Mohon tunggu...
Ferdianus Gato Ma
Ferdianus Gato Ma Mohon Tunggu... Lainnya - Ferdianus Gato Ma

Voluntarisme

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

DILEMA PENGEPUL BATU HIJAU

14 Juni 2020   21:44 Diperbarui: 15 Juni 2020   20:05 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DILEMA PENGEPUL BATU HIJAU

(Antara Sumber Kehidupan dan Sumber Petaka)

Titik Tolak

Heraklitos seorang Filsuf Yunani Kuno mengutarakan sebuah konsep berpikir yang menegaskan bahwa adanya perubahan sebagai dasar terdalam realitas. Perubahan adalah keniscayaan yang tak bisa disangkal. Ia mengimani bahwa semua yang ada akan berubah dan hal ini merupakan evidensi langsung dalam pengalaman. Bahwa semua yang ada di dunia tidak akan tinggal tetap. Segalanya bergerak; mengalir bagaikan air (pantha rei).

Situasi pandemic covid-19 yang kini tengah melanda dunia global seakan menambah konsep atau pemahaman baru sebagai data primer dalam kesadaran kita. Bahwa situasi ini bergerak dari keadaan yang mula-mula baik adanya menjadi buruk adanya. Bumi yang awalnya sehat sekarang tengah berduka. Atau sedikit menjauh ke timur tengah; di bumi sengketa; konsep bellum omnium contra omnes  kini seketika berubah titik fokusnya pada konsep berperang melawan penyakit. Situasi ini mewakili perubahan sebagaimana dimaksudkan di atas.

Paradoks yang berkembang bahwa semua mengalami adanya perubahan sebagai faktisitas dirinya namun tak sedikit yang mengkhawatirkan atau mempedulikan dampak buruknya. Hal ini kemudian saya kaitkan dengan eksploitasi batu hijau di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Persoalan

Sebagai masyarakat yang secara de facto menggantungkan diri pada kekayaan alam, sudah tentu batu hijau yang kemudian menjadi bahan mentah untuk produk-produk bangunan menjadi salah satu ‘komoditi’ (perspektif Marx) yang diperjual-belikan. Sebuah pemandangan usang bila tumpukan batu hijau berjejeran di sepanjang jalan pesisiran pantai Kecamatan Nangapanda. Banyak masyarakat yang karena tuntutan ekonomi berprofesi sebagai pengepul batu hijau untuk kemudian dijual pada agen-agen.

Bertahun-tahun tumpukan batu hijau terus bertambah. Masyarakat seakan-akan secara berjemaah memindahkan batu hijau (dengan segala jenis ukuran) dari pantai ke daratan. Bisa dibayangkan jika hal ini terus dilakukan dari generasi ke generasi. Konsekuensi logis yang tidak bisa disangsikan ialah bahwa kelak ekosistem laut akan terganggu. Batu-batu yang sedianya membantu menjaga keseimbangan laut akan terganggu. Bukan tidak mungkin hal ini menjadi sumber petaka bagi masyarakat. Bilamana gelombang laut tanpa ada desakan yang memadai di area pesisir pantai, akan dengan mudah memasuki pemukiman penduduk sekitar. Abrasi sudah tentu akan terjadi.

Hal ini semakin menuai keprihatinan ditambah dengan kondisi pesisir pantai yang oleh aktivitas masyarakatnya memusnahkan semua tanaman-tanaman penyokong, yang sekiranya membantu menahan air laut apabila gelombang besar terjadi dan mengancam pemukiman penduduk. Tentu kita belum berpikir lebih jauh tentang efek bencana ini, namun bagaimana kelak bila terjadi?

Pencerahan

Locke dalam afirmasinya terhadap teori Hobbes tentang state of nature (keadaan ilmiah), menyatakan bahwa ada hukum alam bahwa orang tidak boleh mengambil lebih banyak produk alam dan tanah daripada apa yang benar-benar dibutuhkan. Penumpukan batu hijau di pesisir pantai atau gudang-gudang para agen batu hijau; apapun alasannya telah terhitung sebagai bentuk eksploitasi alam. Apalagi tanpa adanya regulasi dari pihak pemerintah.

Bukan tidak mungkin aktivitas tak beraturan terkait jual beli batu hijau ini membuat semua batu hijau yang ada di pesisir pantai akan habis (taraf kebakalan). Bencana pasti akan terjadi dan mungkin kelak memaksa kita untuk mengembalikan batu-batu itu ke pantai. Saya membahasakan ini dalam konteks kebakalan (in potentia). Batu hijau yang dipelopori sebagai sumber kehidupan sebagian masyarakat masa kini adalah sumber petaka bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat di pesisir pantai pada khususnya dikemudian hari. Demikian realitas yang mungkin saat ini belum dirasakan dan akan menanti anak cucu atau generasi-generasi berikutnya. Demikian hukum perubahan. Dilarang membacanya dalam konsep pesimistis!

Mengakhiri ulasan sederhana ini saya mengutip manuskrip metafisika  oleh Dr. Norbertus Jegalus (2018); bahwa pemahaman pemikiran harus sampai pada kesanggupan seseorang untuk harus meninggalkan kebiasaan primitif untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih murni. Konsep berpikir lama harus mengalami suatu positive disintegration (kehancuran yang positif) agar terbuka dengan pengertian-pengertian baru. Bijaksana bila sejak saat ini kita melakukan tindakan preventif; sebab pada prinsipnya apa yang dilakukan secara berlebihan adalah ‘tidak baik’. Salam.

screenshot-2020-06-14-20-55-19-71-5ee62c2b097f360eb0515172.png
screenshot-2020-06-14-20-55-19-71-5ee62c2b097f360eb0515172.png

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun