Tanggul pertahanan kesabaran Bapak yang telah dibangunnya selama ini telah jebol. Tidak ada lagi menahan perasaan, Bapak hanya ingin lepas dari tekanan Ibu.Â
Aku yakin Bapak sangat mencintai Ibu, mungkin melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Mungkin Bapak ingin masa tuanya tenang dan tidak selalu diatur untuk hal-hal yang sepele yang ingin diputuskannya sendiri. Tidak pernah keluar dari mulutnya mengenai keluh kesah terhadap perilaku Ibu yang dominan, mungkin Bapak menikmati dominasi Ibu, atau tidak ingin ada dualisme pimpinan dalam keluarga kami, entahlah. Belakangan aku tahu dari saudara perempuanku, bahwa Bapak ingin melindungi kami, sehingga dia mati-matian menjaga keutuhan rumah tangga agar kami aman dan berada dalam keluarga yang lengkap dan tidak bercerai berai.
Dari belakang aku mendengar suara Ibu, sepertinya Ibu mengomel karena Bapak baru saja membeli biskuit coklat karena aku dan anak-anakku mau datang berkunjung. Biasanya kami selalu membawa buah tangan untuk dimakan sambil ngobrol santai di rumah. Adanya biskuit coklat semakin menambah semarak dan kehebohan, karena anak-anakku penggemar coklat dan sangat senang bisa makan biskuit coklat kesukaan mereka yang tidak setiap hari mereka dapat nikmati karena ku batasi.
Senyum Bapak mengembang melihat tingkah laku cucunya, kekesalan Ibu seolah tenggelam dan tidak terlalu menjadi perhatian Bapak, karena dia sibuk bertanya mengenai nilai rapor yang baru saja diterima oleh cucunya. Samar-samar aku mendengar Ibu mengeluh tentang lantainya yang kotor dan remah-remah makanan yang berserakan di lantai. Aku melihat Bapak, sepertinya Bapak tidak menyadari kekesalan Ibu sudah beralih ke hal yang lain. Aku hanya tersenyum kecut, dan berdoa dalam hati semoga Bapak dan Ibu selalu sehat di masa tuanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI