Baju Batik Perpisahan
Aku, Buyung Amat, tak pernah mengecap bangku sekolah. Karena kemiskinan begitu setia menemani keluarga. Tapi aku bertekad, anak-anakku harus lebih hebat dariku. Mereka harus sekolah. Pandai baca tulis, cukuplah aku saja yang buta huruf.
Dengan kekuatan tulang "salapan karek", membanting tulang. Bekerja seharian sebagai buruh di kebun sawit tetangga. Dengan itulah kubiayai hidup anak istri. Memupuk asa pada para buah hati.
Jadilah orang hebat yang bersekolah tinggi, punya titel, punya gelar sarjana. Lalu bekerja di kantor atau di mana. Bukan bersusah payah cuma jadi pekerja kasar seperti  ayahnya ini.
Setiap pagi, saat mentari baru muncul dari peraduan, aku telah siap untuk berangkat bekerja dengan motor tua. Membawa nasi bekal makan siang, serta tak lupa kain sarung bersih untuk salat Zuhur dan Ashar nanti.
Jelang senja baru bisa kukembali pulang. Membawa beberapa helai uang kertas sepuluh ribu. Jerih payahku seharian. Hanya cukup untuk pembeli beras, lauk pauk seadanya.
Melepas lelah duduk di beranda rumah sederhana ini, anak sulung yang kubanggakan datang mendekat.
"Ayah, besok bisakah ayah menghadiri acara perpisahan ambo?" tanya si sulungku, Bujang Ali, sambil memberikan sebuah surat undangan perpisahan.
"Tentu bisa anakku. Insya Allah ayah pasti datang ke acara perpisahan esok," jawabku dengan penuh kegembiraan sambil memandang kertas yang tak bisa kubaca rangkaian huruf di sana.
Tak terasa ia akan tamat dari madrasah aliyah. Telah dua belas tahun bersekolah. Sungguh hebat, Nak. Â Tetes cairan bening mengaburkan netraku.
***
Setelah magrib usai perlahan kubuka lemari tua di peraduan kami. Berdua dengan belahan jiwaku, melirik ke dalam lemari. Memandangi tumpukan kain usang. Berharap menemukan baju terbaik untuk di pakai esok hari pada perpisahan si sulung.
"Baju apa yang akan Bapak pakai besok ?" Lirih suara istriku bertanya. Meraba tumpukan baju yang sekian tahun tak bertambah dengan yang baru.
"Entahlah, yang penting baju bersih dan bersetrika. Agar tak malu pula anak bujang kita."
Kuambil sehelai baju kemeja putih. Ah ... Â warnanya tak lagi putih. Mungkin sudah kelabu karena hampir setiap Jumat kupakai ke masjid.
"Jangan baju itu, Pak, sudah lusuh, ini saja, batik yang dibagikan orang waktu kampanye tempo hari," kata istriku seraya memperlihatkan sehelai kemeja baru bergambar partai entahlah.
***
"Kata sambutan dari orang tua murid kelas XII kita minta kepada Pak Buyung Amat dipersilahkan untuk tampil kedepan." Suara pembawa acara perpisahan itu sungguh mengejutkanku yang masih terpana melihat kemegahan dekorasi acara perpisahan ini.
Terseok-seok kulangkahkan kaki yang cuma beralas sendal plastik murahan ke depan podium.Â
Ada suara tertawa cekikikan di barisan ibu ibu. Sebagian menunjuk nunjuk baju yang kupakai. Apakah gerangan? Mentertawakan baju batikkukah?
Kuucapkan salam dan ucapan terima kasih kepada bapak ibu majelis guru yang mendidik dan mengajar anak-anak kami hingga bisa menyelesaikan studinya di madrasah ini. Terkhusus untuk anak kami Bujang Ali, Alhamdulillah telah hafiz 10 juz dan dengan bantuan bapak ibu guru serta kaum dermawan akan melanjutkan kan kuliah ke ITB dengan program beasiswa .
Alhamdulillah .... puji syukur hanyalah kepada Allah Sang Maha Pemberi Rezeki.
***
Pasaman Barat, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H