Belakang ini beredar sebuah poster di media sosial yang bergambar burung Garuda dengan latar belakang berwarna biru sebagai pertanda terhadap sesuatu yang dianggap membahayakan masyarakat. Poster ini sendiri pertama kali di upload di akun YouTube bernama EAS Indonesia concept.
EAS (Emergency Alert System) merupakan sebuah peringatan tanda bahaya yang pertama kali dibuat di AS (Amerika Serikat) sebagai peringatan, pesan, atau tanda kepada masyarakat melalui siaran radio atau televisi. Hal yang sama juga dilakukan di Indonesia dengan maksud yang sama bahwa di Indonesia telah terjadi sesuatu yang berbahaya.Â
Arti EAS versi Indonesia adalah bahwa telah terjadi rapat baleg (badan legislatif) DPR pada (Rabu,21/08) yang mana bertujuan untuk mengesahkan sebuah RUU (Rancangan undang-undang) yang berimplikasi memangkas usia Cagub (calon gubernur) atau kepala daerah. Pembuatan RUU ini memungkinkan Kaesang Pangarep, ketum (ketua umum) PSI untuk maju di dipilgub jakarta.Â
Berita ini menjadi polemik dan menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat karena Kaesang yang notabene anak presiden Jokowi akan maju di Pilgub Jakarta.Â
Hal ini mendapat respon cepat dari masyarakat yang menganggap telah terjadi dinasi politik di Indonesia. Masyarakat dan mahasiswa hampir di seluruh tanah air menjadi geram dan memutuskan untuk turun jalan serta melakukan aksi tolak RUU yang dirancang oleh baleg  DPR karena dianggap bertentangan dengan  putusan Mahkamah konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah.Â
Namun, MA mempunyai aturan sendiri bahwa syarat usia calon kepala daerah atau cagub ditentukan sesudah calon kepala daerah dilantik. syarat MA ini  sangat ditentang oleh Mahasiswa dan pelajar serta masyarakat karena telah memuluskan jalan bagi Kaesang Pangarep untuk maju Pilgub. Sehingga memicu aksi masa setanah air dengan cara melakukan unjuk rasa di setiap kota agar RUU dan syarat MA dibatalkan.Â
Keputusan baleg DPR terkait RUU dan syarat MA dianggap sudah mengotori demokrasi yang selama ini dijaga dan dirawat oleh seluruh perangkat dan elemen masyarakat.Â
Presiden Jokowi dianggap telah mempraktekkan politik dinasti di Indonesia. jika RUU dan syarat MA masih dipertahankan, maka diindikasikan akan terjadi kerusuhan seperti yang perna terjadi pada tahun 1998.Â
Pertama-tama beliau sudah memasang iparnya menjadi ketua MA (mahkamah agung), kemudian menantunya menjadi walikota Medan, kemudian anak laki-laki pertamanya menjadi wakil presiden terpilih sekarang, lalu anak laki-laki keduanya menjadi ketum PSI. dari ketum PSI sekarang dibuka jalan untuk mencalonkan diri menjadi gubernur.Â
Semua rangkaian yang telah terjadi ini dianggap aktivis demokrasi dan masyarakat sebagai sebuah politik dinasti yang mencemarkan demokrasi Indonesia serta mempraktekkan nepotisme di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Untungnya setelah melihat serangkaian kejadian seperti para eksekutor unjuk rasa yang dianiaya dan diculik serta ditahan oleh aparat (polisi dan tentara) depan kantor gedung DPR RI, kini baleg DPR melakukan rapat mendalam dan memutuskan bahwa RUU telah dibatalkan pada (22/08) tetapi belum ada kejelasan dari Mahkamah Agung terkait syarat yang diajukannya akan dibatalkan juga atau tidak.Â
Baleg DPR akan mengikuti keputusan MK terkait judicial review  pada tanggal 27 mendatang. Dengan demikian Kaesang Pangarep sah dibatalkan untuk mendaftar menjadi cagub DKI Jakarta. Namun, kita akan saksikan pada tanggal 27 mendatang karena MA masih belum mengeluarkan statemen atau keputusan resmi terkait syarat yang telah ditentukan sendiri. Inilah politik di Indonesia sulit ditebak.Â
Politik seperti ini merupakan politik kurang sehat yang selalu dipraktekkan. Apalagi pada periode Jokowi yang kedua membuat iklim perpolitikan di Indonesia menjadi sedikit rumit serta membuat demokrasi terdegradasi. Serangkaian hal ini membuat masyarakat dan mahasiswa kesulitan untuk menyampaikan aspirasi dan keluhkan sebagai warga negara.Â
Apalagi di Papua yang sarat dengan kejadian-kejadian seperti penghilangan nyawa membuat aktivis HAM dan mahasiswa Papua mendapatkan sedikit ruang atau dengan kata lain selalu dibungkam oleh aparat seperti polisi dan tentara. Semoga Demokrasi tetap terjaga serta terawat dengan baik di masa mendatang sehingga seluruh lapisan masyarakat dari berbagai suku, bahasa, dan budaya mendapatkan proporsi yang sama dalam menyampaikan pendapat di depan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H