Pendahuluan
Tulisan dalam artikel Kompasiana ini, berawal dari keprihatinan penulis terhadap maraknya, kejadian-kejadian yang sangat mencoreng dunia pendidikan di tanah air. Mulai dari kasus perkelahian antar pelajar, kasus perkelahian guru dengan muridnya, kasus perundungan sesama teman di sekolah, bahkan kasus pelecehan seksual dari oknum guru kepada murid perempuannya, sungguh sangat miris kedengarannya. Namun apa mau dikata, "nasi sudah menjadi bubur" semua sudah terlanjur terjadi, tidak dapat diulang kembali.
Melalui kejadian-kejadian tersebut, timbul sejumlah pertanyaan diantaranya : siapa yang bertanggung jawab dengan masalah itu, di mana etika moral mereka, sampai dapat melakukan hal seperti itu, apakah sudah separah itukah dunia pendidikan di Indonesia, kalau mau diperbaiki, starting point-nya darimana.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab secara langsung dan singkat, akan tetapi pertanyaan-pertanyaan itu perlu kita renungkan bersama, sebagai generasi penerus bangsa yang kata orang disebut generasi milenial, generasi internet, generasi digital, generasi jaman now, atau apalah namanya itu. Yang terutama adalah apakah, kejadian-kejadian seperti yang disebutkan tadi akan terus-menerus terjadi, ataukah harus dihentikan, kalau dihentikan, bagaimana caranya?
Berikut ini, penulis akan berbagi kepada pembaca sekalian, hal-hal yang menurut penulis akan berguna untuk menolong para pendidik supaya ada solusi untuk mengatasi masalah tersebut dan kepada para remaja, agar ke depannya tidak mengalami kejadian-kejadian tersebut, baik sebagai korban maupun pelaku. Selanjutnya akan dibahas tentang landasan Alkitabiah untuk pendidikan karakter.
Landasan Alkitabiah
Dalam gagasan pendidikan karakter ini, penulis menggunakan landasan Alkitabiah dari Matius 22 : 37-39, yang menjelaskan bahwa pendidikan karakter dimulai dari bagaimana caranya mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama kita. Pada nas Alkitab ini terkandung makna yakni, "mengasihi" merupakan suatu perintah yang berasal dari Allah yang wajib dipatuhi semua umat manusia, serta tugas kita sebagai pengikutNya (khususnya para pendidik) adalah terus menerus mengajarkan dan mengingatkan kepada setiap orang (khususnya dalam hal ini kepada remaja) untuk terus mempraktikan bagaimana caranya "mengasihi" itu. Atas dasar tersebut, kita sebagai pendidik mempunyai tugas yang utama yakni, mengajarkan caranya mengasihi kepada para remaja Kristen.
Landasan Alkitab yang lainnya adalah Amsal 22 : 6. Pada nas ini, dijelaskan bahwa, sebagai orang yang lebih tua, mempunyai peranan sangat penting dalam pembentukan karakter orang muda (khususnya remaja). Terdapat beberapa kata kunci yang diperhatikan untuk melaksanakan pendidikan karakter Alkitabiah.
- Mendidik, melatih, mengajar. train up, training, teach, dedicate (Inggris) chanakh (Ibrani). Melalui pengajaran yang benar dan sesuai firman Allah, orang tua wajib mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anaknya. Hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan asal jadi, tetapi proses didikan ini harus dilakukan se-dini dan se-sering mungkin agar membentuk sifat dan karakter anak (orang muda). Selain itu didikan tersebut juga memperhatikan kecocokan terhadap perilaku dan rentang usia anak.
- Jalan, sikap, cara, gaya, way, road, distance, journey, manner (Inggris), derek (Ibrani). Apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya, haruslah menggunakan cara-cara yang sesuai dengan yang difirmankan oleh Allah. Selain itu cara atau gaya mendidik juga perlu diperhatikan, yaitu dengan lemah lembut, dengan penuh kasih dan sukacita, tidak terpaksa dalam mendidiknya. Hal lain yang perlu juga dibedakan dalam mendidik yaitu berdasar pada usianya, 1-12 tahun (anak), 13-20 tahun (remaja), 21-25 tahun (pemuda) dan di atas 25 tahun (dewasa awal).
- Tidak menyimpang, tidak mengesampingkan, tidak berbelok, tetap, not to turn aside, not depart, remain, not go back (Inggris), Losur (Ibrani). Â Pengajaran-pengajaran yang diberikan dari orang tua kepada anak, menurut terjemahan kata (lo-sur) ingin menjelaskan, supaya jangan sampai lupa, menyimpang bahkan salah di dalam proses penerapannya. Hal-hal yang sudah diajarkan, hendaknya terus berdiam dalam hati dan pikiran anak muda, sampai kapanpun dan usia berapapun. Jika, ajaran itu tidak lagi menetap atau telah melenceng jauh dari ajaran sebelumnya yang disebabkan oleh pengaruh dunia ini, sudah seharusnya sebagai orang tua secara sportif mengakui kesalahan dalam mendidik anaknya.
Dari uraian landasan Alkitabiah tersebut, dapat penulis simpulkan beberapa nilai teologis yaitu :
- Orang tua harus mengabdikan diri mereka untuk memberi didikan disiplin rohani kepada anak-anak. Didikan itu bertujuan untuk mengabdikan anak-anak kepada Allah dan kehendakNya. Hal ini tercapai dengan memisahkan mereka dari pengaruh-pengaruh jahat dunia dan dengan mengajar mereka untuk berperilaku saleh (sesuai dengan firman Allah)
- Prinsipnya adalah bahwa jika seorang anak dididik dengan benar, tidak akan menyimpang dari jalan saleh yang telah diajarkan orang tuanya. Namun hal tersebut bukanlah jaminan. Ketika hidup di tengah masyarakat jahat dimana banyak umat Allah sendiri melenceng dari jalan Tuhan, maka bisa saja mereka yang telah dididik itu terpengaruh untuk berbuat dosa dan menyerah kepada pencobaan
- Oleh karena itu, teks ini menjelaskan bahwa didikan terhadap orang muda, harus terus menerus (berkesinambungan) dilakukan, disuarakan, diingatkan, sampai kepada masa tuanya. Dengan begitu, harapannya adalah agar terus berjalan di dalam Tuhan, serta dapat bertahan dalam situasi dan kondisi yang buruk sekalipun
Bagian berikutnya, penulis mendeskripsikan bagaimana caranya mengimplementasikan pendidikan karakter tersebut secara sederhana.
Pendidikan Karakter Bagi Remaja Kristen
Dalam upaya melaksanakan pendidikan karakter terhadap remaja, hal pertama yang kita lakukan adalah mengoreksi diri sendiri dahulu, apakah sebagai pendidik sudah sesuai dengan yang telah difirmankan Tuhan kepada kita. Jika belum, maka segeralah mengubah pola pikiran dan sikap kita, karena lebih mudah mengubah pola pikir diri sendiri serta lebih sedikit energi emosional yang kita keluarkan untuk mengubah sikap dan perilaku kita, daripada mengubah sikap dan perilaku orang lain. Setelah itu barulah kita berupaya untuk menolong dan memperbaiki karakter orang lain (remaja).
Hal kedua, sebagai orang tua juga harus memperhatikan kata-kata yang diucapkan untuk mendidik  karakter remaja, pakailah kata-kata yang baik, tidak membentak dan tidak mencaci maki (mengata-ngatai), ingat yang dididik adalah remaja (13-20 tahun) yang masih perlu bimbingan dan pengarahan, yang masih labil dan sensitif emosinya.
Selain itu, jangan sekali-kali mengungkit kesalahan anak (remaja) yang dilakukan hari ini, di kemudian hari. Karena, ketika kesalahan tersebut diingat kembali, artinya bahwa pengampunan yang sejati itu tidak ada. Anak (remaja) akan memahami kalau dia belum sepenuhnya diterima, dengan begitu dia juga akan belajar cara menyimpan kesalahan orang lain dan mendendam.
Hal lain (yang ketiga) adalah, guru di sekolah juga harus mampu menerima apa adanya para peserta didik yang memiliki perbedaan pola pikir satu sama lain, dengan dirinya. Ketika kita sebagai pendidik, haruslah benar-benar dan sungguh-sungguh dalam pertolongan Tuhan, untuk memahami cara berpikir peserta didik, sehingga kita dapat membimbing mereka secara perlahan dan dengan kesabaran yang tinggi ke arah yang diinginkan.
Kesimpulan dan Penutup
Dalam hal didik-mendidik, sudah merupakan tanggung jawab orang tua kepada anaknya, agar didikannya itu dapat bertahan lama sampai pada akhir hayatnya, dengan catatan pendidikan tersebut harus relevan (suitable) dengan kebutuhan anak, maksudnya hal-hal yang diajarkan sebaiknya memperhatikan rentang usia mereka, agar apa yang nantinya disampaikan dapat diterima dengan baik pula oleh anak.
Selain itu, yang menjadi perhatian selanjutnya ialah, adanya kendala yang tidak dapat dihindari yakni, kekuatan jahat dunia yang mempengaruhi karakter dan moral anak muda. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa setiap upaya kita dalam membina anak-anak muda akan selalu menemui masalah yang berat, tetapi sebagai orang tua kita janganlah terlalu cepat menyerah untuk menghadapi pencobaan dunia ini.
Tuhan memberikan akal dan kemampuan berpikir dan bertindak di dalam melaksanakan pengajaran-pengajaran yang bermutu kepada anak-anak kita. Oleh sebab itu, berusahalah semaksimal mungkin dalam menjaga sikap, moral dan karakter mereka (anak muda) sesuai arahan firmanNya, meskipun iblis melalui perantaraan dunia ini juga dapat mempengaruhinya dengan cara-cara yang tidak dapat diprediksikan oleh kita. Jadi, jalan satu-satunya adalah dengan terus menerus memberikan pendidikan karakter dan moral yang efektif kepada mereka (anak muda / remaja) dimanapun dan kapanpun.
Harapan saya, dengan uraian dan penjelasan singkat ini, dapat menolong kita semua, terutama para pendidik (guru, pembina, pelatih, pendeta, orang tua, dll) agar menyadari situasi sekarang ini, serta bertindak se dini mungkin dalam menjaga dan melindungi sumber daya manusia (generasi penerus bangsa), melalui pendidikan karakter yang berkualitas dan efektif.
SumberÂ
Binsen Samuel Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul : Suatu Pendekatan Teologis terhadap Pendidikan Karakter. Â Yogyakarta : Penerbit ANDI, 2011
Andar Ismail (Penyunting), Ajarlah Mereka Melakukan : Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan Agama Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H