Sertifikasi halal merupakan wujud kehadiran negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan terhadap konsumen muslim. Bagi umat Islam mengonsumsi produk halal merupakan suatu kewajiban yang bernilai ibadah.Â
Sertifikasi halal menjadi jaminan kepastian hukum yang akan menghadirkan ketenangan batin dan rasa aman pada diri setiap muslim.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, kebutuhan akan produk halal di Indonesia sangat besar. Dari sudut pandang ini sertifikasi halal bukan hanya memberikan manfaat bagi konsumen, melainkan keuntungan ekonomis kepada produsen. Seperti meningkatnya kepercayaan konsumen, memiliki unique selling point, dan meningkatkan marketability produk di pasar.
Sertifikasi halal bukan hal baru di Indonesia. Dulu tugas ini dijalankan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi, karena sifatnya bersifat sukarela membuat banyak produsen masih enggan untuk menjalankan etika bisnis ini.Â
Berdasarkan data sertifikasi LPPOM MUI selama kurun waktu 2011-2018 dari 727.617 produk yang beredar di masyarakat hanya 69.985 produk (9,6%) yang tersertifikasi halal. Bukan berarti bahwa 90,4% produk lainnya itu haram. Besar kemungkinan produsennya belum mengajukan sertifikasi halal.
Setelah disahkannya Undang-Undang nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, wewenang sertifikasi halal dialihkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), lembaga independen di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia.Â
Undang-Undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini terdapat pasal yang mewajibkan pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) untuk memiliki sertifikat halal untuk produk olahannya.
Tugas penahapan pertama kewajiban bersertifikat halal untuk produk makanan dan minuman telah dijalankan sejak 17 Oktober 2019 dan berlangsung hingga 17 Oktober 2024.Â
Ada tiga kategori produk yang menjadi sasaran sertifikasi halal tahap pertama ini. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
BPJH menegaskan tiga kelompok produk tersebut harus sudah bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024. Produsen yang produknya dipasarkan untuk konsumen muslim tetapi tidak memenuhi ketentuan sertifikasi halal akan dikenakan sanksi, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran.
Kebijakan produk wajib berserfikat halal yang disertai ancaman sanksi ini bukan sesuatu yang harus ditanggapi secara berlebihan apalagi sampai menimbulkan kegaduhan.Â
Ada dua alasan mengapa BPJPH mengeluarkan imbauan tegas itu. Pertama, masa sosialisasi dan pelaksanaan proses sertifikasi halal sudah berjalan sejak 3 tahun lalu dan masih tersisa waktu satu tahun lagi bagi produsen yang belum mengajukan sertifikasi halal. Waktu yang lebih dari cukup.
Kedua, BPJH menyediakan fasilitasi Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMK. Program SEHATI mulai dijalankan awal 2023 dengan mekanisme pernyataan pelaku usaha (self declare). Ada 1 juta kuota sertifikasi halal gratis yang disediakan Kementerian Agama. Ayo, tunggu apalagi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H