Mohon tunggu...
Fera Nuraini
Fera Nuraini Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Ponorogo. Doyan makan, pecinta kopi, hobi jalan-jalan dan ngobrol bareng. Lebih suka menjadi pendengar yang baik.\r\n\r\nMampir juga ke sini ya, kita berbagi tentang BMI\r\nhttp://buruhmigran.or.id/\r\ndan di sini juga ya \r\nwww.feranuraini.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lika-liku Dunia Tenaga Kerja di Luar Negeri

18 April 2012   10:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28 2767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182698" align="aligncenter" width="496" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption]

Masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kususnya di luar negeri dari dulu sampai saat ini terus saja berlanjut. Satu kasus selesai, puluhan kasus lain menyusul. Siapa yang salah? TKI, penyalur, pemerintah, majikan atau negara penempatan TKI itu sendiri? Malasnya pemerintah belajar dari kasus-kasus sebelumnya membuat nasib para TKI selalu memprihatinkan. Sebutan "Pahlawan Devisa" sama sekali tidak ada gunanya buat para TKI. Seandainya saja di negara ini lowongan pekerjaan berlimpah seperti halnya sumber daya alam, mungkin cerita dan derita TKI di luar negeri tidak akan ada.

Saat seseorang memilih untuk mencari nafkah ke luar negeri, tentu banyak pertimbangan yang telah dia pikirkan masak-masak sebelum keputusan benar-benar diambil dan berkata "iya, aku akan bekerja ke luar negeri demi masa depan dan untuk keluarga tercinta." Sekali lagi, bukan hal yang mudah mengambil keputusan ini. Jauh dari keluarga dan hidup di negara asing, bertemu dan berkumpul setiap hari dengan orang asing juga berkomunikasi dengan bahasa asing. TKI sampai detik ini selalu identik dengan orang-orang yang pendidikannya rendah, terbelakang, bahkan ada yang bilang kampungan. Benarkah demikian? Ahk, tidak juga. Buktinya, banyak kok TKI/ BMI yang sukses sekolah di luar negeri di sela-sela pekerjaannya di rumah majikan.

Di berbagai media tanah air maupun di blog-blog yang dikelola sendiri banyak sekali bertebaran tulisan tentang BMI. Banyak yang memuji, namun tak sedikit juga yang mengolok, mencaci, bahkan menghujat, mengata-ngatai para TKI/ TKW/ BMI bodoh, norak, tak berpendidikan, kampungan dan kata-kata kasar lainnya. Sedih dan miris dan saat ada yang mengatakan seorang BMI wanita ke luar negeri hanya untuk mencari sensasi dan bahkan ada yang bilang sengaja untuk menjual diri. Begitu kompleksnya masalah dunia ketenagakerjaan kita ini dan entah sampai kapan akan berakhir. Sampai tahun 2012, jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) yang ada di Hong Kong saja telah mencapai angka 150.600 lebih dan 99% kesemuanya adalah kaum wanita.

Mungkin dunia ini benar-benar sudah terbalik. Bagaimana angka 150 ribu lebih itu adalah kaum wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya dan kebanyakan adalah  ibu rumah tangga. Ini baru di negara Hong Kong, belum negara lain yang menjadi tujuan para TKW seperti Taiwan, Singapura, Malaysia dan negara Timur Tengah. Lalu kemana para suami mereka?

Di daerah saya sendiri, susul menyusul para suami menduda karena istri mereka pergi ke luar negeri dan si suami tinggal di rumah untuk mengurus anak menggantikan peran istri. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. Kebutuhan yang semakin meningkat menjadi alasan utama salah satu dari pasangan ini memilih untuk mencari pemasukan dan salah satunya memilih untuk bekerja ke luar negeri. Iming-iming gaji menjadi daya tarik tersendiri dan kadang mengenyampingkan resiko saat sudah berada di luar negeri.

Masalah baru kadang muncul setelah dolar demi dolar terkirim ke kampung halaman mereka. Suami yang bertanggung jawab pasti akan mengelola uang yang diterima dari istri dengan baik. Menggunakan seperlunya saja dan menyimpan sisanya dalam tabungan. Namun tidak sedikit juga yang begitu uang terkirim langsung habis di tangan suami untuk keperluan yang tidak jelas, bahkan ada yang nyata-nyata untuk bermain dengan wanita lain.

Tingginya Angka Perceraian di Kalangan BMI

Tidak bisa dipungkiri, banyak dari pasangan BMI yang rumah tangganya berujung di Pengadilan Agama. Di Hong Kong sendiri untuk tahun 2011 saja, KJRI  menangani berkas perceraian sebanyak 1.022. Miris.

Tahun 2001, saat masih sekolah yang kebetulan saya magang di kantor Pengadilan Agama kota saya, setiap bulan kasus perceraian yang masuk mendekati angka 100 dan kebanyakan kasus yang masuk adalah pasangan dari pihak istri yang menjadi TKI di luar negeri. Tahun 2001 TKI wanita yang ke luar negeri tidak sebanyak saat ini. Masih ingat dalam ingatan saya saat duduk di bangku SMK. Selama 3 tahun berturut-turut teman sebangku saya adalah orang yang sama. Dia sering curhat ke saya tentang ibunya yang menjadi BMI di Hong Kong sejak dia masih SMP kelas 1. Sering berkeluh tentang kerinduannya dengan sang ibu yang hanya 2 tahun sekali bisa dia rasakan. Sering bercerita tentang sepinya rumah karena hanya ada dia dan adiknya sedang bapaknya sering berada di luar rumah entah untuk apa. Kabar terakhir yang saya dengar, bapaknya sering membawa pulang teman wanita ke rumah sedang hubungan antara ibu-bapaknya sudah tidak sebaik dulu lagi.

Ini hanya satu contoh. Beberapa bulan yang lalu saat saya pulang kampung, banyak cerita serupa yang saya dengar dari orang di kampung saya. Banyak pertanyaan yang mereka ajukan ke saya sampai saya bingung untuk menjawabnya. "Sayang sekali kalau tiap bulan kirim duit tapi dihabiskan  suaminya. Kasian anaknya tidak diurus, bapaknya sibuk main di luar terus. Kenapa tidak suruh pulang saja, merawat anak dan bekerja seadanya di kampung." dan berbagai ungkapan lain yang rata-rata karena kasihan dengan pihak istri yang bekerja di luar negeri sedang keluarganya menggunakan uang kiriman seenaknya sendiri.

Saya bukan ahli ekonomi apalagi psikologi, tapi melihat fenomena yang terjadi dalam keluarga BMI membuat saya miris dan sedih. Memang tidak ada yang memaksa kami-kami ini untuk menjadi TKI/ TKW di luar negeri, semua adalah pilihan kami sendiri dengan alasan yang jelas  yaitu "ketiadaan lapangan kerja yang memadai di daerah kami dan desakan kebutuhan setiap hari yang semakin tinggi."

__

Tahun ini atau beberapa bulan lagi akan ada kelulusan tingkat SMA/ SMK. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan juta anak muda yang tidak ada biaya melanjutkan kuliah akan menjadi pengangguran.  Saya sendiri tidak berharap adik-adik kelas saya ini ikut-ikutan pergi ke luar negeri menjadi TKI/ TKW, selain umur belum mencukupi, pengalaman mereka juga belum ada. Jangan sampai hal ini dijadikan ladang empuk oleh PJTKI untuk mengeruk keuntungan.

Tidak perlu ditutup-tutupi bahwa banyak sekali PJTKI yang mendatangi sekolah-sekolah tingkat SMA/ SMK untuk merekrut para siwsinya dengan iming-iming gaji besar dengan bekerja ke luar negeri menjadi TKW. Umur dan pengalaman bukan soal bagi mereka, semua bisa diatur. Gaji tinggi tapi resiko juga tinggi apalagi umur dan pengalaman tidak mencukupi.

Semoga hal sepele ini menjadi perhatian pihak yang berwenang. Hentikan ekpsor besar-besaran tenaga kerja ke luar negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun