Mohon tunggu...
Zamiero
Zamiero Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Saya suka menulis hal-hal yang berkaitan dengan kebahasaan dan linguistik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

-mu, -(n)e+sampean, -(n)e+ayah/bunda: Telaah Struktur, Makna, dan Daya Pragmatik

24 April 2023   16:50 Diperbarui: 24 April 2023   17:01 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dalam percakapan sehari-hari komunitas tutur bahasa Jawa, sering kita jumpai para penutur bahasa Jawa menggunakan akhiran (Panambang) yang berbeda-beda secara struktur, makna, dan daya prgamatik. Dalam tulisan pendek ini saya ingin menganalisis ketiganya yang terfokus pada penanda kepemilikan–mu seperti pada kata sêpédamu, -(n)é+sampean seperti pada kata sêpéda(n)é sampéan, dan –(n)é + ayah/bunda seperti pada kata sêpéda(n)é ayah atau sêpéda(n)é bunda. Ketiga penggunaan tersebut memilki arti sama yaitu sepedamu.

Sebagai seorang penutur bahasa Jawa meskipun bukan terkategori penutur asli bahasa Jawa, secara pribadi saya merasakan adanya ketiga perbedaan tersebut terutama pada daya pragmatiknya. Pada tulisan in saya menggunakan dasar analisis saya lebih kepada pengalaman saya dalam berbahasa Jawa, tidak berbasis kajian teoritis. Hal ini karena mengingat tulisan saya ini tidaklah bersifat akademik tetapi hanya sekedar opini saya saja berdasarkan pengalaman.

Konteks analisis penggunaan ketiga akhiran di atas akan saya batasi pada contoh percapakan sehari-hari antara suami dan istri didalam menyatakan kepemilikan lawan tuturnya. Ambil contoh penutur adalah si suami maka mitra tutur yang memilki sesuatu tersebut adalah si istri.

Saya akan memulai menganalisis akhiran –mu. Penggunaan akhiran –mu ini secara struktur tinggal menggandengkan akhiran –mu pada benda milik si mitra tutur. Kita gunakan contoh kalimat berikut ini: ‘sêpéda+mu’ menjadi “Sêpédamu rusak to Yah?” tutur si istri kepada suaminya. Kalimat tersebut bermakna “Sepeda Ayah rusak ya?”. Menurut pendapat saya penggunaan –mu ini secara daya pragmatik dapat dianalisis sebagai berikut. Si Penutur yaitu si istri menempatkan posisi suami sepadan dengan posisinya dan juga sebaliknya. Tentu ada alasan dibalik digunakannya akhiran –mu ini. Posibilitas pertama karena sepasang suami istri ini sudah sangat dekat sehingga dalam perjalanan kehidupan mereka, tidak ada posisi yang bersifat hirarkis yang membedakan keduanya. Sebagaimana kita tahu dalam budaya Jawa yang bersifat patrilineal yaitu posisi suami sering dianggap lebih tinggi. Posibilitas yang kedua adalah karena adanya pengaruh kultur tempat tinggal suami istri tersebut yang lebih jamak menggunakan kontruksi kalimat ini, sehingga secara tidak disadari mereka juga menggunakannya tanpa berfikir lebih jauh akan sifat hirarkis budaya Jawa yang berlaku. Posisi ini menurut saya secara daya pragmatik posisi yang paling egaliter, yang kadang kala dalam perspektif personal penuturnya dapat menimbulkan kesan negatif jika sepasang suami-istri ini tidak memiliki konsensus dalam arti yang menggunakan hanya salah satu pasangan saja. Makna ini biasanya muncul di dalam benak suami yang mendapati istrinya menggunakan akhiran –mu pada saat si suami tidak menggunakanya dalam percakapan sehari-hari. Mungkin terbesit pertanyaan di dalam benak kita, bagaimana dengan suami yang menggunakan akhiran –mu kepada istrinya? Jawaban yang tepat adalah secara umum dalam masyarakat kita usia suami lebih tua dibandingkan usia istri, sehingga umum jika seorang suami menggunakan konstruksi –mu ini.  Dalam perspektif penggilan Jawa, untuk orang yang sudah dikenal, -mu digunakan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, demikian juga yang berlaku dalam hubungan suami istri.

Kita masuk ke analisis akhiran yang kedua yaitu (n)é+sampéan. Penggunaan konstruksi akhiran ini terdapat dua macam, yaitu dapat berupa –né+sampéan atau –é+sampéan. Akhiran é dapat diganti –né, misalnya: roti+né = rotiné, tetapi juga dapat tetap berbentuk né seperti pada kata: buku+né = bukuné. Kita ambil contoh sama seperti pada pembahasan sebelumnya, yaitu kata: ‘Sêpéda+(n)e’ = Sêpédae’ dalam kalimat “Sêpédaé sampéan rusak to Yah?” yang bermakna sama yaitu “Sepeda Ayah rusak ya?”. Dari kacamata daya pragmatik penggunaan kata sampean oleh sepasang suami istri dalam menyatakan kepemilikan oleh lawan tuturnya memiliki makna menghormati atau mengharagai satu sama lain. Dalam hal ini pasangan suami istri ini tidak melihat hirarki yang terbentuk karena adanya perbedaan umur dianatar keduanya, misalnya suami lebih tua dari istri. Mereka saling menempatkan pasangannya sebagai orang yang perlu dihormati karena menjadi suami ataupun menjadi istri adalah sebuah anugerah yang telah dipilihkan Tuhan kepada kita. Dalam konteks kultur Jawa penggunaan kata sampean bahkan bersifat menurunkan posisi penutur akan tetapi dengan tujuan mulia yaitu menghormati mitra tutur. Konon kata “sampéan” berasal dari kata “ampéan” yang berarti kaki dalam bahasa Jawa halus. Pada saat kita menggunkan kata ini secara implisit posisi kita agak dibawah dari mitra tutur. Kata ini biasanya digunakan pada orang yang lebih tua namun tidak terlalu jauh beda usianya seperti kakak kita, atau saudara sepupu yang lebih tua, rakan sejawat (pekerjaan) dll.

Analisis yang terakhir yaitu akhiran –(n)é + ayah atau –(n)é + bunda. Pada akhiran terakhir ini tentu panggilan istri dan suami tidak harus ayah dan bunda, tetapi mengikuti kultur keluarga yang berlaku, misalnya papa-mama, bapak-ibu, ummi-abbi, dsb. Mari kita ambil contoh kata yang sama, yaitu: “sêpéda sepeda+(n)é + ayah= Sêpédaé ayah’ dan kita gunakan dalam kalimat: “Sêpédaé Ayah rusak yo?” yang bermakna “Sepeda Ayah rusak ya?”. Aturan akhiran –(n)é biasanya digunakan berpasangan dengan orang ketiga (dheweke), namun dalam konteks kalimat ini, akhiran ini dipasangakan dengan orang kedua yaitu ayah atau bunda. Penggunaan akhiran ini menurut pendapat saya lebih kepada akomodasi penghormatan yang tidak tertampung diantara kedua struktur sebelumnya, yaitu –mu dan –(n)é + sampean. Penggunaan akhiran ini digunakan kepada pasangan dengan maksud memberikan penghormatan yang lebih tinggi kepada pasangan masing-masing dengan menekankan pada nilai posesifitas hubungan keduanya sebagai suami istri. Nilai ini berdaya pragmatik ganda yaitu bertujuan memberikan penghormatan yang lebih kepada pasangan dan sekaligus menumbuhkan intimacy (keakraban/kemesraan/kerukunan) dalam sebuah hubungan sakral suami istri yang terbentuk dari nilai nilai luhur religi maupun kultur.

Bagaimana Anda menempatkan Pasangan Anda? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun