Ketika kalimat 'Ya Allah, berikanlah rejeki yang halal untuk keluarga kami....', dia terdiam, tak terasa matanya berkaca-kaca, tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu.Â
Rekan kerjanya yang lain mengangkat kepala dan menoleh keheranan. Momen beberapa detik itu sungguh membingungkan bagi rekan kerjanya. Ketika selesai briefing, rekan kerjanya menghampirinya dan bertanya ada masalah apa. Tapi dia tidak bisa menjelaskan karena momen itu hanya dia yang memahami.
Manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang punya kuasa. Dan kenikmatan hidup adalah ketika manusia memiliki iman dan kesehatan. Sejak momen doa pagi itu, dia pun mengajukan surat pengunduran diri kepada pimpinan bank tempat dia bekerja. Pergolakan batinnya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.Â
Dia ingin hidup sesuai dengan jalan Islam, hidup yang halal berarti juga mencari rejeki yang halal, sehingga diperoleh keberkahan. Walaupun pilihannya ini mendapat tentangan dari orang tuanya, tapi dia sudah membulatkan tekad, untuk menjauh dari riba. R
umah akan dijualnya untuk membayar hutang-hutangnya yang masih tersisa, demikian juga aset yang lain secara bertahap akan dilepas. Sekarang dia mulai merintis usaha kuliner.
'Semoga berkah dan semangat ya Dek...' kataku.
Terharu juga mendengar cerita perjalanan hijrahnya, tidak menyangka dia akan hijrah secepat ini, mengingat track record-nya mengenai nilai-nilai agama. Dari itu yakinlah, bahwa hidayah itu hanya milik Allah, dan jalan datangnya hidayah bisa bermacam-macam.
Di pagi yang dingin karena hujan tadi malam, adikku berangkat diiringi gerimis pagi yang seolah menguji tekatnya untuk hijrah.Â
Terselip rasa iba karena dia harus bersusah payah karena keluar dari zona nyaman dan memulai segala sesuatunya dari nol. Tapi syurga Allah lebih indah, jadi jalani dengan hati gembira, insya Allah berkah.
Lancar rejekimu Dek. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H