Virus bukan makhluk gaib, dia juga hidup di tubuh manusia, lantas kok bisa akal sehat dikendalikan opini sosial?
Sosial media sedang rame membicarakan virus yang katanya sedang mewabah di China dan telah tersebar di berbagai negara. Indonesia yang tidak ketinggalan berbagai informasi langsung dipenuhi dengan artikel-artikel terkait virus corona. Katanya, virus ini dapat menyebabkan kematian dan tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan kita.Â
Padahal tubuh manusia memang sudah dipenuhi dengan bakteri dan virus, namun mungkin kita lupa sehingga wajar saja memicu rasa takut terhadap kuman.
Respon yang membaca artikel terkait virus corona  beraneka ragam, tidak sedikit dari kita salah fokus dan hanya berfokus pada negara yang menyebarkan tanpa memikirkan apa penyebab dan upaya pencegahannya.Â
Ada yang mengkaitkan virus ini dengan agama, politik, sosial, dan budaya. Beberapa orang menilai bahwa virus ini muncul sebagai azab dari Allah karena China menindas muslim di Uighur, ada juga yang berpendapat bahwa ini politik China dengan mengorbankan rakyat yang nantinya akan mendapat keuntungan besar ketika virus ini menyebar ke seluruh dunia, dan tidak sedikit pula jatuhnya pada stereotip.
Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang membuat pikiran kita teralihkan dari pemikiran yang seharusnya? Apakah kinerja otak kita salah atau karena kebudayaan yang tidak lepas dari cocoklogi?Â
Sebenarnya sistem kerja otak manusia bergantung pada pemiliknya, hanya saja ketika ada suatu kejadian kita dapat merespon cepat terutama dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidup. Kita terbiasa  bersikap reaktif dan suka membuat penilaian secara impulsif yang memicu pertengkaran.Â
Sama halnya dengan merespon virus corona  dengan cepat kita berargumen tanpa sadar sudah menyakiti orang lain dan lepas kendali. Alih-alih melihat suatu kejadian, lalu membuat asumsi, alih-alih melihat kenyatan lalu menjadikannya sebagai suatu kebiasaan, dan jarang mempertimbangkan terlebih dahulu manfaatnya dikemudian hari.
Kinerja otak kita juga dipengaruhi oleh film dan buku yang dibaca atau ditonton, jika mirip kejadiannya dengan kehidupan nyata maka dengaan cepat  kita menyamakan sudut pandang akan semua hal. Padahal keadaan lapangannya tidak sesuai dengan pemikiran kita lalu mencari pembenaran bahkan tidak jarang mengumpulkan massa untuk memperkuat asumsi kita.Â
Mengatasnamakan Tuhan juga sering kita temukan, sumpah ini-itu, membawa teori agama, ustad online bermunculan, kemudian dicampurkan dengan politik, sosial, dan budaya menjadi satu kesatuan. Bagaimana bisa kehebatan manusia mampu mengalahkan akal sehat?
Pertama, manusia menciptakan realitas hidup berdasarkan pengalaman yang telah dirasakan dan menjalani sesuai dengan pemahamannya sehingga  menyebabkan pola pikir kita menjadi irasional.Â
Kedua, berpikir berdasarkan hal-hal yang pernah dipelajari dan meniru perilaku idola kemudian menerapkannya saat menghadapi situasi  berbeda alhasil kita merasa bahwa pemikiran itu tepat.Â
Ketiga, keseringan berpikir hitam-putih, apa yang dianggap "benar" merupakan pemikiran satu-satunya terkesan masuk akal padahal tidak.
Inilah awal mula dari pertengkaran, sikap intoleran, dan prasangka terhadap orang lain. Untuk itu mengurangi ini semua, meninjau ulang pemahaman yang sudah tertanam tentang "bagaimana seharusnya", menghadapi situasi dengan menyesuaikan konteks, berpikir kritis terhadap cara pandang orang lain, dan mulailah membentuk pemahaman sendiri berdasarkan pengalaman banyak orang.Â
Dengan demikian, kita tidak mudah berpikiran terhadap sesuatu yang enggak ada fakta dan kaitannya dengan ilmiah sehingga bisa menyikapi sesuatu dengan akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H