Hal ini lebih dari sekadar tren satir; ini adalah bentuk dari trauma bonding di ruang digital, di mana perempuan menemukan kenyamanan dalam kebersamaan dan memahami bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi perilaku toksik atau standar ganda. Dengan cara yang ringan namun bermakna, Gen Z telah menciptakan ruang di mana perempuan dapat menceritakan pengalaman mereka, sekaligus menyuarakan kritik yang kuat terhadap dinamika hubungan yang tidak setara. Dan disitulah kekuatan sejati dari tren ini---ia menghubungkan kita semua sebagai perempuan, dengan sindiran sebagai media utamanya.
Kesimpulan
  Lebih dari sekadar tren satir, fenomena ini mencerminkan bagaimana perempuan dapat menemukan kekuatan dalam kebersamaan dan solidaritas. Dengan humor sebagai medium utama, mereka tidak hanya menyuarakan kritik, tetapi juga membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas tentang kesetaraan gender. Seperti yang dijelaskan oleh Judith Butler, performativitas gender adalah cara untuk membongkar norma sosial yang mendominasi. Dalam hal ini, Gen Z menggunakan TikTok untuk menciptakan dunia mereka sendiri---sebuah dunia di mana humor menjadi alat perlawanan, dan solidaritas menjadi kekuatannya.
Referensi:
Butler, J. (1999). Gender Trouble : Feminism and the Subversion of Identity . New York: Routledge.
Husna, Arina & Mairita, Desy. (2024). Gen Z dan Perilaku Konsumsi Konten Influencer pada TikTok. Jurnal Riset Komunikasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H