Anya terengah-engah saat ruangan berhenti bergetar. Pisau kuno itu masih tertanam di lingkaran simbol di dinding. Tubuhnya gemetar, tapi ia tahu belum waktunya menyerah. Suara gadis kecil tadi terus terngiang di kepalanya: "Waktu untukmu semakin sedikit."
"Apa maksudnya? Apa yang akan terjadi padaku?" bisiknya pada diri sendiri, tapi hanya kesunyian yang menjawab.
Saat ia bersandar pada dinding untuk mengatur napas, sesuatu menarik perhatiannya. Cermin besar yang kusam, yang sebelumnya ia lihat di lantai atas, kini berdiri tegak di sudut ruangan bawah tanah. Padahal ia yakin tidak ada cermin di sana sebelumnya.
Dengan ragu, Anya mendekati cermin itu. Bayangannya terlihat aneh, seperti ada seseorang berdiri di belakangnya. Kali ini lebih jelas: seorang gadis kecil dengan wajah pucat dan mata besar yang penuh kesedihan.
"Tolong aku..." suara itu menggema dari cermin.
Anya menelan ludah. "Siapa kamu? Apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan suara bergetar.
Gadis itu tidak menjawab, hanya mengarahkan jari ke cermin, menunjukkan sesuatu. Tulisan yang sebelumnya samar kini lebih jelas:
"Kunci jawaban ada di balik cermin."
Anya mendekat dan menyentuh permukaan kaca. Suhu dingin menyengat tangannya, tapi ia merasakan sesuatu menariknya. Dengan keberanian yang tersisa, ia mendorong cermin itu. Tiba-tiba, cermin berputar, membuka pintu rahasia menuju lorong gelap.
"Kau harus masuk... atau mereka akan datang." suara gadis itu terdengar lagi, lebih mendesak.
"Mereka? Siapa mereka?!" Anya mulai panik, tapi suara langkah berat dan gemuruh dari ruang atas membuatnya tak punya pilihan.