“Lari nak, jangan pedulikan ibu… Cepat lari! Tentara Jepang akan menangkapmu nanti,” ucap Dewi dengan suara parau. Dedi sangat takut dan ia berlari sekuat tenaga.
Dewi tak kuasa lagi menahan tubuhnya. Ia terkulai lemas di tanah. Tenggorokan nya terasa tercekik. Dewi pun tak kuat untuk mengambil napas. Cairan hangat berwarna merah pekat mengalir dari pelipisnya dan jatuh ke pipinya. Seperti tinta hitam pekat yang mengalir dimatanya, seluruh penglihatan nya menjadi gelap. Badan nya tak lagi merasakan perih dan panas pada belakang tubuhnya. Mata Dewi mulai terpejam dan tak lama, Dewi menghembuskan napas terakhirnya, jantungnya tidak lagi berdetak, tubuhnya menjadi kaku dan dingin seperti es, serta otaknya berhenti bekerja. Yang Dewi rasakan hanyalah ketenangan, kesunyian dan keheningan. Dewi pun merasakan kedamaian yang tak pernah ia alami sebelumnya. belum sempat ia gapai mimpi terakhirnya, belum sempat ia meraih kemerdekaan bangsanya, tak ada lagi harapan baginya untuk meraihnya. Impian itu hilang diterpa angin, melambai-lambai di udara, dan hilang dari pandangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H