantuan penduduk lokal untuk mengantarkan keliling kota selama beberapa hari.
Lain cerita ketika melakukan solo travelling ke Amsterdam, saya hampir saja mau dirampok orang lokal. Ceritanya ketika pagi-pagi saya hendak menuju stasiun Central menuju Brussel, Belgia jadwal keberangkatan jam 7 pagi menggunakan kereta Thalys. Karena baru pertama kali dan takut terlambat kereta, serta jarak yang lumayan jauh dari stasiun pukul 4:30 pagi saya sudah beres-beres dan check out tempat hostel saya menginap. Saya menelusuri gang yang lumayan sempit sekitar pukul 5:00 menuju shelter trem terdekat dari hostel saya menginap. Saya pikir waktu itu trem beroperasi mulai pukul 5:00 pagi, sesuai dengan jadwal yang saya lihat malam sebelumnya, sepertinya saya salah membaca.
Langit masih terasa sangat gelap. Dingin karena saat itu sedang musim gugur bulan November. Saya duduk di bangku shelter trem, saya tunggu 5 menit masih belum ada yang lewat. Kemudian saya jalan ke arah shelter berikutnya sambil menarik koper saya dan menggendong tas punggung.
Saya kembali menunggu sekitar 5 menit dan tiba-tiba ada seorang laki-laki menghampiri dan mengajak ngobrol. Ketika saya bilang dari Indonesia dia pun mengaku punya beberapa teman dari negara asal saya. Tak lama kemudian ada seorang pria berseragam polisi berlari dan menghampiri kami lalu tiba-tiba berhenti dan berteriak kepada pria itu menggunakan bahasa lokal dengan mengacung-acungkan tongkatnya seperti perintah mengusir orang itu. Sepintas polisi tersebut bertanya kepada saya, “Is he your friend?” Saya jawab, “No.” Si pria tersebut tetap bersikeras bahwa saya itu temannya.
Tak begitu lama mereka adu mulut akhirnya si pria tersebut pergi. Lalu saya bilang, “What’s happened?” lalu polisi tersebut bilang, “Be careful of your bag and luggage, that guy would like to rob you, why you are here in this early morning?” Seketika saya kaget dan panik atas hal yang baru saja mengancam keselamatan saya. Karena panik saya bilang, “So what can I do? Don’t leave me alone here. I would like to go to central station and I am awaiting for trem.” “No trem operating now, please go out of here and be careful,” ucap pak polisi itu.
Saya pun bergegas mengambil koper dan tas punggung saya dan menyusuri jalanan Kota Amsterdam yang berbatu. Kurang lebih 25 menit saya berjalan sampailah saya ke stasiun Central dan menuju ruang tunggu. Selama perjalanan tak henti-hentinya saya berdoa kepada Yang Mahakuasa untuk diselamatkan diri saya dan terus-menerus mengingat arah stasiun Central.
Lain cerita ketika di Bangkok. Ceritanya pagi itu saya bersama teman memulai jalan-jalan. Ketika melewati ujung jalan Khaosan kami merasa peta yang kami pegang, yang kami dapatkan di bandara Svarnabumi itu berbeda dengan kenyataan, yang mana posisi restoran Mc Donald berbeda sehingga membuat kami bingung, “Ini ujung jalan yang mana ya?” Tidak jauh berjalan di pertigaan terdapat papan peta. Tanpa menunggu waktu kami menghampiri papan tersebut mulai mencocokkan.
Tak berapa lama ada seseorang berbahasa Indonesia menyapa dan bilang bahwasannya hari itu adalah hari istimewa di mana hampir semua umat Buddha melakukan ritual keagamaan. Jadi, Grand Palace, Wat Arun, Wat Po dan lainnya yang kebetulan merupakan tempat tujuan kami katanya akan tutup sampai pukul 12:00 siang. Setelah itu, dia menyarankan untuk menggunakan tuk-tuk dan memanggil salah satu sopir yang sudah stand di ujung jalan.
Katanya cukup dengan 25 bath bisa berkeliling sepuasnya ke pura-pura yang lebih kecil sambil menunggu pukul 12:00. Setelah itu, sopir tuk-tuk akan menurunkan kami ke depan Grand Palace.
Waktu berlalu beberapa spot kuil terkunjungi hingga sekitar pukul sebelas kurang sopir tuk-tuk bilang bahwa siang ini ada exhibition terbesar di Bangkok dan akan banyak diskon ditawarkan. Berhubung kami kami belum beli oleh-oleh, kami pun mengiyakan penawaran sopir itu. Tidak berapa lama akhirnya sampai pada di pinggiran seperti ruko kebanyakan di Jakarta di kawasan Blok M. Sekilas saya celingak-celinguk mencari gedung yang katanya tempat exhibition yang menurut saya pribadi adalah “pameran”. Dalam pikiran saya seperti PRJ (Pekan Raya Jakarta) itu loh, tapi ternyata, eng ing eng.. :D
Setelah diantarkan masuk ke “toko” itu, kami disambut oleh pramusaji dengan menggunakan pakaian formal, jas, dan dasi. Sedangkan kami casual ala-ala backpacker, kaos oblong, dan sepatu kets. Sepintas saya rasa mereka sedang scanning penampilan kami dan salah satu dari mereka bilang, “What are you looking for sir? May I help you?” Saya pribadi juga baru tahu kalau ini adalah toko perhiasan, banyak menyuguhkan berlian, begitu berkilau dan indah. Tanpa pikir seribu kali saya langsung tidak terpikirkan untuk membeli apa pun di toko ini terutama berlian, lah mana cukup duit bekal buat beli begituan? Apalagi buat siapa? Orang pacar juga belum punya, rencana married juga masih jauh dari pelupuk mata... haha Dan akhirnya kami keluar dari toko itu tidak lama dari 3 menit.
Kembali ke tuk-tuk, sopir pun sudah menunggu dan mulai melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalaan sopir tuk-tuk menjelaskan dan meminta supaya kami bisa bertahan di dalam toko tersebut minimal 10 menit agar sopir itu mendapat kupon gas dari pemilik toko. Rupanya ini sudah menjadi rahasia umum bahwa para pemilik toko ini menawarkan kupon gas kepada para sopir tuk-tuk supaya membawa para turis yang datang berkunjung ke kota ini supaya mampir di toko-toko mereka, dan karena itulah para sopir tuk-tuk ini “menjebak” mangsanya dengan tipu muslihat tempat wisata tutup sampai siang hari.
Karena kasihan kepada sopir itu, kami siap menerima tantangan minimal 10 menit bertahan di toko suvenir/perhiasan. Sampailah kami di toko kedua, dari luar terlihat lebih luas. Ketika masuk terlihat hal yang sama, yakni cincin berlian mulai dari karat tertinggi sampai yang lebih rendah. Saya pun iseng-iseng menanyakan kualitas, dari mana asal batu-batu ini, dan tentu saja harganya berapa? Pramusaji dengan luwesnya bisa berbahasa Indonesia, seorang wanita paruh baya asli Thailand. Menurutnya banyak para pelancong terutama ibu-ibu dari Indonesia yang merelakan sebagian rupiahnya untuk memborong perhiasan berlian di toko ini.
Ada banyak lorong dan etalase hanya untuk berlian. Karena kami kurang berminat, kami “digiring” ke ruangan selanjutnya. Ruangan ini menjajakan produk kerajinan, mulai kulit, kaca, perak, batu, dan kayu. Saya pikir karena niat dan tujuan saya hanya melihat kota serta mempertimbangkan berat bawaan ini, kami tidak terlalu berminat untuk membeli banyak, padahal lucu-lucu dan bagus-bagus.
Sesampai di ruangan akhir, saya hanya membeli beberapa buah magnet kulkas sebagai koleksi saya dan sebotol minuman ringan. Merdeka! :P
Masih banyak kejadian tentang scamming ini seperti halnya di Paris, Istanbul, dan Amerika, atau bahkan di penjuru dunia. Perekonomian Eropa saat ini memang sedang tidak bagus, dan menurut informasi yang saya dapat dari beberapa teman, negara-negara seperti Spanyol, Italia dan Yunani merupakan daerah yang rawan tindakan kriminalitas termasuk penipuan dan pencopetan.
Yang terpenting adalah kita harus tetap waspada pada lingkungan sekitar tempat kita berpelancong serta selalu berdoa kepada Yang Mahakuasa supaya selalu diberikan keselamatan dan kesehatan selama melakukan perjalanan.
Sebaik-baiknya persiapan kadang masih ada halangan, apalagi tidak sama sekali.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H