ANALISIS KASUSÂ
ANALISIS INSTITUSI FORMAL DAN INFORMALÂ
Ekonomi kelembagaan, sebagaimana dijelaskan oleh North (1990), menegaskan bahwa institusi mencakup aturan formal (seperti hukum, kebijakan) dan aturan informal (seperti norma, nilai adat). Kedua jenis institusi ini saling memengaruhi, tetapi ketidaksejajaran di antaranya dapat menciptakan friksi yang meningkatkan biaya transaksi. Ostrom (1990) juga menjelaskan bahwa dalam pengelolaan sumber daya berbasis komunitas, kombinasi antara institusi formal dan informal cenderung lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan sumber daya. Di Desa Seko, konflik yang terjadi merupakan cerminan dari:
Konflik Kepentingan
Institusi formal, yang digambarkan melalui kebijakan pemerintah seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menganggap tanah adat sebagai hutan negara. Pandangan melihat tanah sebagai aset ekonomi yang dapat dimonetisasi melalui investasi. Sebaliknya, institusi informal masyarakat adat memandang tanah sebagai warisan leluhur dengan nilai intrinsik budaya, sosial, dan ekologis. Konflik ini memperlihatkan dualitas tujuan: efisiensi ekonomi dari perspektif negara versus keberlanjutan sosial-budaya dari perspektif adat. Tanpa jembatan antara dua paradigma ini, kebijakan yang didasarkan pada institusi formal cenderung menimbulkan resistensi dari masyarakat adat.
Absennya Mekanisme Kolaboratif
Ketiadaan mekanisme kolaborasi antara institusi formal dan informal memperparah ketegangan. Ketika pemerintah memutuskan pemberian izin tanpa melibatkan masyarakat, masyarakat adat merasa hak-haknya diabaikan. Hal ini mendorong masyarakat untuk memobilisasi perlawanan.
Ostrom (1990) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya berbasis komunitas cenderung lebih efektif apabila didukung oleh pengakuan formal terhadap sistem pengelolaan lokal. Dalam kasus Seko, kegagalan mengintegrasikan sistem formal dan adat menciptakan hambatan institusional yang signifikan.
ISU PROPERTY RIGHTS
Dalam teori property rights (Alchian & Demsetz, 1973), kejelasan hak milik adalah syarat mutlak untuk meminimalkan konflik dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Ketidakjelasan atau tumpang tindih hak atas tanah menciptakan ketidakpastian hukum yang menghambat pengelolaan sumber daya. Property rights atau hak kepemilikan memainkan peran kunci dalam mengatur bagaimana sumber daya digunakan, dialokasikan, dan dilindungi.
Di Desa Seko, ketidakjelasan property rights menjadi akar utama konflik karena adanya dualitas hak kepemilikan. Sistem hukum formal sering kali mengabaikan kepemilikan komunal masyarakat adat. Tanah adat yang tidak diakui secara hukum dianggap sebagai bagian dari hutan negara. Hal ini menciptakan ketimpangan struktural, di mana hak masyarakat adat "diabaikan" oleh institusi formal.