B Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : "Aku pikir ketulusan itu adalah saat ketika kita mau memberikan apa pun untuk yang kita cintai. Singkatnya, asal dia bahagia, aku juga akan bahagia."
A Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : "Baik. Sekarang, misalkan orang yang kamu cintai lebih memilih orang lain, bagaimana perasaanmu?"
B Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : "Wah! Pasti sakit! Kecewa bukan main! Aku sudah melakukan segalanya agar dia bahagia."
A Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : "Loh, katanya tadi asal dia bahagia, kamu juga akan bahagia. Ini dia kan juga bahagia (meskipun dengan orang lain). Kenapa kamu tidak bahagia? Kenapa kamu malah kecewa? Bukankah artinya kamu tidak tulus? Dan artinya selama ini kamu tidak benar-benar mencintainya?"
B Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : "Bentar, aku kira ada benarnya apa yang kamu katakan."
Si A mula-mula mengajukan satu hal untuk disepakati. Dalam contoh ini adalah cinta itu melibatkan ketulusan. B menyepakati hal ini. Artinya, cinta melibatkan ketulusan menjadi premis yang nantinya digunakan si A untuk menolak tesis si B. Si B memberikan tesis bahwa ketulusan itu melakukan apa pun asal yang dicintai bahagia yang intinya ketika ia bahagia, maka aku juga bahagia. Dengan premis awal yang sudah disepakati, si A menyangkal tesis si B hingga menyebabkan si B meragukan sendiri apakah dengan definisi ketulusan yang ia berikan sudah cukup mendefinisikan apa itu cinta.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa dalam metode dialektika Socrates ini tidak semua percakapan harus berujung pada penemuan kebenaran. Hal ini dikarenakan dalam pencarian kebenaran jangan sampai ada pemaksaan. Biarkan orang berproses mencapai kebenarannya sendiri. Kita hanya menuntun dan memberinya sebuah pemantik untuk menyalakan api kebenaran dalam diri mitra bicara.
Plato: Dialektika sebagai Pengetahuan TertinggiÂ
Dialektika pada Plato (428-348 SM) berbeda dengan gurunya, Socrates. Di tangan Plato, dialektika mendapat promosi sebagai pengetahuan tertinggi. Objek dialektika adalah forma inteligibel yang menjadi tataran pengetahuan tertinggi menurut Plato. Seorang yang berdialektika diharapkan dapat menangkap forma inteligibel tertinggi yakni idea kebaikan.
Dalam dialektika Plato, proses pengetahuan naik secara dialektis melalui empat tahapan. Tahap pertama adalah pengetahuan yang hanya sebatas dugaan (bayang-bayang benda indrawi). Tahap kedua adalah ketika melihat objek riil benda indrawi. Pada tahap kedua ini pengetahuan ini baru sebatas kepercayaan. Tahap pertama dan kedua ini masuk dalam wilayah sensibel, yakni yang bisa diakses oleh panca indra. Selanjutnya, tahap tiga adalah tahap rasio diskursif analitis yang melibatkan data-data yang dapat dianalisis (realitas matematis). Tahap keempat adalah rasio intuitif yakni forma inteligibel itu sendiri atau idea . Tahap ketiga dan keempat ini masuk dalam wilayah inteligibel yang artinya dapat dipikirkan. Bagi Plato, realitas matematis pada tahap ketiga bukanlah realitas sebenarnya. Ia hanya bayangan pucat dari idea. Dengan demikian, bagi Plato realitas sesungguhnya adalah Idea itu sendiri yang menjadi asal mula pengetahuan yang sejati.
Empat tahapan ini digambarkan oleh Plato melalui alegori gua. Dalam alegori gua, diterangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang selama hidupnya terikat dan menghadap dinding gua. Mereka tidak dapat menoleh ke kanan ataupun ke kiri. Ketika ada api menyala dari belakang mereka, mereka melihat bayangan orang lalu lalang di dinding gua di hadapan mereka. Mereka menganggap inilah realitas sesungguhnya. Hal ini karena selama hidupnya mereka hanya melihat bayang-bayang itu. Suatu ketika salah seorang terlepas ikatannya dan memanjat tebing dan keluar dari gua. Ia menyaksikan cahaya matahari yang sangat terang dan sekelilingnya. Ia pun tahu bahwa selama ini bayang-bayang yang dianggapnya realitas yang sebenarnya tidaklah benar. Ia pun kembali ke gua dan memberi tahu teman-temannya. Akan tetapi, teman-temannya justru ingin membunuhnya karena ia dianggap berbohong.