Everything is Fucked. Ya, Everything is Fucked.
Saya tidak sedang berkata kasar atau merutuki semua hal. Lebih tepatnya, kalimat pertama di atas adalah sebuah judul buku. Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi, Segala-Galanya Ambyar dengan deskripsi singkat Sebuah Buku Tentang Harapan yang ditulis oleh Mark Manson.
Selain karena sampulnya menarik, berwarna hijau telur asin yang merupakan salah satu makanan kesukaan saya. Buku ini isinya benar-benar membuka banyak pemahaman saya mengenai harapan yang dikaitkan dengan banyak hal, mulai dari politik, psikologis, agama, dan fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita.
Mark Manson mengupas tuntas apa itu harapan dan bagaimana dampaknya pada kehidupan manusia melalui dua bagian buku ini yang terdiri dari sembilan bab.Â
Di awal bab buku ini, Mark Manson menjelaskan bahwa manusia selalu memiliki kegelisahan atas kebenaran yang terjadi dalam hidupnya. Harapan seperti pisau bermata dua yang mampu membawa angin segar untuk melihat esok pagi yang lebih cerah atau justru menenggelamkan diri manusia pada kegelapan tidak berujung.Â
Penulis juga memberikan kasus-kasus sebagai contoh agar pembaca lebih mudah memahami apa yang dimaksud penulis.Â
Bahkan, penulis mengaitkan emosi dengan tiga hukum newton, terdiri dari aksi reaksi atas emosional manusia, harga diri manusia setara dengan total emosi yang dimiliki hingga kini, dan identitas diri manusia akan tetap menjadi identitas diri hingga pengalaman baru melawannya. Ketiga teori ini akan saling berkaitan dengan harapan.
Selanjutnya, penulis juga menjelaskan mengenai keyakinan atau iman sebagai sebuah harapan dengan menjabarkan bagaimana agama bisa terbentuk dan menangkap begitu banyak loyalitas dari para penganutnya serta bertahan hingga berabad-abad lamanya.Â
Dengan teori milik Nietscheze, Mark Manson kemudian memperlihatkan sisi negatif dari sebuah harapan, bahwasanya bukan harapan akan keadaan yang lebih baik yang kita perlukan. Namun, harapan untuk menjadi lebih baik.
Tidak perlu berharap menjadi lebih baik, Cukup jadilah lebih baik.
Penulis juga menyinggung mengenai kedewasaan atau kematangan emosional dan berpikir, dimana semakin maju peradaban, kematangan budaya mengalami kualitas yang menurun.Â
Hal ini tentunya dilatarbelakangi oleh teknologi yang membantu manusia dalam memudahkan aktivitasnya, yang pada akhirnya menjadi sebuah pengalihan akan rasa sakit dan penderitaan untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.Â