Latar Belakang
Konflik tanah adat merupakan isu yang kompleks dalam dinamika pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama ketika proyek berskala besar berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat. Salah satu contoh kasus yang relevan adalah konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Desa Seko merupakan wilayah adat yang kaya akan sumber daya alam, seperti hutan, tanah subur, dan aliran sungai yang menopang praktik agraris tradisional masyarakat setempat. Di sisi lain, pembangunan PLTA yang dirancang untuk mendukung pasokan listrik regional melalui investasi besar telah memicu konflik serius karena klaim tanah adat dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sehingga menimbulkan resistensi masyarakat adat terhadap kebijakan formal pemerintah.
Dari perspektif ekonomi kelembagaan, konflik ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara institusi formal, seperti kebijakan pemerintah dan hukum negara, dengan institusi informal berupa norma dan hukum adat. Pemerintah memandang tanah sebagai aset strategis yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi, sedangkan masyarakat adat melihat tanah sebagai warisan leluhur yang memiliki nilai sosial, budaya, dan ekologis yang tidak dapat diukur secara ekonomi semata. Ketidaksejajaran ini menghasilkan transaction costs yang tinggi. Selain itu, ketiadaan pengakuan formal terhadap property rights masyarakat adat menciptakan ketidakadilan dalam distribusi manfaat proyek pembangunan, yang semakin memperburuk konflik.
Pertanyaan PenelitianÂ
Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana perspektif ekonomi kelembagaan memahami konflik tanah adat yang terjadi di Desa Seko dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)?
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif ekonomi kelembagaan dalam memahami konflik yang terjadi di Desa Seko serta memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi konflik yang terjadi.
DESKRIPSI KASUS
Desa Seko yang terletak di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan merupakan desa yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki nilai historis serta budaya yang kuat. Di Desa ini terjadi konflik agraria terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Konflik ini mulai mencuat sekitar tahun 2014, ketika pemerintah memberikan izin untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Izin tersebut diberikan kepada PT Seko Power Prima untuk membangun PLTA dengan kapasitas 480 MW, yang bertujuan untuk mendukung kebutuhan energi di kawasan Sulawesi.
Konflik ini semakin memanas pada tahun 2016, ketika masyarakat adat di Seko, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), secara terbuka menolak proyek tersebut. Penolakan mereka didasarkan pada klaim bahwa tanah adat mereka digunakan tanpa melibatkan masyarakat, serta kekhawatiran bahwa proyek ini akan merusak ekosistem lokal dan mengganggu keberlangsungan kehidupan adat mereka. Pada saat yang sama, sejumlah masyarakat Seko melaporkan tindakan intimidasi dan kriminalisasi terhadap para pemimpin adat yang memprotes proyek tersebut.
Hingga saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, belum berhasil direalisasikan karena menghadapi berbagai hambatan, terutama resistensi kuat dari masyarakat adat setempat yang ditandai dengan adanya protes sosial dan konflik hukum yang terus berlanjut.