Mohon tunggu...
Femas Yuvi Gumilar
Femas Yuvi Gumilar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang yang selalu bersikap optimisme dalam menghadapi sebuah tantangan atau masalah. Hobi saya bermain gitar, bukan hanya sekedar menjadi pengisi luang, tetapi juga cara untuk menghibur diri. Bagi saya, setiap lagu memiliki makna tersendiri. Ketika menghadapi tantangan, saya percaya bahwa, dikehidupan tak selamanya akan bahagia, namun ada kalanya bersedih namun semuanya akan kembali menuju rasa penuh dengan kebahagiaan kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Ekonomi dan Tantangan Kebijakan Fiskal Kenaikan PPN Menjadi 12%

17 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 17 Desember 2024   18:58 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada awal tahun 2025, pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kebijakan ini memicu berbagai tanggapan dan spekulasi dari berbagai pihak, mengingat dampaknya yang berpotensi signifikan terhadap ekonomi nasional.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah terus berkomitmen untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui implementasi berbagai kebijakan ekonomi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan, salah satunya melalui sektor perpajakan. Menteri Keuangan menegaskan bahwa pajak memainkan peran krusial dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam proses pemungutannya, pemerintah selalu berlandaskan pada prinsip keadilan dan semangat gotong-royong. Prinsip inilah yang mendasari penerapan kebijakan PPN sebesar 12 persen, yang dirancang secara selektif untuk melindungi masyarakat serta mendukung pertumbuhan perekonomian. Menteri Keuangan menyatakan bahwa keadilan dalam sistem perpajakan tercermin melalui kontribusi masyarakat yang mampu untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Sementara itu, kelompok masyarakat yang kurang mampu akan mendapatkan perlindungan dan bantuan dari pemerintah. Prinsip ini menegaskan peran negara dalam memastikan keseimbangan dan kehadirannya dalam mendukung kesejahteraan rakyat. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bertajuk "Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan" yang berlangsung di Jakarta, Senin (16/12).

Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr. Kumara Adji Kusuma SFilI CIFP, memberikan pandangannya terkait isu kenaikan PPN. Ia menyatakan, "Secara positif, peningkatan PPN memang dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah, yang bisa dimanfaatkan untuk mendanai berbagai program fiskal seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sektor kesehatan. Namun, penting untuk memastikan bahwa penggunaan dana tambahan ini dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi masyarakat." (Kumara, 2024)

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, menyatakan bahwa kenaikan PPN ini berpotensi mempengaruhi harga produk makanan dan minuman olahan yang akhirnya dibebankan kepada konsumen. Menurutnya, dampak dari kenaikan sebesar 1% ini akan cukup signifikan, mengingat produk barang konsumsi cepat saji (FMCG) sangat sensitif terhadap harga. Lukman menjelaskan bahwa kenaikan PPN 1% akan memicu peningkatan harga pada setiap tahapan rantai pasokan produk makanan dan minuman olahan. Ia juga mengungkapkan bahwa ketidakteraturan administrasi pada banyak ritel dan industri kecil dan menengah (IKM) akan memperburuk situasi ini, dengan kenaikan harga langsung dirasakan oleh konsumen. "Akibatnya, harga yang harus dibayar konsumen bisa mengalami kenaikan 2-3%," (Lukman,2024)

Kelompok buruh mengancam akan menggelar aksi mogok kerja nasional jika pemerintah tetap memutuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada Januari 2025. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk meningkatkan rasio pajak seharusnya tidak membebani masyarakat kecil, melainkan dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak terhadap korporasi besar serta individu kaya. Ia menilai, kenaikan tarif PPN sebesar 12% justru akan berdampak buruk pada daya beli masyarakat, mengancam kelangsungan usaha, serta meningkatkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.

Rocky Gerung memberikan pandangannya terkait rencana kenaikan tarif PPN, yang menurutnya mencerminkan frustasi pemerintah. "Ini memang semacam frustasi dari pemerintah karena target pajak yang tidak terpenuhi," ujarnya dalam sebuah wawancara yang diunggah di YouTube pada Senin (25/11/24). Ia mengkritik pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyarankan agar siapa pun yang tidak membayar pajak tidak diperbolehkan tinggal di Indonesia. Menurut Rocky, reaksi Sri Mulyani tersebut terkesan konyol. "Orang yang memang tidak membayar pajak, mereka pikir, 'Ya, baguslah kita keluar dari Indonesia.' Kalau seseorang memiliki kemampuan untuk membayar pajak, seharusnya dia dikejar, bukan malah disuruh kabur," kata Rocky. Ia bahkan menambahkan dengan sindiran tajam, "Pajak itu adalah cara biadab untuk mempertahankan peradaban," yang menggambarkan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pajak yang diberlakukan.

Peningkatan tarif PPN menjadi 12 persen bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan nasional. Pemerintah menilai bahwa penerimaan pajak yang optimal diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal dan mendorong keberlanjutan program prioritas seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, serta kesehatan. Selain itu, tarif ini masih sejalan dengan rata-rata tarif PPN di negara-negara kawasan ASEAN, yang berkisar antara 10 hingga 12 persen.

Kementerian Keuangan berargumen bahwa peningkatan tarif ini dilakukan secara bertahap dan mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional. Kenaikan ini juga diharapkan dapat memperluas basis pajak dan mengurangi ketergantungan terhadap utang sebagai sumber pembiayaan defisit anggaran.

Salah satu kekhawatiran utama dari kebijakan kenaikan PPN adalah dampaknya terhadap daya beli masyarakat. PPN merupakan pajak konsumsi yang dibebankan kepada konsumen akhir, sehingga peningkatan tarif dapat menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah, kenaikan ini berpotensi menambah beban ekonomi dan mengurangi konsumsi.

Dampak ini dapat semakin signifikan jika terjadi pada barang kebutuhan pokok dan layanan penting, meskipun pemerintah telah mengecualikan beberapa jenis barang dari pengenaan PPN. Namun demikian, efek domino dari kenaikan harga barang dapat memengaruhi inflasi dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebagai salah satu pilar utama perekonomian nasional.

Secara makroekonomi, kenaikan tarif PPN dapat memberikan dampak positif dalam meningkatkan penerimaan negara, yang selanjutnya digunakan untuk mendukung belanja produktif. Peningkatan penerimaan pajak dapat membantu pemerintah mengurangi defisit fiskal dan memperkuat posisi keuangan negara dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Namun, jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan langkah-langkah mitigasi, seperti subsidi atau insentif bagi kelompok rentan, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi. Efek kontraksi terhadap konsumsi rumah tangga dan investasi perlu diantisipasi melalui kebijakan yang lebih inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun