Setyo Wibowo dalam Mengenal Eksistensialisme Sartre (2023) memaparkan ilustrasi Sartre mengenai bad faith. Ilustrasi yang diberikan Sartre adalah seorang pelayan kafe. Dalam hal ini pelayan kafe menggantungkan hidupnya pada institusi tempat ia bekerja, juga kepada bosnya. Implikasinya, ia harus hidup berdasarkan esensi seorang pelayan kafe yang baik. Misalkan setiap ada pelanggan harus mengucapkan selamat datang, apa yang bisa saya bantu, lalu tata cara membawa hidangan, dan lain-lain. Tentu tidak dapat disangkal di dalam benak terdalam pelayan kafe itu ada respon menidak terhadap semua ketentuan itu. Akan tetapi, karena dia takut untuk menidak yang dalam hal ini berarti ia takut terhadap kebebasan yang dimilikinya, ia lebih memilih untuk eksis berdasarkan esensi yang sudah tersistematisasi itu.
Tinjauan Ulang Terhadap Sartre
Menarik untuk meninjau ulang gagasan Sartre mengenai kebebasan manusia yang menurutnya tidak terbatas. Ada semacam paradoks di sini. Jika kita ingin benar-benar bebas seperti itu, jalan satu-satunya adalah kesendirian. Akan tetapi hal itu tidak mungkin. Kehadiran yang lain selalu merupakan sebuah faktisitas (keadaan, sebuah fakta yang tidak dapat dihindari). Artinya, kita tidak dapat lari darinya. Kita hanya dapat mengelola diri kita sendiri dalam hal menyikapi kehadiran yang lain itu.
Titik tolak anggapan Sartre bahwa manusia memiliki kebebasan penuh, dalam hal ini menimbulkan pertanyaan. Kebebasan penuh itu, bukankah artinya manusia juga memiliki kebebasan untuk memilih menjadi otentik atau berkompromi dengan yang ada di masyarakat? Toh juga ketika manusia secara sadar memilih di antara keduanya, ia juga sadar dengan risiko yang otomatis akan menyertai dan menjadi tanggung jawabnya.
Mengenai relasi dengan orang lain yang merupakan peperangan saling mengobjekkan tentu malah akan menyebabkan kekacauan bila ditelan mentah-mentah. Masyarakat akan saling berlomba-lomba untuk mengobjektifikasi dan menguasai satu sama lain demi mempertahankan keotentikan dirinya sebagai subjek. Alih-alih permasalahan sosial beres, justru berpotensi semakin runyam.
Sebagaimana menurut Sartre sendiri bahwa konflik objektifikasi memiliki kemungkinan untuk di damaikan atau dikompromikan dengan kehadiran pihak ketiga. Di sinilah justru pentingnya manusia untuk menjadi komunikatif satu sama lain. Tidak selalu menjadi neraka, kehadiran satu sama lain justru memungkinkan terciptanya relasi yang solider untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini menarik karena bisa dikaitkan dengan teori Tindakan Komunikatif filsuf Jurgen Habermas.
Jadi, gagasan Sartre tidak sepenuhnya harus ditolak atau sepenuhnya diterapkan secara mentah-mentah. Setiap gagasan para filsuf selalu harus ditempatkan secara proporsional atau dalam kata lain secara pas dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya dan perkembangan zaman sekarang. Hal ini mengingat setiap gagasan filsuf juga tidak terlepas dari konteks sosial budaya pada zamannya.
Referensi
Bertens, K. (1985). Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K., Ohoitimur, J., & Dua, M. (2017). Pengantar Filsafat. Kanisius.
Wibowo, S. (2023). Mengenal Eksistensialisme Sartre. https://youtu.be/mN0bsLtISW4?si=36gLM0j7GTS-TPr1