[caption id="attachment_163116" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi (warisan-srikandi.blogspot.com)"][/caption] Cerita pengurusan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) masih terus berlanjut. Salah satu Buruh Migran Indonesia (BMI) Hong Kong, Annie Ramadhani membagikan ceritanya di Facebook dan ini saya bagi untuk rekan-rekan buruh migran dimanapun berada.
__
Tanggal 15 desember lalu saya ke kantor Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (BNP3TKI) di jalan Jagir Wonokromo. Tepat pukul 8 pagi, saya sudah mulai antri di ruangan pengambilan formulir, dan disinilah cerita KTKLN dimulai.
Diruangan ini banyak sekali Buruh Migran Perempuan (BMP) yang ditolak dan tidak diberi formulir, dengan alasan sejak bulan Desember BP3TKI tidak melayani pembuatan KTKLN untuk BMP “mandiri”. Dan entah kebetulan atau disengaja, karena ternyata BMP yang ditolak kebanyakan BMP dari Hongkong dan saya salah satunya.
Petugas diruangan formulir menyuruh saya pergi ke Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), padahal saya tidak punya PPTKIS karena saya pindah agen dan sudah lepas dari PPTKIS sejak saya menginjak di Hong Kong 8 tahun lalu. Berikut kutipan percakapan saya dengan petugas
Petugas (P) : “Kami tidak melayani TKW mandiri mbak, mbak harus ke PT.”
Annie (A) : “Maaf pak saya tidak punya PT.”
P : “PT mbak ya yang tertera di kontrak ini” Sambil menunjuk kontrak kerja.
A : “Pak, saya tidak punya PT, PT ini fiktif “
P : “PT ini ada, PT ini di Jakarta, disini lho ada alamat dan nomor teleponnya.”
A : “Pak, saya orang Banyuwangi, penerbangan saya dari Denpasar, dan bapak meminta saya ke Jakarta? Padahal saya tanggall 17 sudah harus terbang”
P : “Ya sudah, kamu saya bantu tapi kamu bikin surat perjanjian ya?”
Untuk mendapatkan formulir memang ternyata tidak mudah, petugas selalu cari dalih untuk mempersulit, saya dipermudah karena petugas merasa saya bukan seseorang yang bisa dikerjain mungkin.
Banyak BMI Hong Kong yang tidak diberi formulir dengan berbagai alasan, dan petugas akan menyarankan mbak-mbak untuk menghubungi PPTKIS yang tertera di kontrak meski kita tidak tahu menahu tentang PPTKIS tersebut.
P : “Saya tidak bisa bantu mbak, silakan hubungi PPTKIS mbak, ini alamat, nama orang PPTKIS, dan nomor telepon”.
Akhirnya mbak-mbak tadi sibuk menelpon orang-orang PPTKIS dan beberapa saat kemudian orang-orang PPTKIS pun datang, dan untuk membantu pembuatan KTKLN. Mbak-mbak tersebut harus membayar Rp 100.000.
Teman-teman, saya kok tidak percaya sama sekali, menurut saya ini adalah permainan orang-orang untuk mencari duit, bisa jadi orang-orang ini memang bekerjasama dengan orang-orang di DEPNAKER dengan sistem bagi hasil.
Dan setelah saya diberi kertas keterangan “proses”, saya ke ruang tata usaha kemudian membayar asuransi, jam 10 sudah selesai tinggal menunggu foto dan pengambilan KTKLN.
Dengan pegawai yang begitu banyak, dan ruangan yang luas, ternyata cuma foto dan mengambil kartu, saya harus menunggu sampai jam 5 sore.
PNS (PEGAWAI NEGERI SANTAI) benar adanya, dengan ruangan yang luas tanpa AC para pegawai ini begitu santainya merokok dan mendengarkan musik. Pantas cuma foto saja kami semua harus menunggu berjam-jam.
_
Heran juga kenapa Jumhur Hidayat kok masih ngotot mempertahankan peraturan baru yang konyol ini.
Tulisan terkait tentang KTKLN bisa dilihat disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H