Mohon tunggu...
fendyhermansyah saputra
fendyhermansyah saputra Mohon Tunggu... -

tiada dusta diantara kita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesan Sehari di Kawasan Merapi

2 Desember 2010   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:05 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ditulis di Jombang) - Mata kian terbelalak ketika memasuki jalanan menuju Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang, Sabtu (27/12). Gambaran lanskap kawasan di sekitar Merapi-seperti yang kita lihat di media massa-tiba-tiba muncul di pikiran. Sontak hati ini berdebar. Ada rasa takut, cemas, sekaligus penasaran. Supir menekan gas keras tuas gas. Mobil melewati jalanan terjal. Terus menanjak ke atas.
Di kanan-kiri jalan didominasi gabungan vegetasi perkebunan kelapa, persawahan, dan ladang milik penduduk setempat. Beberapa kawasan pemukiman ikut terlintasi. Tapi, gambaran yan ditangkap oleh indera penghilatan begitu memprihatinkan. Dimana-mana berwarna abu-abu-kelabu. Pepohonan jadi layu. Sebagian besar roboh.
Yang membuat heran, rumpun bambu pun ikut-ikutan roboh. Ratusan bilah batang bambu patah. Posisi patahannya terletak di bagian tengah batang. Padahal, bambu dikenal lentur. Tak terbayangkan, bagaimana debu erupsi dan hujan abu turun menghujam ke tanaman hingga demikian parahnya.
Kawasan Kecamatan Srumbung banyak tanaman salak ditanam. Dan, itu pun tak luput jadi korban. Rumpun salak roboh. Batang dan daunnya seakan segan tegak. Pasalnya, batangnya patah. Tak tahu lagi bagaimana buahnya. Belakangan diketahui, buah salak yang dijumpai ukurannya tambah besar. Bukan karena daging buahnya yang tiba-tiba gemuk. Melainkan, buah berkulit keras itu terselimuti abu tebal.
Di tengah perjalanan, yang berjarak setengah kiloan dari jalan raya Magelang-Yogjakarta, penduduk lokal sering dijumpai. Mereka terlihat sibuk di beberapa rumah yang dijadikan posko dadakan. Beberapa diantaranya, terhenti sejenak melihat rombongan mobil yang tengah melintas. Dari raut wajah mereka tercermin kesedihan yang mendalam.
Meski sekilas, seorang perempuan tua, memakai kebaya lengkap dengan jarik tuanya, duduk diatas tanah jalan setapak. Ia tak memakai masker. Di tangan kanannya, tergenggam sebuah sapu lidi. Matanya bergerak mengikuti jejak kendaraan yang mengarah ke atas. Di belakangnya, perempuan yang lebih muda mendekati. Tapi sebuah simpul senyum mengembang. Sepertinya, hatinya riang ketika melihat rombongan yang membawa sumbangan datang.
Sekitar 20 menit berjalan, mobil melewati dua buah jembatan. Yang pertama dilewati, sepertinya berdiri di atas sungai dimana aliran lahar melintas. Di sisi kanan mobil, sekitar 300 meter, sebuah tanggul penahan jebol. Bekas aliran lahar nampak membuat alur air sendiri. Lumpur yang mengeras membuat pola garis lengkung yang berkelok-kelok. Ngeri.
Beberapa saat kemudian, mobil memasuki kawasan Desa Mranggen. Pasar, pemukiman, tempat peribadatan, terbilang masih sepi. Di Dusun Salam Sari, Warga bergerombol di posko berupa rumah milik salah seorang warga. Jumlah mereka sekitar dua puluhan. Kesemuanya pria. Di seberang jalan posko, tonggak papan penunjuk tampak tak beberapa lama dipasang. Ada tulisan "Posko Bencana Merapi Salam Sari".
Posko tersebut dikoordinir secara swadaya oleh warga sekitar. Mereka baru saja kembali di kampungnya. Menyusul, penurunan status aman Gunung Merapi. Lokasi tersebut berjarak sekitar kurang lebih 8-10 km dari bibir kawah Merapi. Kondisinya, mungkin sedikit lebih baik dari pada pemukiman di Kecamatan Cangkringan, dimana (alm) Mbah Maridjan tinggal.
Meski puluhan rumah rusak, tak ada yang hancur seperti rumah Mbah Maridjan. Penduduk setempat kembali sejak pagi hari. Rata-rata keluarga mereka mengungsi di Kelurahan Tawangmangu. Hanya bapak-bapak saja yang mulai kembali. Pasalnya, letak pengungsian sejauh 10 km dari Dusun Salam Sari. Warga menggunakan sepeda motor untuk kembali.
Aktivitas warga sejak pertama kalinya pulang, lebih banyak dihabiskan dengan memeriksa dan membersihkan rumah. Beberapa diantaranya, yang kondisi rumahnya relatif tak mengalami kerusakan, lebih memilih kondisi tanaman salak. Maklum, warga setempat banyak memiliki kebun salak. Dan, sebagian besar rusak total.
Sri Utomo, 58, ditemui tengah sibuk mencuci salak miliknya. Sedikitnya ada tiga keranjang salak yang ia panen mendadak pagi sebelumnya. Di depan garasi rumahnya, ia mencuci buah salak dengan air PDAM yang masih menyala kecil. Kebun salaknya, berada persis di samping garasi. Sri mengumpulkan salak dibantu anaknya. Rencananya, buah itu akan dijual. Itung-itung, uang hasil penjualan bisa buat hidup di pengungsian.
Harga salak yang bisa dipanen diobral habis. Kalau biasanya dijual 6 ribu per kilonya, Sri membanting setengahnya. "Ini saya pilih yang bagus-bagus saja. Rp 3 ribu per kilonya," sebut Sri. Siasat itu sengaja diambil Sri. Pikirnya, ketika ada kesempatan, meski kecil harus benar-benar dimanfaatkan.
Biyantoro, tokoh masyarakat setempat mengaku tak habis pikir dengan bencana yang terjadi. Ia jadi limbung. Padahal, pengusaha tembakau itu, pada bencana gempa Yogjakarta, 2004 lalu, dirinya bisa ikut membantu korban. Tapi, bencana kali ini, ia mati kutu. Ia justru ikut nimbrung bantuan di pengungsian. Anak dan istrinya masih tinggal di pengungsian.
Di mata pria berusia setengah baya itu, ada keresahan yang nmendalam. Ia khawatir soal penyaluran bantuan bencana. Sebab, ia berkaca dari posko-posko yang ada, penyaluran tak berjalan maksimal. Biyanotoro menengarai, proses administrasi dan pengaturan pembagian tak berjalan adil. Bahkan, ada posko yang letaknya lebih rendah, sering menyerobot bantuan.
Sebagai contoh ia menyebut pembagian bantuan melalui pemerintah desa justru terlalu berbelit-belit. Ia menganggap posko yang dihimpun oleh warga lebih mengena. "Bantuan bisa langsung dibagi rata dan diketahui bersama," ungkapnya.
Biyantoro memprediksi ketergantungan warga terhadap bantuan akan tetap berlanjut. Pasalnya, perekonomian praktis lumpuh. Setelah, modal ekonomi desa seperti sawah dan kebun hancur total. Hidup barang semingu-dua minggu warga akan kelimpungan jika tak terus digelontor bantuan. "Minimal sampai 6 bulan ke depan," kata Biyan. Lepas setengah tahun, Biyan percaya, alam sedikit demi sedikit akan pulih. Masyarakat pun akan berfikir. Inisiatif untuk tetap hidup akan muncul. Entah bagaimana caranya. Itulah masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun