Mohon tunggu...
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Neraka adalah Orang Lain: Selayang Pandang Filsafat Eksistensialisme Sartre

3 Maret 2024   14:23 Diperbarui: 3 Maret 2024   14:53 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Pandangan Sartre yang menganggap bahwa eksistensi mendahului esensi berimplikasi bahwa kebebasan sangatlah penting. Kemampuan manusia untuk selalu menidak secara langsung juga menyatakan kebebasannya. Karena manusia mampu untuk selalu menidak, maka dalam pandangan Sartre kebebasan manusia bersifat sebebas-bebasnya, dalam kata lain tidak terbatas.

Manusia dikutuk untuk bebas, demikianlah ungkapan Sartre. Kebebasan yang tidak terbatas justru menimbulkan kecemasan pada diri manusia. Hal ini dikarenakan ketika manusia menyadari bahwa dirinya memiliki kebebasan penuh, artinya eksistensinya sepenuhnya ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sartre memberi contoh berikut. Ketika saya berada di pinggir tebing yang curam dan saya menoleh ke bawah, di situ timbul kecemasan. Saya dapat memilih untuk terjun ke bawah atau mundur secara pelan-pelan. Tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan hidup saya dan tidak ada yang menghalangi diri saya untuk terjun ke dalam jurang.

Dari contoh yang diberikan oleh Sartre itu, maka dapat dibaca bahwa kebebasan penuh yang dimiliki manusia untuk bereksistensi selalu otomatis berkaitan dengan risiko yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Manusia akan berada dalam tegangan keputusan dan risiko yang menyertainya. Misalkan saya memilih untuk tidak belajar malam ini sedangkan besok ada ujian, maka risikonya adalah nilai ujian saya jelek dan itu saya sendiri yang menanggungnya, bukan orang lain.

Tegangan antara kebebasan dan tanggung jawab membawa manusia kepada situasi yang disebut nausea (situasi memuakkan, mual, ingin muntah). Dengan kebebasannya, manusia akan selalu berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan. Manusia akan selalu menghadapi ketidakpastian.

Relasi dengan Orang Lain dan Mauvaise Foi atau Bad Faith

Sartre menganggap bahwa relasi dengan orang lain memiliki dasar terdalam berupa konflik. Ketika manusia berelasi diam-diam selalu terjadi pertarungan untuk menjadikan objek satu sama lain. Hal ini mengakibatkan manusia sebagai individu yang awalnya memiliki kebebasan penuh kemudian secara tiba-tiba kebebasannya terbatasi oleh kehadiran orang lain. Hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya ungkapan neraka adalah orang lain.

Ilustrasinya adalah lubang kunci. Misalnya saat itu saya mengintip seseorang yang berada di dalam ruangan melalui lubang kunci. Orang yang saya intip itu menjadi objek sedangkan saya menjadi subjek. Kemudian secara tiba-tiba ada orang lain yang melihat bahwa saya sedang mengintip. Maka saya mendadak menjadi objek dari orang lain itu. Orang lain sebagai subjek yang melihat saya mengintip akan menganggap saya tidak sopan. Di sisi lain ketika saya menyadari bahwa hadir orang lain, saya yang sedang mengintip tiba-tiba harus menyesuaikan diri. Tentu saya merasa bahwa saya takut akan dianggap tidak sopan. Tepat pada titik ini kebebasan saya yang awalnya penuh menjadi terbatasi.

Bertens dalam buku Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis (1985) menyatakan bahwa relasi dengan orang lain selalu mengenai bahwa saya merupakan objek-bagi-dia-sebagai-subjek atau orang lain merupakan objek-bagi-saya-sebagai-subjek. Konflik saling menjadikan objek ini dapat terjadi dengan terus terang maupun secara kompromi. Contoh tentang kemungkinan kedua adalah kebersamaan dalam satu kelompok. Dalam bentuk relasi ini saya bersekutu dengan orang lain untuk mengalahkan pihak ketiga. Bersama-sama kita menjadi objek di hadapan pihak ketiga atau bersama-sama kita membuatnya menjadi objek di hadapan kita. Kita menjadi solider. Pihak ketiga menjadi musuh bersama yang mengalihkan kita untuk melupakan persaingan dan bersama-sama mengobjektifikasi pihak ketiga itu.

Mengenai relasi dengan yang lain (termasuk juga orang lain) terdapat sebuah konsep dalam filsafat eksistensialisme Sartre yang disebut mauvaise foi. Mauvaise foi atau bad faith merupakan sebuah sikap yang tidak otentik. Bad faith terjadi ketika seseorang menggantungkan eksistensinya kepada sesuatu yang lain (termasuk orang lain). Orang ini hidup berdasarkan esensi-esensi yang sudah tersistematisasi oleh sesuatu yang lain itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun