Mohon tunggu...
Feny Livia Manjorang
Feny Livia Manjorang Mohon Tunggu... Lainnya - masih beginner.

menulis = menegur diri sendiri. mari saling menegur namun tetap mengasihi:-)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seganteng Superman, Sekuat Ironman, dan Semisterius Batman

26 Oktober 2020   22:56 Diperbarui: 27 Oktober 2020   09:01 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagiku seorang ayah bukan hanya sekedar pahlawan, tapi Tuhan yang terlihat, nyata, dan bisa di sentuh.

Kalau dalam hubungan pacaran biasanya perempuan suka memberikan kode dan berharap seorang laki-laki bisa peka. Tetapi didalam hubungan antara ayah dengan anak, justru sebaliknya. 

Ayah selalu bilang enggak apa-apa  padahal ada terjadi sesuatu. Mereka bukan menutut untuk dimengerti, tapi lebih menginginkan untuk terlihat kuat. Tidak ingin berbagi beban, tak memperlihatkan bahwa mereka dapat menangis dan bisa terjatuh.

Saat terluka atau sedang sakit, mereka bilang rasanya seperti digigit semut. Mereka berusaha tegap seperti tiang bendera. Tidak pernah terlihat kusut layaknya pakaian yang disetrika setiap hari. 

Mulut mereka jarang mengeluarkan keluhan. Kata capek, sedih, dan berat hampir tidak pernah terucap. Semua disimpan sendirian, mulut terkunci rapat bagaikan detektif bayaran yang menyimpan berbagai informasi. Akibatnya, kami sebagai anak hanya melihat yang tampak tanpa mencari tahu hal tersembunyi.

Inilah yang menjadi penyebab kesalahpahaman hubungan seorang ayah dengan anak. Ayah menutupi banyak hal dan beranggapan bahwa si anak belum cukup dewasa. Beberapa, ada juga yang tidak ingin membebani pikiran anak. Padahal tidak ada salahnya untuk menunjukkan bahwa ayah adalah seorang manusia biasa sama seperti anak. Bukan berarti karena menjadi seorang ayah ada sekat tertentu.

Tembok emas  dibangun menjadi penghalang bahwa seorang ayah tidak boleh berbagi dengan anaknya. Namun, sebenarnya apa dasar yang membuat karakter ayah harus terlihat seperti pahlawan?  Apakah karena stigma yang sudah menjamur di masyarakat bahwa seorang ayah harus sedemikian rupa? Dan ketika tidak memenuhi standar menjadi ayah yang gagal?

Menurutku, tidak sama sekali. Terkadang karena mengikuti stigma dimasyarakat membuat hubungan ayah dengan anak menjadi salahpaham. Ayah dituntut harus bisa melakukan segala hal tanpa boleh berkeluh kesah. Pemikiran anak pun akhirnya terdoktrin dan berekspektasi tinggi terhadap ayahnya. 

Ketika tidak sesuai dengan ekspektasi hubungan ayah dengan anak menjadi renggang. Ah ayahku tidak seperti bapak-bapak pada umumnya. Ayahku gagal menjadi bapak buatku. Perbandingan antara ayah A dan B pun terjadi seolah bapak menjadi seperti soal ujian pilihan berganda. Akhirnya, saat ayah melakukan kesalahan, anak dengan mudahnya menggeneralisasikan semuanya toxic.

Sudah saatnya meminimalisir kesalahpahaman tersebut dengan saling terbuka antara seorang ayah dengan anak. Menunjukkan kekurangan tidak mengurangi nilaimu sebagai seorang ayah. Kita semua memiliki kelemahan dalam peran masing-masing. Seorang ayah akan sangat hebat ketika tidak malu mengatakan bahwa dirinya tak sempurna dan dapat berada pada titik terendah. Hapuskan semua stigma mengenai figur ayah yang menjeratmu untuk menjadi diri sendiri. Tidak masalah berbagi beban bahkan menangis tersedu-sedu.

Teruntuk ayah-ayah hebat diluar sana, tak apa-apa memiliki cela. Aku mewakili sebagai anak dari ayahku, sangat bersyukur kalian mau menjadi seorang bapak dan menikmati proses tanpa melepas tanggungjawab. Semangat untuk ayah-ayah hebat diluar sana dalam menebarkan cinta kasih kepada keluarga.

Untuk ayahku, aku sebagai anak perempuanmu sangat bersyukur memilikimu. Kata syukur mungkin tidak cukup untuk mengutarakan rasa terima kasihku. Walaupun hubungan kita tidak selalu baik-baik saja. Engkau sangat berjasa dalam membentuk karakterku. Aku minta maaf atas ketidakberanianku untuk mengatakan ini secara langsung. Maaf untuk semua keluhanku mengenai kekuranganmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun