[caption caption="Sungai Cigunung Agung Kadungora Garut"][/caption]Hujan di Puncak Gunung Mandalawangi Kadungora Garut sore hari itu begitu deras sampai-sampai air sungai Cigunung Agung yang melewati Jalan Raya Bandung - Garut di betulan kampung Cigunung Agung Desa Karang Tengah Kecamatan Kadungora Garut meninggi. Beruntung tidak ada yang warga Kadungora yang hanyut terbawa derasnya air sungai akibat munculnya banjir bandang kecil (hulu cai) karena memang sekarang sudah tidak ada lagi orang yang mandi di Sungai Cigunung Agung karena airnya sudah tidak jernih lagi, sebaliknya justru bau dan kalau hujan airnya malah berwarna coklat karena mengandung partikel-partikel tanah, lumpur akibat gerusan air hujan di hulu.
Konon kabarnya menurut cerita almarhum kakek mertua di Kadungora-Garut, air sungai Cigunung Agung jaman dulunya begitu jernih dan dijadikan tempat mandi semua warga yang tinggal di sekitaran sungai. Saking jernihnya air sungai, banyak anak kecil yang bermain air dan berenang disana. Ketika terik matahari tapi cuaca di puncak gunung mandalawangi terlihat mendung dan gelap, para orang tua datang ke sungai untuk mengingatkan anak-anak yang sedang bermain dan mandi di sungai cigunung agung agar segera naik ‘khawatir aya hulu cai’ (khawatir datang banjir bandang yang tiba-tiba datang).
Kini, sungai cigunung agung tak lagi sejernih dulu dan tidak sebanyak jaman dahulu debitnya, kalau tidak ada hujan airnya memang terlihat jernih tapi berbau akibat air limbah rumah tangga yang semakin banyak dan jika hujan turun air sungai warnanya coklat diawali dengan air kehitam-hitaman.
Memang daerah Kecamatan Kadungora sudah tidak seperti jaman dulu, “ayeuna mah hareudang” (sekarang mah panas) dan jarang sekali turun kabut demikian pula di puncak gunung mandalawangi yang menjadi hulu sungai Cigunung Agung sudah jarang terlihat kabut dan kalaupun hujan, hujannya sangat lebat !. Jaman dulu, di daerah pegunungan seperti di Kadungora jarang terjadi hujan lebat, tapi kabutnya tebal paling-paling gerimis dan udaranya sangat dingin menusuk tulang.
Mungkin akibat pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan cuaca, di Puncak Gunung seringkali terjadi hujan lebat. Padahal jaman dulu, ketika mendaki puncak gunung gede-Pangrango di tahun 1980-an di Puncak Gunung tidak pernah terjadi hujan lebat, yang terjadi adalah datangnya kabut tebal yang sekarang lebih dikenal dengan badai gunung dan kalaupun tebal paling yang terjadi adalah hujan gerimis. Hujan Gerimis / Kabut tebal di Puncak Gunung yang membawa uap air tebal yang terjadi di hutan basah menempel di daun-daun, batang-batang pohon terus menerus menjadi air dan turun ke batang pohon selanjutnya menyusup ke akar-akar pohon dan masuk ke dalam tanah yang keluar diantara bebatuan (mata air) yang mengalir menuju sungai. Yang lainnya merembes dibawah humus menuju dataran yang lebih rendah menuju aliran air. Sehingga air yang turun dari Puncak Gunung masih jernih karena tidak mengikis tanah.
[caption caption="Sungai Cimanuk Garut"]
Selain karena faktor cuaca yang sudah berubah akibat pemanasan global, pemicu terjadinya ‘Hulu Cai’ (Banjir Bandang) Sungai Cimanuk mungkin juga disebabkan karena beralihnya fungsi hutan menjadi perkebunan / palawija / hortikultura. Sepanjang jalan dari Cisurupan Cikajang sampai Gerbang Masuk Kawah Gunung Papandayan hingga ke daerah Pasirwangi Samarang hampir semua lahan ditanami sayuran / holtikultura yang membuat Garut lebih dikenal sebagai pemasok sayur mayur ke Pasar Induk Kramat Jati - Jakarta Timur. Ketika Gunung Papandayan meletus tahun 2003 yang lalu, sayur segar sulit diperoleh di Jakarta, kalaupun ada harganya sudah meroket.
[caption caption="Ojeg Gunung Papandayan"]
Banjir Bandang (Hulu Cai) Sungai Cimanuk Garut tidak serta merta diakibatkan karena perubahan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan semata melainkan juga mungkin karena terjadinya perubahan cuaca akibat pemanasan global yang sudah tidak dapat dihindari lagi seperti hujan lebat yang terjadi di puncak gunung seperti banjir bandang gunung lawu kemarin.
Untuk mengurangi risiko banjir bandang seyogyanya pemerintah mulai membuat talud yang tinggi dan kokoh di sepanjang Daerah Aliran Sungai Cimanuk khususnya di DAS Cimanuk yang rendah yang berdekatan dengan pemukiman seperti di Kampung Cimacan, Lapangan Paris Kecamatan Tarogong Kidul dengan ketinggian diatas atap rumah sekitar 4-5 meter dari dasar rumah atau 9-10 meter dari dasar sungai.
Adalah pilihan yang tepat untuk warga Garut yang terkena bencana banjir bandang untuk pindah ke rusunawa di Bayongbong karena bukan tidak mungkin tahun-tahun berikutnya banjir bandang kembali terjadi karena pengembalian fungsi hutan tidak serta merta akan mengurangi debit air saat musim penghujan tiba, perlu 25-30 tahun bahkan hingga 48 tahun lagi hingga pohon-pohonnya besar dan menjadi hutan hujan tropis yang ditandai dengan tidak adanya hujan lebat di puncak gunung. Kalau Pemerintah Kabupaten Garut nyaah ka warga, deudeuh, segeralah membuat talud yang tinggi, kokoh dan kuat di sepanjang DAS Cimanuk.
Kadungora, 11 Oktober 2016.
Penulis,
Ferdi Rosman Feizal
follow @ferdirosman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H