Mohon tunggu...
Ferameitha Sholicha
Ferameitha Sholicha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UNS

Hallo!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Online: Yakin Mereka Belajar?

11 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 11 Agustus 2020   07:04 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Sekolah Online sudah terdengar biasa di telinga kita sekarang ini. 

Seperti yang kita ketahui, pemerintah telah menerapkan sistem normal baru sejak awal Juni kemarin. Terhitung sampai hari ini (4/8), kita telah menerapkan normal baru selama satu bulan lebih. 

Dalam normal baru, pembatasan aktivitas di luar rumah mulai dilonggarkan, para pekerja diperbolehkan untuk kembali bekerja dan tempat-tempat wisata, tempat makan umum, dan mall juga sudah mulai dibuka kembali.

Namun tetap saja untuk pelaksanaannya harus mematuhi protokol kesehatan yang ada sepert memakai masker, menjaga jarak, menghindari penggunaan bersama, dan untuk tempat wisata, tempat makan umum ataupun mall wajib menyediakan tempat cuci tangan, pendeteksi suhu tubuh, dan lain sebagainya.

Beberapa minggu setelah diterapkannya normal baru, tahun ajaran baru bagi para siswa sekolah dasar hingga menengah pun juga dimulai. Hingga saat ini (4/8) mungkin sudah terhitung tiga mingguan.

Berdasarkan keputusan dari Kemendikbud, sekolah-sekolah harus menerapkan pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran online. Hal tersebut tentu saja memicu perdebatan di berbagai pihak tentang keuntungan dan kerugiannya. 

Di samping adanya perdebatan tersebut, yang kurang lebih tentang meledaknya penggunaan kuota data dan keterbatasan kemampuan para siswa, guru, maupun orangtua dalam menggunakan teknologi yang mendukung, terdapat pertanyaan yang muncul. Yakinkah para siswa tersebut benar-benar belajar dan mengikuti kegiatan pembelajaran daring dengan baik? 

Kebanyakan dari para siswa tersebut menggunakan hp, laptop, maupun komputer sebagai sarana mereka. Untuk anak seusia sekolah menengah, pasti banyak yang sudah diberikan hp maupun laptop pribadi, yang artinya miliknya sendiri dan hanya dipkai olehnya.

Sehubung dengan hal tersebut, kita juga sangat memahami bahwa di dalam alat elektronik tersebut terdapat berbagai macam aplikasi maupun software yang mana mungkin tidak dibutuhkan bagi kegiatan pembelajaran online mereka.

Alih-alih mengikuti kegiatan pembelajaran daring, justru mereka memainkan permainan yang tersedia di alat elektronik tersebut. Bisa juga mereka lebih memilih untuk membuka aplikasi sosial medianya daripada mendengarkan gurunya mengajar ataupun mengerjakan tugas yang diberikan. 

Mengapa mereka berani untuk melakukan hal tersebut? Alasannya jelas sekali karena guru mereka kemungkinan besar tidak ada mengetahui aktivitas lain apakah yang dilakukan oleh siswanya ketika sedang dalam jam pengajarannya. Guru hanya tahu bahwa mereka sudah presensi ataupun ketika mereka telah tergabung dalam sebuah video conference, tanpa mengetahui detail aktivitas mereka.

Tidak mungkin bukan jika guru hanya memberikan tugas setiap hari kepada muridnya, pasti mereka juga sekali-kali akan menyuruh muridnya untuk belajar sendiri materi yang dirasa cukup mudah.

Apakah mereka benar-benar akan mempelajarinya? Mungkin hanya sebagian kecil dari siswanya saja yang sadar akan tanggung jawab tersebut, sisanya hanya mengiyakan namun tidak melakukan.

Seperti yang telah dibahas di atas bahwa sekarang merupakan masa normal baru, di mana kita lebih longgar untuk bepergian ke luar rumah, tidak menutup kemungkinan juga bahwa mereka akan lebih memilih untuk pergi bermain daripada harus berdiam diri sembari belajar.

Sebagai contohnya, pada hari Kamis (23/7) dua teman dari adik saya yang masih sama-sama seusia anak sma datang ke rumah, dan itu masih terhitung pagi karena mereka datang sekitar pukul 08.30 WIB (jika tidak salah ingat).

Menurut kalian apa yang mereka lakukan? Belajar kelompok? Tentu saja tidak. Mereka hanya numpang tempat untuk bermain game online. 

Kalau terjadi hal seperti itu, pasti orang tua lah yang akan disangkut pautkan dan disalahkan. Namun, kebanyakan anak seusia sma itu sudah diberikan kepercayaan lebih oleh orangtuanya (berdasarkan pengalaman pribadi, saya diberikan kepercayaan lebih ketika memasuki bangku sma).

Orangtua mereka menilai bahwa mereka sudah bisa mengatur dirinya sendiri, apa yang penting bagi mereka. Orangtua juga tidak selalu bisa mengawasi anaknya, pasalnya mereka juga mempunyai pekerjaan sendiri di jam-jam sekolah tersebut.

Lalu, bagaimana solusi untuk masalah ini? Masih membingungkan, tetapi bukan berarti tidak ada. Walaupun para orangtua bekerja di luar rumah, setidaknya saat sudah berada di rumah ia sedikit lebih fokus terhadap anak, tanyakan apa yang gurunya berikan untuk pembelajaran hari ini, 

Tanyakan pula bagaimana pembelajaran ya g telah ia ikuti, apakah ia bisa mengikuti atau tidak, tanyakan pula apa yang ia dapatkan dari pembelajaran hari ini. Hal itu akan memperbesar peluang bahwa mereka akan memperhatikan pembelajaran mereka karena mereka mempunyai tanggungan untuk menceritakan tentang hal tersebut. 

Mungkin tidak semua anak akan mudah untuk menceritakan hal tersebut kepada orangtuanya, namun cobalah perlahan, berikan kenyaman untuknya, lama-kelamaan pasti ia bisa menceritakan hal tersebut kepada orangtuanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun