Mohon tunggu...
Femi Yuniar Widiastuti
Femi Yuniar Widiastuti Mohon Tunggu... Apoteker - Be Do Have

Seorang peracik obat yang suka berimajinasi ditengah tumpukan laporan praktikum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

390 B

12 Maret 2019   21:58 Diperbarui: 1 September 2019   12:50 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Brakkkk gubrakk pyarrr......

Suara itu selalu menjadi hiasan tiap pagi ketika bangun tidur. Dengan 15 perempuan dari daerah berbeda, saya memantapkan hati untuk menghuni kos di penghujung jalan jambe itu. Awal nya rada ragu, ketika pertama memasuki gerbang kos ingin rasanya kembali lagi keluar. Bagaimana tidak, kos dengan tulisan jelas dibalik pagarnya ( kos putri) tetapi benar - benar tidak kudapati ke putri-putri an disana. Kaos kaki tercecer di sekitar rak sepatu, sepatu jauh terlempar dari rak tanpa pasangannya, belum lagi ketika aku masuk dan mendapati wastafel penuh dengan tumpukan piring, di bawahnya terdapat tempat sampah yang berbau begitu dahsyat. Kalo harus saya jabarkan semua satu per satu, akan lebih membuat reputasi para gadis 390 B itu menurun.

" Woiii kau mandi atau tarawih lama amat" ( diselingi suara kaki menendang pintu kamar mandi yang hampir copot karena memang sudah rapuh )

" 5 menit lagi mbak, berak gak keluar-keluar " teriak indah yang hobi sekali berlama - lama di kamar mandi

Kami menempuh pendidikan di universitas yang berbeda-beda dengan jurusan yang berbeda-beda pula. Tapi jangan ragukan kesolid-an kami ini. Tak satupun kos disekitar jalan ini yang memiliki gadis seperti di 390 B. Yang suka membuat gaduh dengan berbagai permasalahan nya. Bahkan Bu lurah yang dinas di samping kos sering membuat keluhan terhadap Buk Nem,tukang bersih-bersih kos kami. Masalah nya cukup memalukan, menjemur daleman ( bra dan cd ) di lantai atas yang letak nya agak menyamping kelurahan. Kata Bu lurah kepada Buk Nem " itu menurunkan nilai estetika kelurahan saya ".

Pernah sewaktu itu, Mbak Jannah, mbak kos saya menjemur daleman dengan cara di gantung-gantungkan kawat pembatas. Dari bawah Bu lurah sedang kerja bakti bersama jajarannya lalu berteriak lantang " Hehh mbak mbak kamu ini gak sopan sama sekali, kalo mau jemur daleman jangan disitu, gak punya etika apa ya sebelahnya kelurahan ". Karena merasa malu dilihat banyak orang, mbak Jannah menjawab " salahe sampean buk, mbangun kelurahan samping kosku"  kemudian berlari.

Tak hanya itu, di malam bulan januari awal salah satu mbak kos saya berulang tahun, namanya mbak Devi. Di balik pagar amunisi telah disiapkan. Beberapa ember berisi air sabun, air berisi energen kadaluarsa satu renteng, dan air got samping kos. Beberapa lainnya bersembunyi di toko depan kos membawa tepung, telur, bubuk kopi dan minyak goreng. Dengan suara panik, saya yang ditunjuk sebagai juru drama terlihat mempraktekkan arahan sang tetua.

" Mbak dev, mbak Iip arep digowo nek rumah sakit " kataku melalui telpon

" astagfirullah,sing nggenah dek " jawabnya dengan suara panik juga

Mbak Iip adalah teman sekamarnya. Rasa - rasanya itu adalah kebohongan terdusta dan terkonyol yang pernah saya lakukan. Tapi terlepas dari itu yang penting rencana nya berhasil. Suara teriak - teriak dan lari-larian di pukul 11 malam membuat salah seorang ibu-ibu marah. Padahal rumahnya cukup jauh dari 390B ,entahlah bagaimana dia bisa semarah itu. Dari gapura RT nya, ibu itu membawa sebilah carang,mengumpat yang kotor - kotor yang sebetul nya kata - kata itu cukup keterlaluan untuk di ucapkan. Seperti anak an*ing , Ba*i kalian, Gak ada o*ak nya, J*ran, keturunan l**te. Itu cukup membuat hati saya dan teman-teman cemas, takut, kemudian merasa bersalah. Tanpa minta maaf dan basa basi, kami masuk ke dalam kos dan mengunci rapat-rapat pintu nya. Paginya tetap berjalan seperti biasa, ya karena memang seperti itulah kami.

Kami akan saling menutup kamar dengan sangat pelan ketika Cik Lata sang pemilik kos datang menagih uang kosan. Suara nya begitu khas seperti bernyanyi ketika menyebut daftar anak-anak yang belum melunasi kos nya. Lembaran kuning berisi tanda tangan kami, buku batik kecil catatan soal perkakas kelistrikan, dompet kecil dan bolpoin selalu menjadi bawaan-nya ketika ke kos. Dia baik, jika memang kami belum ada uang,kami harus mengatakan detail nya kapan akan di bayarkan. Tetapi jika tidak, setiap hari pasti dia akan mengetuk pintu kamar dan mencari keberadaan kami dimanapun itu. Pernah suatu ketika masih setengah 6 pagi, tapi diluar kamar sudah ribut. Rupanya Cik Lata sedang mencari keberadaan mbak Niya yang terus terusan berjanji membayar tunggakan kos. Karena terganggu dengan hal itu, Atika teman sekamar saya bergumam " Opo wes ora duit gawe blonjo opo piye toh, setengah 6 isuk mruput wes tekan kene loh "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun