Mohon tunggu...
Ferdian Dwi Saputra
Ferdian Dwi Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pariwisata UGM

Bagi Sang Penulis, menulis adalah tentang bagaimana kita bisa bercerita lebih dalam. Melalui tulisan, suatu eksistensi dapat diperkenalkan. Pariwisata adalah topik yang saya dalami. Melalui tulisan, saya ingin mengungkapkan bagaimana keseharian, tradisi, dan kebersamaan menjadi satu melalui pariwisata. Salam pariwisata!

Selanjutnya

Tutup

Trip

Living Museum of Gianyar: Menyelami Harmoni Tradisi dan Keberlanjutan di Desa Wisata Batuan

9 Desember 2024   19:54 Diperbarui: 9 Desember 2024   20:27 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto aktivitas melukis di Desa Wisata Batuan (Sumber: Media Pariwisata UGM)

Aroma dupa yang menyapa di setiap sudut, iringan suara gamelan yang menggema, serta langkah kaki penduduk yang menggugah perjalanan seakan merupakan sambutan hangat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Bali, yang selama ini hanya saya kenal sebagai mercusuar pariwisata Indonesia, ternyata indah dan kaya saat dirasakan langsung. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, tradisi di sini hidup dengan damai layaknya nafas yang tidak pernah terhenti. Jadi, seperti apa Bali sesungguhnya? Abim dan Rizal--Tour Leader Duo Dolan Tour mengantar saya menyelami Bali sesungguhnya. Perjalanan ini akan membawa saya menuju Desa Wisata Batuan--sebuah desa yang di branding sebagai living museum. Benarkah demikian?

Perjalanan menuju Desa Wisata Batuan, saya mulai disuguhkan dengan pemukiman-pemukiman yang penuh dengan rumah tradisional Bali. Saya diperlihatkan beberapa jenis rumah tradisional Bali, mulai dari Angkul-angkul hingga Pura Keluarga yang konon katanya wajib dimiliki oleh seluruh masyarakat Bali sebagai tempat beribadah di rumah mereka. Sampai di Desa Batuan, saya juga disambut dengan keberadaan sebuah pura di tempat Bus kami parkir. 

Berjalan di Bali tentu berbeda dengan berjalan di Jogja. Aroma dupa adalah pembedanya. Saya mulai membiasakan dengan keberadaan dupa dan aromanya yang menyengat selama perjalanan. Begitupun menjejakkan kaki di desa ini, selain aroma dupa, saya sempat melihat betapa jernihnya aliran air kanal di Desa ini. Sepertinya mereka benar-benar bersahabat dengan alam. Di sini, bertemu dengan bule rasanya juga sudah biasa bagi mereka. Bahkan, ketika saya berjalan menuju tempat berkumpul kami di Batuan, saya bertemu seorang bule yang melintas santai menuju villa di dekat desa. Terkadang saya pun risau, bagaimana para bule ini dianggap oleh masyarakat Bali, apakah sebuah peluang atau justru sebuah ancaman?

Sampai di tempat berkumpul, saya beserta teman-teman peserta tur mulai disambut oleh para pengelola Desa Wisata Batuan. Saya berjalan menuju aula tempat berkumpul, di sini saya mulai melihat banyak hal. Di area ini, ada sebuah pendopo yang digunakan untuk penyambutan dan beberapa gazebo dan sebuah dapur. Saya juga melihat ada sebuah bangunan seperti gudang yang digunakan sebagai tempat mengolah limbah. Nampaknya, saya berada di area Puspa Aman dan TPS3R Desa Wisata Batuan. Saya dan peserta tur disambut dengan hangat dan diceritakan bagaimana sejarah Desa Wisata Batuan dan dinamika mereka sebagai sebuah desa wisata. Kemudian, kami diajak untuk mencoba salah satu teknik melukis khas Batuan. Ada beberapa tahapan dalam teknik tersebut. Kami memulai dengan teknik nyawi pertama. Sebuah tahapan untuk menegaskan garis dengan tinta Cina. Selanjutnya, ngucak (memberi efek jauh-dekat dan terang gelap). Sayangnya, dikarenakan keterbatasan waktu, saya tidak bisa mencoba secara keseluruhan teknik melukis ini. Namun, secara garis besar kami dijelaskan tahapan berikutnya seperti, menyunin (memberi kesan berisi), lalu nyawi yang kedua (memberi ornamen dan detail dengan warna), dan terakhir ngewarna (mewarnai)

Awalnya, saya mengira ini hanyalah aktivitas mewarnai seperti biasa. Namun, ternyata nyawi adalah seni melukis yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan kesabaran. Setiap sapuan dalam teknik nyawi bukan hanya estetika, tetapi mencerminkan keseimbangan antara terang dan gelap, yang menjadi filosofi harmoni dalam kehidupan masyarakat Bali. Rasanya luar biasa mempelajari sesuatu yang begitu kaya akan nilai tradisional dan keunikan. Hasil percobaan kami pun mulai dilihat oleh para pelukis yang telah menguasai dengan baik teknik ini. Ternyata, kami masih jauh dari teknik nyawi yang baik. Sungguh teknik yang tidak bisa dianggap remeh dan perlu konsentrasi tinggi. Namun, setidaknya tur ini telah membawa wisatawan melestarikan budaya leluhur. Mungkin ini adalah salah satu alasan bagaimana Batuan menawarkan sebuah museum hidup dengan koleksi budaya yang terus hidup dan lestari.  

Seusai belajar melukis, kini kami diajak untuk menikmati coffee break. Melihat salah satu menu yang ditawarkan, saya mulai teringat dengan hidangan Jawa. Nogosari, makanan yang identik dengan pisang yang diselimuti oleh adonan tepung beras dan dimasak dengan dikukus. Ternyata saya juga bisa menemukannya di sini dengan nama dan gaya yang berbeda. Kami diajak menikmati hidangan sembari mendengarkan workshop dari pengelola Desa Wisata Batuan. Saya mendengar dengan baik bagaimana Desa Wisata Batuan dimulai dari kiat menyatukan dan melestarikan budaya-budaya Bali. Di sinilah berbagai tradisi dan potensi lokal mulai disinergikan dan menjadi sebuah desa wisata yang mengusung konsep cultural.

Sebuah bagian yang tidak terlupakan, masyarakat Batuan juga sangat toleran. Saya sempat khawatir tentang menjalani ibadah di tengah desa wisata ini. Namun, kekhawatiran itu sirna ketika warga dengan ramah menunjukkan tempat untuk sholat. Mereka bahkan menyediakan ruang yang nyaman, membuktikan bahwa toleransi di sini bukan sekadar wacana, melainkan praktik sehari-hari yang tulus. Di waktu makan siang, saya juga turut menikmati berbagai hidangan lokal dan dapat kembali mengisi perut saya untuk menjelajah kepingan budaya Bali selanjutnya.

Menuju titik selanjutnya, saya beranjak menuju Pura Puseh Batuan. Sebuah pura terkenal yang digunakan masyarakat Bali untuk upacara adat dan ibadah lainnya. Saya melihat betapa megahnya arsitektur pura dan menyaksikan mereka (orang-orang Bali) hidup berdampingan dan melaksanakan ibadah dengan penuh hikmat. Gerbang Pura Puseh menjulang megah dengan arsitektur candi Bentar khas Bali, dihiasi ukiran rumit berbentuk dedaunan dan naga yang melambangkan penjaga kesucian. Batu-batu yang digunakan memberikan kesan anggun sekaligus kokoh. Inilah kepingan selanjutnya yang membawa saya menyadari bahwa Batuan benar-benar layak sebagai living museum. Menggunakan senteng (selendang) sebelum memasuki pura dulunya hanya budaya yang saya dengar, kini saya benar-benar merasakan budaya tersebut. Saat mengenakan kain senteng, saya takjub dengan motif bunga-bunga merah yang halus dan aksen emas pada ujung kainnya, seolah menyiratkan keagungan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebuah pertanyaan, apa makna dari senteng bagi masyarakat Bali?. Jawaban mereka sungguh membuat saya takjub, senteng bukan hanya sebuah atribut tapi adalah sebuah simbol akan kontrol diri. Selain senteng, masyarakat Bali juga menggunakan udeng yang juga memiliki simbol kontrol diri. 

Puas menikmati kemegahan Pura Puseh Batuan, saya diajak berjalan menuju salah satu sentra tari. Saya diajak untuk menyaksikan dan belajar tarian Bali di salah satu sanggar di Batuan yaitu, Kaki Bebek House Studio. Tidak disangka, sanggar ini ternyata sudah sering mementaskan tari ke berbagai negara. Berkesempatan untuk melihat penampilan tari tunggal yang diperankan dengan peran yang berbeda-beda menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Tari ini dicirikan dengan penggunaan atribut topeng yang dipakai oleh penari, topeng tersebut menentukan karakter seperti apa yang nantinya akan dimainkan oleh penari. Ada yang berkarakter lucu, seram, hingga berwibawa. Tidak sampai disitu, peserta tur juga diajak untuk belajar bersama dengan penari dan memerankan beberapa gerak tari. 

Foto aktivitas menari di Desa Wisata Batuan (Sumber: Media Pariwisata UGM)
Foto aktivitas menari di Desa Wisata Batuan (Sumber: Media Pariwisata UGM)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun