Seperti sulap, tiba-tiba anak teman saya yang paling kecil nongol dan langsung menyerbu duduk dekat mamanya. Anak usia balita memang lucu, apalagi dengan rambut kriwilnya yang seperti berputar putar dan saling terkait di atas kepalanya. Tangan kecilnya sibuk dengan smartphone yang layarnya menampilkan gambar warna warni, mungkin permainan, pikir saya. Tapi apa anak sekecil ini paham langkah permainan ini, pikir saya lagi. Saya menyapanya, sambil memegang tangan balita lucu ini.Â
Saya pikir reaksinya berupa senyuman malu atau cengengesan khas balita yang sering bingung kalau ditanya namanya. Betapa kagetnya saya, karena reaksinya menepis tangan saya sambil melotot  dan berteriak. Teman saya menegur anaknya dengan lembut. Tapi si Anak masih melotot ke arah saya, apa dipikirnya saya mau ambil HP-nya ya, sehingga tindakannya jadi defensif seperti itu. Saya jadi kecut mau menyapa lagi. Tapi saya perhatikan, si Bungsu ini memang irit bicara, bahkan interaksi dengan ibunya hanya berupa isyarat saja, atau menarik ujung baju ibunya jika dia menginginkan sesuatu. Sementara mata dan tangannya sibuk dengan HP.
Saya memaklumi kerepotan teman saya mengurus tiga balita tanpa asisten, apalagi dia berusaha membantu perekonomian keluarga dengan berjualan online. Dan saya sangat memaklumi ketika teman saya ini berusaha membahagiakan anaknya dengan menuruti semua keinginan anaknya sebisanya, dia tidak ingi anaknya ketinggalan dari anak yang lain. Tapi apa dia tidak memikirkan dampak dari tindakannya itu pada anaknya?
Saya termasuk penggemar acara Nanny 911 yang waktu itu pernah tayang di TV nasional. Si Nanny Profesional asal Inggris ini selalu menekankan bahwa anak balita perlu aturan dan boundaries agar si balita perilakunya bisa dibentuk dan orang tua dapat mengajarkan tata krama kepada si anak. Orang tua perlu untuk "tega" dalam menerapkan peraturan untuk anaknya. Peraturan ini dibuat bersama-sama dengan dipimpin oleh orang tua. Selain itu, perlunya reward dan punishment, anak yang perilakunya baik akan mendapat reward dan sebaliknya. Poin penting lainnya adalah kerjasama, saling menghargai dan cinta kasih dalam keluarga sangat ditekankan, sehingga akan terbentuk suatu jalinan yang kuat antar anggota keluarga. Setiap anak punya tugas, yang tujuannya untuk mengajarkan mengenai tanggung jawab sejak dini.Â
Si Nanny Profesional ini juga mengharuskan ayah juga turut serta dalam mendidik anak. Karena pernah ada kasus, seorang ayah yang sama sekali tidak mau terlibat dalam mendidik dan mengurus anak, Nanny mengkoreksi perilaku ayah yang seperti ini. Anak-anak yang suka memukul anggota keluarganya akan diberitahu mengenai perilakunya yang tidak baik itu.Â
Lalu, apakah si Nanny yang melakukan semua itu? Tidak. Si Nanny mengajarkan orang tua cara mendidik anak setelah si Nanny berinteraksi dengan keluarga tersebut dan mencatat poin-poin yang  harus diperbaiki. Ringkasnya, si Nanny ini bertindak sebagai wasit sekaligus mengajari orang tua bagaimana menjadi orang tua yang baik, bahkan mengajari bagaimana seharusnya pasangan bekerja sama dalam mendidik anak.
Pakar parenting di negeri kita juga menyuarakan hal yang sama, bahkan menyesuaikan dengan kondisi aknir-akhir ini, mereka menyuarakan perlunya pembatasan penggunaan gadget pada anak. Hal ini disuarakan karena sudah terbukti gadget memiliki dampak negatif  bagi tumbuh kembang anak, bahkan ada anak yang harus diterapi segala untuk melepaskan kecanduaannya akan gadget.
Pada kasus teman saya, rasa sayang dan cintanya menjadikan anaknya sebagai raja dan ratu kecil tanpa cela di rumah, sedangkan orang tua dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan anak. Ketika balita mungkin orang tua tidak akan menyadari perilaku anak sebagai suatu yang keliru, tapi ketika anak beranjak dewasa, maka tuntutannya pun akan semakin banyak ditambah perilaku buruk minus tata krama kepada orang sekitar akan memperparah keadaan. Anak akan tumbuh semakin tidak terkontrol dan dibesarkan apa adanya oleh lingkungan tanpa dasar pendidikan yang kuat dalam keluarga.Â
Syukur-syukur kalau lingkungannya bagus, tapi jika lingkungan buruk, maka anak akan menjadi produk dari lingkungan yang buruk tadi. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa ibu adalah madrasah pertama anak, ibu mengajarkan nilai-nilai penting dalam kehidupan serta bagaimana adab dan berperilaku dalam keseharian. Meski demikian, pendidikan anak bukanlah monopoli ibu, peran ayah juga penting dalam membentuk karakter anak. Meski tidak ada sekolah jadi orang tua, rasanya tidak salah untuk terus menimba ilmu agar mampu mendidik anak, syukur-syukur bisa menyamai si Nanny Profesional.
Tak terasa waktu berlalu, saya pun berpamitan kepada teman saya. Sebelum mulai memacu motor, saya melambaikan tangan kepada teman saya dan anak-anaknya yang berdiri di teras. Secara spontan, Si Kakak berujar dengan lantang, "jangan datang ke sini lagi ya...."
"hush...!" teman saya merespon.