(Sebuah Catatan Lepas)
Sebagai Rujukan
"Kalau ke pantai tidak berani sendiri, mama yang temani, tapi kalau mama sibuk tak bisa ke pantai".
Demikian ungkapan memprihatinkan salah satu siswa sekolah dasar sebagaimana dikutip dari harian Pos-Kupang.com edisi 21 April 2020.Â
Sepintas beberapa orang yang membaca penggalan kalimat di awal tulisan ini mungkin akan marajutnya dengan konsep tentang liburan, rekreasi keluarga atau aktifitas libur musim panas lainnya. Namun tangkapan sederhana ini akan berubah emosinya bilamana berita tersebut di atas kita akses. Kesan pertama kita pasti dipengaruhi oleh headline-nya: Derita Anak Perbatasan Ende-Nagekeo Cari Signal di Pantai untuk Belajar Online, TV Juga Tak Punya.
Pertama kali membaca headline berita tersebut, perhatian saya terfokus pada penggunaan term derita. Sebuah term yang seakan secara mendalam menjelaskan situasi orang-orang yang tengah mengalami kesulitan lahir-batin. Fokus ini sekiranya terlepas dari ekspresi subjetif saya terhadap kemahiran para jurnalis dalam meramu setiap kata.
Dalam filsafat Barat ada suatu tradisi panjang yang mengajarkan bahwa "berpikir sama dengan berada". Catatan lepas ini sedikit tidaknya mengafirmasi salah satu situasi dan kondisi kami di Desa Ondorea Barat, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Provinsi NTT, Indonesia.Â
Perlu diberi penekanan bahwa wilayah Desa Ondorea Barat merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Ende dan Kabupaten Nagekeo. Dua kabupaten besar di wilayah flores-NTT. Sayangnya wilayah yang strategi ini tidak sinkron dengan ketersediaan jaringan telekomunikasi. Salama ini kami menghibur diri dengan menyematkan kampung halaman kami ini sebagai sebuah kampung unik; kawasan bebas sinyal.
Berada di era seperti ini tentunya memungkinkan sebagian besar populasi manusia  menikmati perkembangan dan kemajuan teknologi; menikmati fitur-fitur internet yang menarik; memanfaatkan banyak platform yang memudahkan pekerjaan, berkeliling dunia dengan gadget; up to date, mengakses banyak hal yang bukan hanya memuaskan keinginan tetapi juga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Â
Namun sangat kontras dengan kehidupan kami.  Bagi kami masyarakat kawasan bebas sinyal, instrument-instrumen tersebut di atas adalah sesuatu yang 'mahal'. Revolusi industri 4.0 mungkin suatu yang amat sangat aneh di telinga masyarakat kami pada umumnya.  Masyarakat secara masal  gagap teknologi (gaptek).
Kami harus menempuh perjalanan yang jauh; ke pantai atau ke titik-titik tertentu yang dijangkau oleh sinyal dari pulau tetangga. Jika tidak ingin memanjat pohon hanya  untuk mengirim pesan via SMS atau sekadar menelpon anggota keluarga di kota.Â