Mohon tunggu...
Ferawaty Marlija Damanik
Ferawaty Marlija Damanik Mohon Tunggu... Lainnya - Perencana dan Pengkaji Sektor

Kebijakan SDA dan Finance

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konflik Tanah Adat di Desa Seko Dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA): Perspektif Ekonomi Kelembagaan

20 Desember 2024   23:41 Diperbarui: 20 Desember 2024   23:46 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, masyarakat di Desa Seko merasa kehilangan kendali atas tanah yang menjadi pusat kehidupan dan identitas mereka. Selain pengakuan hak, distribusi manfaat dari proyek PLTA juga menjadi sumber ketegangan. Masyarakat adat merasa bahwa manfaat proyek tidak sebanding dengan kerugian ekologis, sosial, dan budaya yang harus mereka tanggung.

ANALISIS BIAYA TRANSAKSI

Dalam teori ekonomi kelembagaan, transaction cost mencakup berbagai biaya yang muncul dalam proses pencarian informasi, negosiasi, dan penegakan aturan atau kesepakatan. Transaction cost economics menekankan pentingnya pengurangan biaya negosiasi dan penyelesaian sengketa mel alui mekanisme partisipasi yang inklusif (Williamson, 1981). Konflik Pembangunan PLTA yang terjadi di Desa Seko mencerminkan beberapa jenis transaction cost yang relevan, antara lain:

Searching Costs

Searching costs terjadi karena kurangnya transparansi dan data yang akurat mengenai batas tanah adat dan status hukum tanah di Desa Seko. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya Searching Cost adalah ketiadaan data tanah yang akurat. Banyak wilayah adat di Seko belum terdaftar atau dipetakan dalam sistem formal pemerintah. Program One Map Policy, yang bertujuan untuk mengintegrasikan peta wilayah adat ke dalam peta resmi, belum sepenuhnya diterapkan di wilayah tersebut.

Negotiation Costs 

Negotiation costs mencakup biaya yang dikeluarkan untuk mencapai kesepakatan antara para pihak yangterlibat. Dalam kasus Desa Seko, Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tanpa melakukan "pendekatan" yang cukup dengan masyarakat adat. Hal ini memperbesar resistensi. Penolakan masyarakat terhadap proyek PLTA menghasilkan biaya tambahan bagi perusahaan dan pemerintah dalam bentuk penanganan protes, aksi massa, dan dampak negatif terhadap reputasi proyek. Dalam beberapa laporan, pemimpin adat yang menolak proyek PLTA menghadapi tindakan intimidasi, bahkan kriminalisasi. Tindakan ini tidak hanya meningkatkan ketegangan sosial tetapi juga menambah biaya sosial-politik bagi pemerintah. Akibat kegagalan negosiasi, proyek menghadapi protes sosial yang terus berlanjut sehingga proyek batal dilakukan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 

KESIMPULAN 

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi di Desa Seko dipicu oleh kurangnya keterlibatan masyarakat adat pada tahap awal dan terabaikannya kepentingan lokal serta nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat adat, sehingga memicu resistensi terhadap proyek tersebut. Selain itu, ketidakseimbangan antara institusi formal dan informal serta ketidakjelasan hak atas tanah adat memperburuk konflik, di mana hukum formal mengabaikan hak komunal masyarakat adat, menciptakan ketimpangan kekuasaan dan hambatan dalam mencapai solusi yang adil.

REKOMENDASI KEBIJAKAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun