[caption caption="photo by Instagram : @adelineeesp"][/caption]“Macet lagi... Macet lagi...” Kata-kata ini sudah menjadi ucapan sehari-hari bagi penduduk DKI Jakarta. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, bukan hal yang tidak biasa bahwa kemacetan lalu lintas adalah masalah yang terjadi dari tahun ke tahun di kota ini. Ya, kota Jakarta yang notabenenya adalah ibukota dari negara Republik Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 10 juta orang dan menjadi kota terpadat di Indonesia 15.052,84 orang /km2 (Wikipedia). Namun, faktor utama yang menyebabkan kepadatan lalu lintas di Jakarta adalah tingkat penggunaan kendaraan bagi warga dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Berikut ini adalah 4 faktor penyebab kemacetan lalu lintas di Jakarta :
1.) Jumlah penumpang angkutan umum yang menurun.
Minat dan kesadaran warga Jakarta untuk menggunakan busway ketika berpergian cenderung menurun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh PT Transjakarta, 2011 menjadi tahun puncak jumlah penumpang tertinggi dengan 114,7 ribu penumpang. Setelah itu, jumlah penumpang bus transjakarta tak pernah lagi mencapai angka tersebut. Pada 2012, jumlah penumpang transjakarta hanya mencapai 111,2 juta. Para 2013, jumlah penumpang sempat mengalami penambahan menjadi 112,5 juta. Namun pada 2014, jumlahnya menjadi turun menjadi hanya 111,6 juta (Kompas). Hal ini dikarenakan warga Jakarta berpikiran bahwa naik kendaraan pribadi jauh lebih nyaman dan ekonomis daripada naik angkutan umum. Dari segi kenyamanan memang jauh dari kata “layak” ketika naik angkutan umum khususnya bus metro mini atau angkot yang supirnya hanya mengejar target setoran dan tidak memperhatikan aturan lalu lintas.
Bahkan, tidak sedikit para supir angkot dan bus metro mini “ngetem” atau menaikan penumpang serta menurunkan penumpang sembarangan di jalanan. Tindakan ini juga memicu kemacetan lalu lintas. Terutama pada siang hari, dimana banyak pekerja kantor pergi makan siang menggunakan kendaraan pribadi baik kendaraan roda dua maupun empat. Namun, dalam hal ekonomis, menurut saya harga yang ditawarkan oleh angkutan umum terjangkau terutama bagi para pekerja yang penghasilannya hanya cukup untuk makan dan tempat tinggal. Misalnya untuk naik busway, anda hanya perlu mengeluarkan uang sebesar 3.500 rupiah kemana saja selama tidak keluar dari halte bus.
2.) Jumlah kendaraan pribadi yang semakin bertambah setiap tahunnya.
Sudah tidak asing bahwa setiap 1 keluarga di Jakarta memiliki kendaraan pribadi minimal 1 motor atau 1 mobil. Bahkan bagi orang-orang kalangan menengah keatas, jumlah motor dan mobil bak kacang goreng dan memenuhi garasi rumah. Bagaimana tidak, di tahun 2016 ini orang semakin mudah untuk membeli kendaraan baik mobil maupun motor, dengan cicilan 1 tahun sampai 10 tahun. Pembeli dapat langsung membawa kendaraanya ke rumah. Jumlah motor dan mobil di Jakarta meningkat sebesar 12 persen tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan per hari.
Jumlah tersebut didominasi oleh pertambahan sepeda motor yang mencapai 4.000 hingga 4.500 per hari. Sedangkan kendaraan roda empat mengalami pertumbuhan sebanyak 1.600 unit per hari (Republika). Data ini menunjukan bahwa setiap hari jumlah kendaran motor dan mobil bertambah. Jumlahnya tidak sedikit, tetapi mencapai angka ribuan. Akibatnya setiap hari juga jalanan di ibukota semakin padat dan tidak kondusif.
3.) Penambahan ruas jalan yang sangat rendah
Panjang jalanan di kota Jakarta adalah 7.208 Kilometer (Km) dan baru memenuhi 60 persen dari total kebutuhan sebenarnya. Berdasarkan perhitungan Kementerian Pekerjaaan Umum (PU), di ibukota dibutuhkan jalan sepanjang 12.000 Km. Bayangkan, jumlah pertambahan ruas jalan di kota Jakarta hanya mencapai angka 0,01 persen per tahunnya. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah peningkatan kendaraan bermotor yang mencapai 9 persen per tahunnya (pu.go.id). Jadi, setiap hari kebutuhan akan jalanan di ibukota Indonesia ini semakin bertambah, padahal kita tahu bahwa kota Jakarta hanya memiliki luas sebesar 740 km2, jika arus penambahan kendaraan pribadi tidak dikendalikan, bukan tidak mungkin jalan di ibukota jakarta akan padat dan tidak bergerak dalam beberapa tahun ke depan.
4.) Terakhir yaitu karena banyaknya titik bottleneck, seperti di pintu-pintu masuk jalan tol.
Untuk faktor kemacetan yang terakhir, biasanya terjadi di jalan tol antar kota seperti Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor yang merupakan kota di pinggiran Jakarta. Karena, banyak orang yang bekerja di Jakarta dan tinggal di pinggiran kota sehingga setiap hari harus melewati jalan bebas hambatan atau tol. Banyaknya kendaraan yang memasuki jalan tol mengakibatkan kepadatan di pintu masuk tol, antrian mobil untuk membayar tarif jalan tol membuat lalu pintas menjadi semakin padat. Apalagi ditambah kurangnya efektivitas pintu masuk tol seperti yang saya alami di pintu masuk tol Karang Tengah menuju Tangerang.
Di pintu masuk tol ini terdapat 2 pintu masuk, namun pintu masuk pertama didominasi oleh mesin otomatis e-toll card. Akhirnya, banyak pengendara mobil yang terjebak dan ketika sudah dekat dengan pintu masuk tol segera berbelok ke pintu masuk kedua atau pintu masuk pertama yang hanya terdapat 2 loket karcis tanpa mesin otomatis di pojok kanan dan kiri pintu masuk tol. Kemacetan pun tidak dapat dihindari, banyak mobil dibelakang yang mengalah agar mobil yang tidak memiliki e-toll card belok ke pojok kanan dan kiri. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, melainkan setiap kali saya ke Tangerang untuk mengunjungi sanak suaudara, pasti ada kemacetan di pintu masuk tol Karang Tengah ini.
4 penyebab yang saya bahas di dalam artikel ini hanya sebagian dari faktor penyebab kemacetan di kota Jakarta. Saya berharap dengan pemerintahan gubernur kali ini, kemacetan di ibukota Jakarta dapat teratasi. Walaupun masalah ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengatasinya, setidaknya kemacetan di jalan-jalan Jakarta dapat berkurang. Selain itu juga diperlukan kesadaran warga untuk mengurangi kemacetan seperti mengurangi penggunaan kenadaraan pribadi. Kesadaran ini timbul dari dalam diri kita, karena kalau bukan kita, siapa lagi?
Fendy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H