Iklim Perpolitikan dan Pergantian Kekuasaan di Indonesia ; Apakah Harus Dilihat Sebagai Peluang Bisnis atau Sebagai Penunjang Keberlangsungan Hidup Masyarakat?.
Perpolitikan di indonesia menjelang pilpres (pemilihan presiden) sangat-sangat antusias. Hal ini terlihat dari segala kalangan yang terlibat, baik itu dari kalangan masyarakat seperti para orangtua dan anak muda, serta kalangan penjabat pemerintahan atau birokrat, dan di kalangan pemuka agama. Atmosfir perpolitikan menjelang pilpres tidak hanya dirasakan di tingkat pemerintah pusat atau ibu kota negara, tetapi juga dirasakan hingga di tingkat daerah. Hal ini karena ternyata pergantian kekuasaan tidak hanya dilakukan oleh wapres dan cawapres, melainkan anggota DPR, DPD, DPRD Proinsi, dan DPRD Kabupaten yang dilakukan secara serentak. Hal ini baik karena fungsi demokrasi akan tetap terjaga secara utuh.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang mempunya dasar hukum yang jelas tentu tidak akan membiarkan terjadinya kecurangan-kecurangan dalam politik. Kecurangan dalam politik ini pada dasarnya dikarenakan perbedaan kepentingan partai. sekali lagi saya tegaskan bahwa karena kepentingan partai dan bukan kepentingan hajat dan martabat hidup masyarakat. Kenapa dekmikian? Karena terbukti dan terlihat secara jelas di mata publik bahwa setiap bakal calon yang terpilih akan selalu dikendalikan oleh partai pengusung. Contoh nyata bahwa selama sepuluh tahun pak jokowi bekerja selalu ada campur tangan ketua partai, dan kita semua tahu partai mana serta siapa ketuanya. Sebenarnya tidak menjadi soal jika seluruh keperluan masyarakat terpenuhi dengan baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap terjaga dengan baik pula.
Adanya Potensi Terjadinya Ladang Bisnis bagi Para Kapitalis setelah Pergantian KekuasaanÂ
Setiap pergantian kekuasaan akan selalu ada para pelaku bisnis yang meliriknya. Tidak sedikit pelaku investasi yang melirik kekuasaan yang masih segar dan terbilang baru karena di situ gampang disusupi oleh para kapitalis demi mendapatkan kepentingan pribadi. Apalagi kapitalis ini sudah sejak lama menjalin komunikasi serta kerja sama dengan bakal calon, maka akan dengan muda untuk mendapat bagian dalam kekuasaan yang baru. Sebenarnya hal ini ada sisi  baik karena dengan adanya investor yang berinvestasi, maka akan ada lapangan kerja-lapangan kerja baru yang terbuka bagi masyarakat. Akan tetapi di samping itu para investor ini dalam menjalankan bisnisnya terkadang mengambil kekayaan alam tanpa mempertimbangkan perjanjian yang dibuat sehingga menjadi suatu persoalan bagi negara ini, terlebih khusus akan menjadi suatu ancaman bagi masyarakat pribumi yang berada di sekitarnya. Situasi ini akan semakin memperburuk masyarakat jika adanya backingan dari pemerintah untuk para kapitalis, karena akan menekan hak-hak warga sipil sebagai pemilik tanah.
Luasan konflik pertambangan sepanjang tahun 2020 saja sudah mencapai 714.692 hektar atau setara dengan tiga kali luas Kota Hongkong, jika dijumlahkan sepanjang 2014-2020 maka luasan konflik mencapai 1.640.440 hektar atau setara dengan tiga kali luas Pulau Bali, (jatam.org/2021). Data dari jatam (jaringan adokasi tambang) menunjukan bahwa betapa banyak dan luas lahan yang masih menjadi konflik bagi masyarakat pemilik tanah dengan para pemilik modal. Hal ini masih menjadi persoalan karena backingan bagi para kapitalis ini adalah pemerintah. Sebenarnya pemerintah juga mempunyai badan usaha yang disingkat BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bertugas untuk mengelola sumber daya alam demi kepentingan negara. Namun kenyataan yang terjadi ada segelintir orang atau oknum yang mengatasnamakan pemerintah untuk berkerjasama dengan badan usaha asing demi kepentingan pribadinya. Hal ini yang menjadi keprihatinan jika kelak setelah pergantian kekuasaan terdapat kongkalikong atau 'transaksi di bawah meja' yang mana dapat merugikan masyarakat.
Selain adanya lahan yang masih menjadi konflik, ada juga masyarakat serta aktivis yang ditekan, diteror, serta diintimidasi dan dikriminalisasi karena dianggap menghalangi investasi. Berdasarkan data dari jatam (jaringan adokasi tambang), dari 8 kasus kriminalisasi sepanjang tahun 2020 ini terdapat 4 kasus kriminalisasi terbesar yang menyebabkan 66 orang jadi korban kriminalisasi, empat kasus tersebut adalah ; (1)Kriminalisasi dalam kasus dan konflik masyarakat nelayan Kepulauan Sangkarang, Kodingareng, Sulawesi Selatan melawan rencana reklamasi Makassar New Port, Pelindo, tambang pasir laut dan Tambang asal Belanda, Boskalis, (2)Kriminalisasi dalam kasus dan konflik buruh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Pulau Halmahera, Maluku Utara dan PT Virtue Dragon Nikel Industri, Kecamatan Morosi, Sulawesi Tenggara, (3)Kriminalisasi dalam kasus dan konflik masyarakat penolak tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI) di Banyuwangi, Jawa Timur, (4)Kriminalisasi dalam kasus dan konflik masyarakat nelayan penolak tambang timah PT Timah di Bangka Barat, Bangka Belitung, (Jatam.org/2020). Data ini menjadi bukti bahwa negara juga ikut andil dalam memuluskan jalan bagi para kapitalis, sehingga ketakutan akan hilangnya tanah sebagai sumber penghasilan bahan pangan membuat masyarakat dan aktivis lingkungan mencoba mempertahankan kepemilikan tanahnya.
Dampak Pergantian Kekuasaan bagi Keberlangsungan Hidup Masyarakat
Keberlangsungan hidup masyarakat sangat ditentukan oleh peralihan kekuasaan yang baru. Para penguasa yang baru harus memegang erat legitimasi masyarakat dan menjalankan perintah konstitusi sebagai dasar atau tumpuan untuk melayani masyaraknya. Pemerintahan yang otokrat atau pemerintahan yang berbau dinasti dapat menghambat proses demokratisasi dalam suatu negara. Belakangan ini di Indonesia sendiri tercium bau-bau sistem pemerintahan dinasti karena beberapa jabatan penting dipegang oleh orang-orang yang mempunyai ikatan kekeluargaan sehingga memuluskan proses pemeriksaan berkas bakal calon wakil presiden yang merupakan anak presiden dari salah satu kubu. Tanpa saya sebutkan pun kita bisa mengetahui siapa saja orang-orang yang dimaksud dalam tulisan ini. Hal seperti ini yang tidak diinginkan oleh masyarakat karena tindakan seperti ini sudah dianggap pelecehan demokrasi yang marwahnya sudah dibangun dan terjaga semenjak jaman reformasi.
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan, (Juanda, endu/2017). Suatu kekuasaan jika tidak diimbangi dengan hukum maka akan kebablasan dan menjadi tidak terkontrol sehingga banyak menimbulkan masalah di masyarakat maupun di internal tubuh kekuasaan itu sendiri. Oleh karena kekhawatiran inilah yang membuat masyarakat menjadi was-was jika suatu waktu terpilih pemimpin yang hanya mementingkan keluarga, para kroninya, maupun para bawahan yang mendukungnya tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakatnya. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kekuasaan tertinggi justru ada ditangan rakyat. Jika selama kepemimpinannya seorang pemimpin negara melenceng dari perintah konstitusi dan tidak lagi memihak pada masyarakat, maka rakyat mempunyai hak mutlak untuk menurunkan pemimpin tersebut, entah dengan cara damai maupun dengan cara yang tidak damai agar keutuhan demokrasi tetap terjaga.