Sabtu, 27 September lalu ada notifikasi di fb, postingan dari mbak Nina, admin dan juga owner fb group Langsung Enak mengenai undangan a.k.a. tiket gratis menonton film Tabula Rasa bagi 25 perespon pertama. Nobar LE atau nonton bareng group Langsung Enak yang disponsori oleh Sunco ini digelar pada Senin, 29 September jam 7 malam di Blok M Square, Jakarta Selatan.
Sebagai penikmat, penyuka dan juga pelaku usaha kuliner saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan nobar film Tabula Rasa ini. Apalagi ternyata Film Tabula Rasa adalah film Indonesia pertama yang bertema kuliner. Kala sebuah film bertema kuliner maka patutlah kita melihat tokoh-tokoh di belakangnya, bagaimana bisa tersaji makanan Padang yang begitu enaknya… sayangnya kebanyakan orang kita hanya menjadi penyantap saja, tanpa mau tahu kisah di balik bisa terciptanya makanan sedap nan yummy :-)
Film ini dimulai di Papua, dengan sebuah doa sebelum makan. Kisah dimulai ketika Hans, seorang pemuda asal Serui, Papua, yang punya bakat dalam sepak bola dan sangat bersemangat ditawari ke Jakarta untuk bermain di sebuah klub bola di Jakarta. Ternyata sampai di Jakarta semua impian Hans hancur-lebur, usahanya gagal, dan dia terlunta-lunta di jalanan. Kakinya patah. Klub tak mau bertanggung-jawab. Bayangkan, kausnya tinggal satu, warna merah, sobek di sana-sini, dan dipakai terus siang-pagi-sore-malam! “Mereka membuang saya seperti sampah” kata Hans. Hans harus bekerja demi mendapatkan sesuap nasi dan tinggal di bilik kardus sambil memandangi sepatu bolanya. Dikisahkan Hans harus mengumpulkan ceceran beras yang jatuh di jalanan demi menukarnya dengan uang receh. Hanya cukup untuk membeli nasi warteg. Suatu hari Hans melewati sebuah jembatan dan dia berniat bunuh diri. Akhirnya dia terpeleset dan jatuh pingsan. Lantas ia ditemukan oleh Mak, seorang pemilik warung Padang bernama Takana Juo.
Sejak itu hidup Hans berubah. Di RS Takana Juo ia bertemu Parmanto sebagai juru masak dan Natsir sebagai pelayan. Terjadilah perbenturan budaya yang kontras, antara budaya Timur Papua dengan budaya Barat Sumatera.
Karena urusannya restoran Padang, maka tentu saja makanan. bahan makanan dan masak-memasak menjadi intinya. Semua yang pernah mendalami bisnis kuliner, khususnya restoran, cafe atau warung kecil pun biasanya paham, betapa beratnya bisnis ini sebenarnya. Untuk sepiring nasi Padang yang diorder jam 12 siang di meja Anda, kerja memasak dimulai dari jam 4 pagi buta, belum termasuk belanja, urusan stok, persiapan, dan kebersihan, apalagi memasaknya dengan cara tradisional. Belum lagi management waktu, karyawan, forecast. Bayangkan betapa sedihnya, jika hasil kerja ini harus dibuang karena tidak ada pembeli.
Kenyataan pahit bisnis restoran kembali mencuat ketika sebuah restoran Padang bermodal besar dan mentereng tiba-tiba dibangun tak jauh dari Takana Juo. Bengong-lah sang Mak, yang sehari-hari juga sudah kembang-kempis.
Maka Mak pun mengajak Natsir dan Hans untuk mencoba masakan di resto besar tersebut. Saat Mak mencoba sambal lado, dan kemudian bergegas ke dapur resto tersebut, mendapati Parmanto sedang memasak di dapur, saya pun bertanya-tanya… ternyata Mak mengenali masakan tersebut, yup resep rahasia Mak lah yang dipakai Parmanto. Mak benar-benar ahli memasak, two thumbs up buat Mak.
Mak sedih karena Parmanto pindah dan bahkan memakai resep Mak untuk memasak, maka Hans pun sekarang bertugas di dapur. Bila sebelumnya Hans hanya membantu Mak berbelanja, kini dia dipercaya membantu memasak. Kepiawaian Hans memasak diuji saat Mak sakit dan dia harus menyiapkan pesanan nasi Padang.
Rupanya, tangan Hans dingin juga. Hidangan spesial Mak, yakni gulai kepala ikan, menjadi andalan baru. Padahal, hidangan ini spesial karena mengingatkan Mak akan putranya yang sudah tiada. “Buat Mak, memasak gulai kepala ikan ini ziarah” kata Mak. Sementara buat Hans, gulai kepala ikan mengingatkannya pada Ikan Kuah Kuning khas kampungnya. Akhirnya Gulai Kepala Ikan menjadi andalan untuk menangkis serangan resto raksasa tak jauh dari Takana Juo.
Menonton Tabula Rasa juga menyaksikan kisah manusia. Bagaimana universalnya makanan, yang juga bisa menyatukan manusia. Tak pandang apa rasmu, agamamu… Makanan enak yang dimasak dengan cinta, akan membuahkan hasil yang baik, bahkan bisa membuatmu tergugah. Apalagi masakan Padang yang dibuat Mak masih menggunakan cara-cara tradisional. Kacik untuk memeras kelapa sampai batu lado di dapur Mak mengingatkan kita betapa kayanya kuliner Indonesia dan bila bukan kita sebagai bangsa Indonesia yang menghargainya, siapa lagi yang akan menghargainya? Jadi yukkk ditonton ya…
Jangan bilang penikmat, penyuka, pelaku bisnis kuliner bila belum menonton Tabula Rasa J
Beberapa quote Mak yang buat saya dan teman-teman pelaku bisnis kuliner berasa bener banget…
“Masak rendang itu harus sabar”
“Bisa pakai kompor gas, tapi hasilnya gak akan seenak kalau memakai kayu bakar”
“Bawang impor ini lebih murah, tapi rasanya hambar. Bawang local lebih mahal dan rasanya lebih tajam”
“Kamu bingung kenapa bawang local lebih mahal ketimbang impor? Sama, Mak juga bingung”
Juga prinsip Mak yang meyakini “kalah membeli, menang memakai” ada harga yang tinggi untuk mendapat sesuatu yang bagus. Untuk pelaku kuliner pasti faham betul hal ini. Untuk membuat suatu makanan yang enak pastilah diperlukan usaha yang besar dan karenanya patut dihargai dengan nilai yang besar pula. Setuju???
Oh iya, sehabis nobar, kami mabar alias makan bareng di belakang kompleks pertokoan Blok M yang bila malam hari berubah menjadi area kuliner lesehan seperti di Marlioboro. Banyak banget makanannya sampai bingung mau makan apa hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H