Kesibukan kepolisian, khususnya Polda Metro Jaya sejak beberapa hari lalu kian meninggi. Bahkan, ruas-ruas jalan pintu masuk kota Jakarta pun dijaga ketat. Mereka bahkan harus mengamankan secara ekstra ruas-ruas jalan tol, itu untuk mengantisipasi aksi brutal kelompok orang yang menamakan diri suporter sepakbola, tetapi lebih mirip preman jalanan yang merasa dirinya paling jagoan dari orang lain. Daripada keduluan 'para pengacau' ini seperti kejadian Sabtu dinihari (17/10/2015) di ruas Pancoran.
Kita semua pernah menonton pertandingan sepakbola. Kita pun mestinya punya tim yang dijagokan. Tapi, menyaksikan berbagai aksi suporter sepakbola yang brutal, saya jadi bertanya-tanya. Jangan-jangan, sepakbola bukan penyebab semua kekacauan baik yang terjadi di lapangan sepakbola maupun di jalan tol dan tempat-tempat lain. Bisa jadi, para pengacau yang menamakan diri dan disebut oleh media sebagai suporter ini, sesungguhnya membutuhkan ajang pertandingan sepakbola untuk menciptakan keributan.
Tengok saja bagaimana pergerakan mereka ke stadion dalam sebuah pertandingan reguler, bukan kelas semifinal apalagi final. Bergelantungan di bis kota, berteriak-teriak di sepanjang jalan dan kerap terjadi juga sweeping kepada pendukung lawan. Belum lagi daat pertandingan berlangsung, hingga puncaknya di akhir pertandingan.
Tergelitik saya mendengar komentar anak saya yang duduk di bangku SMP, menyaksikan berbagai pemberitaan mengenai antisipasi kekacauan final piala presiden. "Pak, suporter sepakbola kita gak ada bedanya sama anggota DPR kita ya. Teriak-teriak gak jelas, bahkan sampai pukul-pukulan."
Mungkin analogi putra saya ini tidak dia cerna secara mendalam, hanya lontaran sesaat. Tetapi saya terdiam lama memikirkan, jangankan di lapangan sepakbola, di dalam gedung dewan yang terhormat saja, para wakil rakyat kerap menciptakan kekacauan-kekacauan, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Lantas, apakah berlebihan jika kita berharap suporter ini mengalami sebuah revolusi mental untuk tidak menciptakan keributan-keributan lagi?
Di dalam gedung dewan yang megah itu, demokrasi yang diharapkan lahir dan menaungi seluruh penghuni negeri ini, justru kerap menjauh dari substansi demokrasi itu sendiri. Ego partai, ego fraksi, birahi untuk menunjukkan kelompoknya paling hebat dan kelakukan berteriak-teriak enggak jelas, sungguh jauh dari sikap dewasa dalam berdemokrasi. Proses berdemokrasi dilakukan secara salah dan lebih mirip suasana pasar malam, yang juga bernuansa kekerasan.
Lantas apa bedanya para wakil rakyat kita dengan aksi para suporter brutal itu?
Kita terlampau gampang lupa. Kita baru sadar akan bahaya fanatisme suporter, selalu di saat menjelang sebuah pertandingan. Di luar itu, kita lupa! Persis seperti sekarang ini, ketika final piala presiden memertemukan Sriwijaya FC dan Persib Bandung, besok Minggu (18/10/2015), semua pihak mengkhawatirkan bersuanya suporter Persija Jakarta dan Persib Bandung. Aneh! Yang tanding klub Palembang vs klub Bandung, tapi yang ditakutkan adalah bentrok pendukung Persib dan Persija.
Pada akhirnya, sulit bagi kita untuk mengharapkan potret buram pendukung sepakbola Indonesia berubah cerah jika tidak ada langkah-langkah revolusioner. Karena wakil rakyat yang lebih canggih tingkat pendidikannya itu pun, masih saja tidak naik kelas, tetap di bangku TK sejak jaman almahrum Gus Dur. Apalagi para suporter sepakbola? (Foto: sambernyawa.com)
Â
Ferdinand Lamak, jurnalis senior properti! | Penulis pernah menjadi jurnalis di Majalah Warta Ekonomi, KBR 68H, Majalah MATRA, News Producer di Radio Smart FM, Chief Editor Majalah Bisnis Properti dan Tabloid Transaksi Properti, Head of Editor di iProperty Group.