Mohon tunggu...
Fera Sandrina
Fera Sandrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - MA Candidate Policy Science Ritsumeikan University

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menjaga Kedaulatan Indonesia di Laut Natuna: Sinergi Pertahanan dan Diplomasi

28 Mei 2024   20:40 Diperbarui: 28 Mei 2024   21:11 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sengketa Laut China Selatan: Indonesia dan China

Laut China Selatan adalah salah satu jalur komersial yang paling penting bagi industri logistik global. Sengketa di kawasan ini berkaitan erat dengan klaim sepihak yang dilakukan oleh negara-negara di sekitarnya mengenai kepemilikan wilayah perairan tersebut. Perairan dan daratan di gugusan kepulauan Paracel dan Spratly di kawasan Laut China Selatan telah menjadi sumber ketegangan antara beberapa negara, termasuk Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, serta China. Negara-negara yang bersengketa saling menggunakan dasar historis dan geografis dalam memperebutkan kepemilikan atas kawasan laut dan daratan tersebut. Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS 1982 yang menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) untuk negara-negara pesisir. Sementara, China merujuk pada peta yang dikeluarkan pada 1947 yang menetapkan klaim mereka atas wilayah tersebut dengan "Sembilan Garis Putus-putus" (Nine-Dashed-Line).

Meskipun Indonesia pada awalnya tidak terlibat sebagai pihak yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan, keterlibatannya dalam sengketa tersebut mulai muncul setelah China pada tahun 2010 secara sepihak mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Keterlibatan Indonesia semakin terlihat melalui beberapa insiden berikut:

Kasus 2010: Kapal patroli Indonesia menangkap kapal nelayan Cina yang diduga telah mencuri ikan di dekat pulau Natuna. Namun, kapal penegak hukum China, Yuzheng 311, memaksa kapal patroli Indonesia untuk melepaskan kapal nelayan tersebut dengan mengarahkan senapan mesin kaliber besar ke arah kapal patroli Indonesia (Shimbun, 2010).

Kasus 2013: Insiden kapal patroli Indonesia, Hiu Macan 001 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), berusaha menahan kapal-kapal nelayan Cina yang diduga melakukan kegiatan ilegal di perairan yang berada 105 km timur laut Pulau Natuna. Namun, upaya ini dihalangi oleh kapal penjaga pantai Cina, Yuzheng 310, yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap, memaksa kapal patroli Indonesia untuk membebaskan kapal-kapal nelayan Cina tersebut (Bentley, 2013).

Kasus 2016: Kapal pengawas pantai Cina menabrak dan mencegah kapal nelayan Cina yang sedang ditarik oleh kapal Indonesia (Supriyatno, 2016).

Kasus 2019: Ketegangan antara Indonesia dan China di wilayah Laut Natuna kembali meningkat akibat aktivitas penangkapan ikan ilegal yang terekam oleh nelayan Indonesia bernama Dedek Ardiansyah (Persada, 2019)

Klaim yang bertentangan antara Indonesia dan China atas sebagian besar Laut China Selatan bertentangan dengan klaim kedaulatan Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional. Sejak saat itu, perairan Natuna telah menjadi pusat ketegangan baru antara China dan Indonesia karena klaim yang ambigu. Hal ini mendorong ketegangan yang harus ditanggapi oleh Indonesia dengan tindakan tegas.

Perairan Utara Natuna sebagai pusat ketegangan baru antara Indonesia dan China

Natuna merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar, termasuk cadangan minyak dan gas yang melimpah serta sumber daya kelautan yang belum dimanfaatkan sepenuhnya. Kehadiran kapal-kapal China di wilayah tersebut sering kali memperburuk ketegangan karena memasuki ZEE Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia memastikan berbagai upaya untuk menjaga ZEE dan kedaulatan perairan Natuna tidak terganggu.

Sumber: Republik Merdeka (2022)
Sumber: Republik Merdeka (2022)

Jika kita melihat kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah terjadi pergeseran dari orientasi "ke luar/outward-looking" menjadi "ke dalam/inward-looking" dengan fokus pada kepentingan dalam negeri. Di bidang keamanan, orientasi tersebut diikuti dengan prioritas kepentingan keamanan nasional. Salah satu langkah kontroversial yang diambil oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2017 adalah mengubah nama bagian dari Zona Ekonomi Eksklusifnya di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya. 

Tentunya, pemerintah harus terus berbenah atas berbagai tantangan yang ada dalam menghadapi konflik kawasan tersebut. Salah satu tantangan utama adalah meningkatkan kemampuan militer Indonesia yang terbatas oleh anggaran. Meskipun telah dialokasikan banyak anggaran untuk menghadapi ancaman luar, ketergantungan yang telah berlangsung bertahun-tahun pada pemasok asing seringkali menyebabkan masalah interoperabilitas dalam perangkat keras militer. Ini menunjukkan kompleksitas dan dinamika lingkungan keamanan di Indonesia, sementara upaya untuk meningkatkan kekuatan militer terus dihadapi oleh keterbatasan anggaran. Indonesia dengan tegas terus meningkatkan kegiatan keamanan di wilayah Natuna sebagai respons terhadap klaim yang dilakukan oleh China atas sebagian besar Laut Natuna Utara. Pertahanan negara diupayakan sebagai segala usaha untuk memelihara kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, serta menjamin keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Berbagai pendekatan dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan dapat diimplementasikan melalui kombinasi pendekatan diplomatik, seperti dialog multilateral dan kerja sama regional. Dalam pendekatan Outward-looking ASEAN memainkan peran penting dalam memperkuat eksistensinya sebagai jembatan dalam penyelesaian sengketa dan konflik di kawasan bagi negara-negara anggotanya. Namun, banyak penelitian mengatakan bahwa ASEAN tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan eksistensinya seperti konflik Myanmar yang masih terus terjadi. Apabila ASEAN tidak memperbaiki penanganan konflik dan meningkatkan koordinasi serta responsivitasnya, maka sulit bagi organisasi regional ini untuk memainkan perannya secara efektif. Oleh karena itu, eksistensi instrumen pertahanan juga memainkan peran penting dalam mendukung diplomasi, terutama ketika upaya diplomasi dianggap gagal. Dalam konteks orientasi inward-looking, langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia meliputi:

1. Pengembangan Industri Strategis untuk Sistem Pertahanan: Melibatkan perusahaan seperti PT DI, PT Pindad, dan PT PAL untuk menguatkan industri pertahanan dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia dapat meningkatkan kemandirian dalam produksi peralatan militer penting seperti pesawat tempur, senjata, dan kapal perang. Pengembangan industri pertahanan juga akan menciptakan lapangan kerja baru, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan keamanan nasional secara keseluruhan.

2. Transfer of Technology (ToT): Meningkatkan kemampuan teknologi dalam industri pertahanan melalui program kerjasama co-development antara pemerintah dan perusahaan multinasional. Ini termasuk evaluasi, pembagian biaya, dan keuntungan dari penjualan hasil produksi persenjataan, sehingga Indonesia dapat mandiri dalam pengembangan dan produksi peralatan pertahanan.

3. Manajemen Perbatasan Laut Natuna: Melibatkan nelayan lokal dalam kegiatan pemantauan dan keamanan untuk meningkatkan pertahanan Kepulauan Natuna secara keseluruhan.

4. Peningkatan Kapabilitas Pertahanan di Laut Natuna: Melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas pertahanan yang memadai. Kehadiran TNI di Natuna akan membuat Indonesia lebih siap menghadapi potensi ancaman dari ketegangan di Laut China Selatan, serta menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah tersebut secara efektif.

Kehadiran maritim Indonesia di Natuna merupakan aset berharga untuk diplomasi pertahanan melalui berbagai kerja sama angkatan laut dengan mitra regional. Dengan demikian, militer menjadi instrumen penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia secara menyeluruh. Kedaulatan suatu negara dipengaruhi tidak hanya oleh sumber daya alam di wilayahnya, tetapi juga oleh faktor-faktor seperti sejarah, politik, keamanan, dan identitas nasional. Prinsip-prinsip hukum internasional dan hubungan internasional memainkan peran penting dalam menjaga dan mengakui kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu, kedaulatan merupakan hal yang kompleks dan multidimensional, mencakup aspek-aspek strategis dan diplomatik yang saling berhubungan. Untuk memastikan kedaulatan Indonesia di perairan Natuna tetap terjaga, diperlukan kombinasi antara penguatan militer, pengembangan industri pertahanan dalam negeri, serta diplomasi yang efektif dan berkelanjutan.

Referensi:

Bentley, Scott. (2013). Mapping the Nine-Dash Line: Recent Incidents Involving Indonesia in the South China Sea. The Strategist

Persada, Syailendra. (2019). Bakamla Jelaskan Kronologis Kapal Cina Bolak-Balik Masuk Natuna. Tempo.

Shimbun, Mainichi. (2010). Territorial Disputes inSouth China Sea on the Increase as ChinaFlexes Muscles. The Mainichi Daily News

Supriyatno, Ristiyan Anjasmoro. (2016). China’sRift With Indonesia in the Natunas:Harbinger of Worse to Come?. The Diplomats

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun