Mohon tunggu...
Fera Andriani Djakfar
Fera Andriani Djakfar Mohon Tunggu... Dosen - Ibu rumah tangga, Dosen, Guru madrasah, Penulis Buku: Dari Luapan Sungai Nil, Surat Dari Alexandria, Kejutan Buat Malaikat, Arus Atap dan Cinta, Serial Addun dan Addin, Islam Lokal: Fenomena Ngabula di PEsantren Madura

Banyak-banyaklah membaca buku, hingga kenyang, sampai kebelet menulis tak tertahankan!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mengenang Abah Mertua yang Unik

22 Agustus 2021   16:02 Diperbarui: 22 Agustus 2021   16:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     

Apa yang Anda lakukan jika sedang berada di rumah mertua? Jadi rajin bekerja? Jarang tidur? Gak enak banyak makan? Selalu melakukan ini itu tanpa istirahat?  Jika demikian, maka Anda sama sekali berbeda dengan saya. Ya, kalimat sambutan yang selalu disampaikan oleh mertua setiap kali kami datang ke rumah beliau adalah: "Ayo, cepetan makan! Kalian pasti sudah kelelahan, dan sekarang waktunya istirahat."  

Hingga sekarang, meski Abah sudah tiada, Ummi juga masih terus memberikan sambutan yang kurang lebih sama, yaitu menyuruh kami makan dan istirahat. 

Anak-anak saya sampai hafal, karena ya selalu begitu. Tujuh belas tahun bukan waktu yang sebentar, dan perintah untuk makan dan tidur itu bukan sekedar basa-basi ataupun hanya sambutan di awal. 

Sama sekali tidak. Bahkan ketika kami menginap berminggu-minggu pun perintah mertua selalu sama. Makan dan istirahat. Sebagai menantu yang patuh, saya pun sering menuruti perintah tersebut. Mertua yang unik, bukan? Inilah beberapa kisah saya mengenang kebersamaan dengan Abah.

Sosok Yang Penyayang

Abah Ahdi adalah sosok yang penyayang, terutama kepada anak-anak kecil. Beliau menyayangi cucunya, bahkan sejak sang cucu belum lahir. Saya masih ingat ketika hamil anak pertama, saat itu Abah masih sehat, beliau selalu menyuruh saya makan makanan bergizi. Perbanyak protein, dan hindari makanan yang berbahaya bagi janin. 

Makanan yang berbahaya bagi bayi dalam kandungan, menurut beliau berdasarkan pengalaman banyak orang, di antaranya adalah buah durian dan nanas. Maka dari itu, Abah sangat melarang saya untuk makan dua buah tersebut.

"Tolong, ya Nak. Saya kasihan padamu dan cucuku ini, takut keguguran. Kalau makanan lain silakan, saya melarang bukan karena tidak mau membelikan. Nanti kalau sudah selesai melahirkan dan menyusui, biarpun kamu minta sekarung durian akan saya belikan," ujar Abah sambil meminta maaf. Beliau tahu saya suka durian.

Beberapa bulan kemudian Fatih pun lahir, sekitar pukul dua siang. Saya masih berada di bidan hingga Maghrib, dan begitu pulang ke rumah Abah dan Ummi sudah ada di sana untuk menyambut kami. Saya lupa beliau berdua pulang jam berapa, karena saya masih sangat lemah dan harus banyak istirahat. Melihat saya yang pucat dan lemah, Abah memandang sedih sambil berkata dalam Bahasa Madura, yang artinya, "Saya kasihan sekali ke kamu...!"  Sungguh perhatian yang mengharukan bagi seorang wanita yang baru melahirkan, di saat semua mata terpusat pada si jabang bayi.

Sejak ada Fatih, Abah pun jadi lebih sering ke rumah, atau kami yang bersilaturrahim ke Tanah Merah. Seperti biasa, saya disuruh makan dan istirahat, dan sebagai menantu yang baik saya harus patuh, bukan? Fatih pun akan diajak bermain oleh kakeknya. Mulai dari main air, membuat layang-layang, menyiram tanaman, juga memainkan anak timbangan milik nenek. Pura-puranya bermain sebagai pembeli dan penjual, dan banyak lagi keseruan lainnya.

Jangan Ganggu Kesenangan Orang Lain

Abah sering berpesan agar kami jangan suka mengganggu kesenangan orang lain. Tak mengherankan jika di rumah mertua, Fatih dibebaskan bermain apapun asalkan tidak membahayakan. Kadang bermain pasir, tanah liat, main air, dan banyak lagi permainan seru di alam pedesaan. 

Kami yang sehari-hari tinggal di kawasan ibu kota kabupaten, di sebuah perumahan padat penduduk tanpa halaman, nyaris tidak pernah melihat tanah ataupun pasir. Makanya saya sering khawatir jika Fatih bermain dengan hal-hal yang 'kotor' seperti itu. 

Namun, Abah selalu berpesan. "Ini bukan sekedar main kotoran, tapi lihatlah di otaknya dia belajar. Anak kecil akan merekam apa yang dia alami, dan itu adalah proses belajar." Ya, begitulah Abah.

Karena prinsip 'jangan ganggu kesenangan orang lain' ini pula, sempat terjadi kesalahpahaman antara saya dan beliau. Saat itu, suami sempat ada rencana berhenti merokok karena berbagai pertimbangan kesehatan, apalagi saya mempunyai anak kecil. Suatu hari, kami mudik ke Tanah Merah. Mungkin, Abah melihat suami saya jarang sekali merokok, sehingga bertanya,"Kenapa kok gak merokok?" Kami pun menjawab, demi alasan kesehatan dan lain-lain. Namun, Abah seolah tidak percaya.

"Apa kamu takut miskin gara-gara merokok? Sini, saya yang menyuplai rokoknya." Abah masih terus menyelidiki apakah ide berhenti merokok ini dari saya, dan ya, tidak bisa dipungkiri memang di antaranya ini ide saya. Dulu bapak saya perokok berat dan bisa berhenti, barangkali suami juga bisa demikian. Akan tetapi, reaksi Abah berbeda. beliau justru berpesan kepada saya dengan sedikit kesal,

"Jangan ganggu apa yang menjadi kesenangan orang lain. Setiap orang punya caranya sendiri untuk bahagia." Abah juga bercerita betapa beliau sangat demokratis dalam memberi pilihan hidup untuk anak-anaknya, tanpa ada pemaksaan. Katanya lagi, termasuk soal memilih istri. Jangankan yang normal, andai menantunya cacat tidak punya tangan dan kaki, asalkan anaknya suka, beliau akan setuju. Demikian secara panjang lebar mengungkapkan sikap untuk tidak mengganggu kesenangan orang lain.

Mendukung Prestasi dan Kemajuan

Untuk kalangan laki-laki biasa seumuran Abah, bukan kalangan priyayi dan ulama, apalagi tinggal di daerah Madura, masih jarang yang berpikiran maju. Namun, tidak demikian halnya dengan Abah. Saya menjadi saksi bagaimana beliau selalu mendukung anak-anaknya untuk berprestasi dalam bidang apapun. Bukan hanya anak-anak laki-laki, tetapi juga anak-anak perempuan. Bukan hanya kepada anak-anak kandungnya, tetapi juga kepada saya sebagai menantunya.

Saat itu saya mendapat undangan untuk mengisi seminar tentang muslimah di Universitas Trunojoyo Madura, yang jaraknya belasan kilometer dari rumah. Bukan jarak yang saya pikirkan, tetapi lebih kepada urusan teknis menjaga Fatih yang saat itu masih berusia sebelas bulan. Ternyata, Abah dan Ummi siap sedia untuk menjaga Fatih di rumah. Beliau berdua pagi-pagi betul sudah berada di rumah, sehingga saya bisa mempersiapkan diri dengan maksimal.

Saya bayangkan andai punya mertua yang berpikiran kolot, alih-alih mau ikut menjaga cucu, yang ada malah bisa kena semprot, "Ngapain juga perempuan ninggalin anak hanya untuk acara bla bla bla....!" Alhamdulillah, itu tidak saya alami. Bahkan sebaliknya, saya selalu mendapat dukungan untuk terus meraih prestasi.

Di salah satu sisi, Abah sangat mendukung prestasi dan sangat bangga dengan prestasi anak-anaknya. Namun, di sisi lain beliau selalu berpesan untuk menjauhi sifat dan sikap sombong. Beliau tidak menyukai orang yang sombong, apalagi jika yang disombongkan adalah hal-hal duniawi seperti harta dan jabatan. Abah selalu mengingatkan kami tentang fananya dunia. "Saya sudah mengalami semua, Nak. Bagaimana rasanya berada di puncak, dan sudah pernah pula bagaimana terpuruk."

Pelajaran Penting dari Abah

Sikap welas asih kepada semua makhluk. Abah mengajarkan kepada kami untuk tidak menyakiti satu makhluk pun. Bagi beliau, seluruh alam ini adalah ciptaan Allah yang selalu berdzikir pada-Nya. 

Maka tak heran jika memperlakukan tanaman pun beliau sangat hati-hati. Ketika memetik cabe, kita diharuskan memakai gunting. Beliau sangat mewanti-wanti agar jangan asal petik, apalagi sampai mematahkan ranting-rantingnya. Saya sendiri menyaksikan bahwa buah-buahan yang dirawat Abah memberikan buah yang berlimpah, berkah dari perlakuan yang baik tadi.

Mengajak tadabbur dan berpikir kebesaran Allah, dan merenungkan betapa diri ini sangat lemah dan kecil. Dengan demikian, tidak patut manusia untuk bersikap sombong. Seringkali ketika mengobrol, Abah mengajak kami untuk memandang alam sekitar. Melihat cabe yang mulai memerah, beliau melontarkan sebuah bahan renungan. 

"Lihatlah cabe yang mulai merah itu, padahal kemarin masih hijau. Dimana Allah menyimpan zat pewarnanya?  Sanggupkah kita mewarnai benda sekecil itu dari dalam? Lihat kelapa itu!  Siapa yang mengisinya dengan air tanpa membuat lubang di tempurungnya?" Banyak lagi renungan semacam itu.

Jangan mengungkit pemberian. Untuk urusan ini, Abah sangat mewanti-wanti dengan keras. Dalam memberi, hendaknya seperti orang buang air besar. Jangan pikirkan lagi yang kamu keluarkan itu jadi apa dan sekarang bentuknya bagaimana. Ketika kita membantu seseorang, itu bukan karena kekuatan kita. Itu adalah titipan dari Allah, ya memang rezeki orang itu yang dititipkan melalui kita.

Sebaliknya, ketika mendapatkan kebaikan dari orang lain, jangan sekali-kali lupakan jasanya. Kami sering diberi nasihat, "Ingat ke Bibi itu, dia dulu sering antar makanan untuk kita. Ingat ke paman yang itu, dulu kalian dibelikan baju oleh dia,"  dan masih banyak pesan serupa.

"Lihatlah cabe yang mulai merah itu, padahal kemarin masih hijau. Dimana Allah menyimpan zat pewarnanya?  Sanggupkah kita mewarnai benda sekecil itu dari dalam? Lihat kelapa itu!  Siapa yang mengisinya dengan air tanpa membuat lubang di tempurungnya?"

Demikian beberapa kisah singkat mengenai Abah dalam kebersamaan saya selama sekitar lima tahun, dari tahun 2004 hingga beliau wafat pada tahun 2009. Semoga segala hikmah yang Abah Ahdie ajarkan menjadi ilmu nafi' yang terus menjadi teladan bagi anak-anak dan cucu-cicit di masa mendatang, dan menjadi sumber pahala jariyah untuk beliau. Aamiin.

Bangkalan, 20 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun