Melihat penampilan penari membuat perasaan saya tergugah untuk menyelami lebih dalam arti dibalik setiap gerakan. Tidak lama, saya langsung diajak berlatih vokal tari Kecak. Sungguh membuat perjalanan ini semakin berkesan, bersama-sama, saya berlatih vokal dengan peserta tur. "Cak, cak, cak", ciri iringan vokal Tari Kecak, saya dengan bersemangat menyuarakan iringan indah tersebut. Kekompakan adalah kunci dalam iringan vokal ini, setiap kelompok memiliki varian vokal yang berbeda-beda. Hal ini yang membuat Tari Kecak semakin spesial. Mengingat momen tersebut, saya rasanya ingin kembali lagi ke sanggar ini untuk belajar lebih dalam tentang tarian Bali
Sanggar Tari Kaki Bebek menjadi titik kunjungan terakhir kami di Desa Wisata Batuan. Ketika saya harus mengingat Batuan, saya dapat memberikan tiga hal. Pertama, suasana, Batuan benar-benar menawarkan suasana yang hangat dan penuh dengan kesan kultural. Kedua, simbol. Saya merasakan bagaimana simbol-simbol dari setiap atribut maupun objek-objek budaya menjadi sebuah pedoman yang masih terus lestari di desa ini. Ketiga, keberlanjutan. Mungkin saya adalah orang dari suku Jawa, tapi perjalanan tur di Desa Batuan memberikan saya pemahaman dan pengetahuan baru akan budaya Bali. Saya, secara tidak langsung, berpartisipasi sebagai penerus budaya Bali. Ketiga kesan ini menjadikan saya memahami bahwa melalui desa wisata, dengan dibalut keinginan kuat masyarakat, suatu budaya tidak akan sirna melainkan terus bergema. Batuan as a living museum of Gianyar, sebuah branding yang sudah sepantasnya melekat di Batuan. Dari Desa Batuan, saya belajar bahwa tradisi bukan hanya tentang masa lalu, melainkan fondasi untuk keberlanjutan. Jika ingin memahami jiwa Bali, Batuan adalah pintu masuk yang sempurna.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H