Mohon tunggu...
Fenny Trisnawati
Fenny Trisnawati Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Manusia cuma bisa usaha, Tuhan yang tentukan.

Selanjutnya

Tutup

Love

Kekerasan Ekonomi dalam Rumah Tangga: Cinta Butuh Pengorbanan

22 Desember 2021   15:08 Diperbarui: 22 Desember 2021   15:12 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah mengenai rumah tangga seperti tidak ada habisnya. Bersatunya dua orang yang berbeda dalam suatu ikatan suci yang disebut pernikahan memiliki segudang cerita suka dan dukanya tersendiri. Kebahagiaan nampak jelas di wajah sepasang pengantin karena akhirnya menemukan pasangan, teman hidupnya untuk berbagi suka dan duka sepanjang sisa hidup mereka. Namun menyatukan dua insan yang berbeda bukanlah perkara mudah, butuh kesabaran, ketekunan dan bahkan kreativitas agar rumah tangga tetap langgeng. Tidak ada pasangan manapun di dunia ini yang ingin menikah untuk bercerai, kecuali kawin kontrak hehehe.... Namun terkadang masalah rumah tangga selalu muncul, mulai dari masalah ekonomi, keluarga besar, anak-anak, masalah antar pasangan, masalah yang cukup kompleks sebenarnya. Masalah ekonomi sering menjadi pemicu runtuhnya rumah tangga, disamping faktor lain yang juga menjadi pemicu untuk mengakhiri biduk rumah tangga.

Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita mengenai masalah rumah tangganya. Sebenarnya ini bukan permasalahan baru dalam rumah tangganya yang sudah berjalan 7 tahun, masalahnya tetap sama, dia tidak tahan dengan perilaku suaminya yang sangat memprioritaskan anaknya dari pernikahannya terdahulu. Sampai di sini akan timbul anggapan jika teman saya ini ibu tiri yang kejam, membenci anak tiri dan tidak ingin jika suaminya perhatian dengan anak kandungnya sendiri. Sebenarnya anggapan itu salah, karena cerita ini masih ada lanjutannya. Ini adalah pernikahan yang kedua bagi teman saya, dari pernikahannya terdahulu dia telah memiliki dua orang anak perempuan. Setelah bercerai, mantan suaminya tidak memberi nafkah sama sekali untuk anak mereka, sehingga otomatis teman saya ini harus menghidupi anak-anaknya. Kebetulan teman saya ini bekerja sebagai pegawai di kantor camat, jadi dia masih bisa mencukupi kebutuhan hidup untuk dirinya dan dua orang anaknya.

Selang beberapa tahun, teman saya akhirnya menemukan jodoh kembali, seorang duda yang memiliki dua anak. Saya sebagai teman berharap jodohnya ini adalah laki-laki baik yang benar-benar ingin berumah tangga dan bertanggung jawab. Sekilas saya melihat suaminya adalah orang baik nan sholeh, akrab dan perhatian dengan anak-anak tirinya, sangat mendukung karir istrinya dan siap membantu pekerjaan rumah tangga. Saya bersyukur dan ikut senang dalam hati, karena saya melihat kebahagiaan terpancar jelas dari raut wajah teman saya.

Namun ternyata kebahagiaan belum benar-benar berpihak pada teman saya. Meskipun bekerja, ternyata suaminya jarang memberi nafkah, dengan alasan dia harus membiayai anak-anaknya, selain itu mantan istrinya tidak bekerja, sehingga anak-anaknya mengandalkan kiriman dari bapaknya . Meskipun kecewa, teman saya berusaha bersabar. Sudah hampir dua tahun belakangan suaminya tidak mendapatkan proyek untuk dikerjakan, berarti teman saya menanggung kebutuhan suami dan anak-anaknya. Hal ini tidak dipermasalahkannya karena kebutuhan dapur masih bisa dipenuhi dari uang gajinya tiap bulan. Yang membuat kesal teman saya adalah, suaminya tidak ada usaha untuk mencari penghasilan. Belum lagi jika anak suaminya minta dikirimi uang untuk berbagai kebutuhan mereka, mulai dari pulsa, paket internet, buku tulis, uang sekolah, uang listrik dan PDAM, uang jajan, bahkan pembalut. Biasanya suaminya akan berusaha meminjam uang atau meminta bantuan kepada keluarganya. Tapi kalau tidak dapat, suaminya akan uring-uringan dan marah-marah tidak jelas. Akhirnya dia mulai minta teman saya untuk mentransfer sejumlah uang untuk anak-anaknya. Karena kasihan pada suaminya teman saya mengabulkan keinginan tersebut. Namun, lama kelamaan teman saya mengeluh juga, kok semua malah dibebankan ke pundaknya. Hal ini kemudian menjadi pertengkaran dalam rumah tangga mereka.

Saya pernah membaca bahwa ada empat jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu berupa (1) kekerasan fisik, (2) kekerasan psikologis, (3) kekerasan seksual, dan (4) kekerasan ekonomi. Kekerasan ekonomi dalam rumah tangga merupakan bentuk kekerasan yang jarang disadari. Dalam UU no 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT disebutkan mengenai penelantaran rumah tangga merupakan bentuk KDRT. Berkaca dari kasus teman saya, dalam rumah tangga mereka saya melihat telah terjadi kekerasan ekonomi. Suaminya tidak hanya menelantarkan rumah tangga mereka, namun juga membebankan tanggung jawabnya menafkahi anaknya dari pernikahan terdahulu kepada istrinya yang baru. Bahkan dari cerita teman saya, suaminya berulang kali mengatakan bahwa jika memang sayang sama dia, maka teman saya juga harus menyayangi anaknya. Dan bentuk kasih sayang yang dimaksud ini adalah dengan mengirimkan uang kepada anaknya. Atas nama cinta dan pengabdian, maka teman saya menuruti kemauan suaminya, mungkin bisa jadi dia tidak rela diperlakukan seperti itu, namun dia berusaha ikhlas. Tapi perasaan yang tertekan, lambat laun akan bisa meledak.

Sudah sewajarnya dalam rumah tangga saling mengisi, toleransi, saling membantu, tidak mudah marah, memaafkan dan sejuta hal positif lain yang memang harus dimiliki dalam sebuah rumah tangga. Namun akan menjadi tidak wajar jika atas nama pembuktian cinta dan rela berkorban, salah satu pasangan memanfaatkan nilai-nilai dalam rumah tangga untuk lari dari tanggung jawab.  Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya dan anaknya. Bagaimana jika suami mengalami keadaan dimana ia tidak bisa mencari nafkah? Istri dapat mengambil peran tersebut, atas nama cinta dan pengorbanan. Tidak sedikit perempuan yang mencari nafkah untuk keluarganya ketika suaminya sakit, atau tidak mampu untuk bekerja lagi karena sesuatu dan lain hal. Namun jika suami malas berusaha dan malah meminta uang istri untuk menafkahi anak-anaknya dari pernikahan terdahulu, dengan mengatas namakan cinta, ini sudah merupakan bentuk kekerasan, karena suami sudah berusaha memanipulasi istrinya untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Suami yang seharusnya menjadi pelindung bagi istri malah bertindak sebaliknya. Jika suami tidak menyadari kesalahannya, maka akan sulit bagi istri untuk bertahan dalam tekanan seperti itu. Lagi-lagi rumah tangga akan kandas dan berkontribusi pada statistik jumlah perceraian yang cenderung meningkat di Indonesia.

Cinta memang butuh pengorbanan dan memang cinta dibuktikan dengan pengorbanan yang dilakukan. Tapi apakah pengorbanan seperti ini yang mengatas namakan cinta? Saya tidak meragukan lagi bahwa teman saya ini sangat mencintai suaminya, melihat pengorbanan yang telah dilakukannya. Namun, apakah suaminya rela berkorban demi istrinya? Hanya suaminya lah yang bisa menjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun