Felix Juanardo Winata
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Sejarah Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi
Korupsi sudah merajalela jauh sebelum Indonesia merdeka. Dahsyatnya korupsi di Indonesia telah dipraktikan dari zaman penjajahan, bahkan korupsi menjadi salah satu faktor utama bangkrutnya perusahaan dagang terbesar di Hindia Belanda pada tahun 1799 yaitu Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).Â
Korupsi juga menjadi kasus yang sangat merajalela dan masif dilakukan pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Namun, penegakan dan pemberantasan atas praktik-praktik korupsi tersebut memang belum optimal, karena tidak ada political will dari pejabat-pejabat negara pada zaman tersebut.
Pasca runtuhnya kekuasaan Soeharto selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden, muncul semangat reformasi yang salah satu agendanya ialah menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sehingga selang 4 (empat) tahun setelah runtuhnya Orde Baru, munculah suatu lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.Â
Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan hasil dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Â
Berdirinya KPK merupakan respon dari pemerintah karena adanya ketidakpercayaan rakyat terhadap beberapa lembaga penegakan hukum seperti Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang seringkali tersangkut dalam praktik korupsi yang dilakukan secara masif.
17 (tujuh belas) tahun KPK berdiri, lembaga tersebut telah berhasil menyelesaikan beberapa kasus besar yang ada di Indonesia. Namun, banyak juga kasus-kasus yang belum dapat diselesaikan oleh KPK karena beberapa hal yang membenturkan KPK dengan kepentingan-kepentingan eksternal, seperti kasus Bank Century, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus E-KTP, kasus Megaproyek Hambalang, dan masih banyak kasus lainnya yang belum terselesaikan oleh KPK.
Gencarnya KPK dalam memberantas korupsi telah membuat banyak elit politik yang merasa terganggu dengan keberadaan dan kewenangan yang dimiliki oleh KPK. Banyak pihak yang menilai KPK merupakan lembaga yang overpower, sehingga harus dibatasi kewenangannya. Elit yang merasa terganggu bukan saja berasal dari kalangan legislatif, tapi juga dari kalangan eksekutif, atau bahkan yudikatif.
Pelemahan Terhadap KPK
Sehingga baru-baru ini, muncul respon janggal yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang di akhir masa jabatan 2014-2019 oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dimana DPR telah mengesahkan rancangan perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang disetujui dengan waktu yang sangat singkat. Bahkan RUU a quo telah banyak melemahkan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, hal ini tentunya membuat masyarakat resah terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pembentuk RUU a quo. Adapun beberapa poin pelemahan KPK yang terdapat dalam RUU a quo antara lainnya adalah:
- Menghilangkan kewenangan pimpinan KPK sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyidikan dan penuntutan, lalu menggeser kewenangan tersebut kepada Dewan Pengawas;
- Mensyaratkan KPK untuk meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan;
- Menghilangkan kewenangan KPK untuk merekrut penyelidik independen;
- Penetapan status kepegawaian KPK sebagai ASN yang akan mengganggu independensi dalam melaksanakan tugasnya;
- Peran Dewan Pengawas yang terlalu mendominasi, karena Dewan Pengawas juga memiliki kewenangan untuk mengintervensi KPK dalam melakukan kewenangannya sehari-hari dalam penanganan teknis perkara;
- Dewan Pengawas dibentuk oleh DPR, padahal DPR menjadi salah satu lembaga yang terkorup di Indonesia;
- Perkara yang mendapatkan perhatian dari masyarakat tidak lagi menjadi salah satu poin kriteria kasus yang dapat ditangani oleh KPK;
- Kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam hal penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun; dan
- Pelaporan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang tidak lagi dikelola oleh KPK.
Problematika Produk Hukum Pembentukan KPK
Menurut hemat penulis, pelemahan terhadap KPK dapat timbul karena produk hukum yang menaungi kelembagaan serta kewenangan KPK hanya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Hal tersebut seakan-akan menjadikan KPK sebagai suatu lembaga negara yang harus tunduk semata-mata kepada pembentuk undang-undang.Â
Sehingga, apapun yang dirumuskan dalam ketentuan undang-undang oleh DPR dan Presiden, harus dilaksanakan oleh KPK. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seringkali dilakukan oleh DPR dan juga jajaran eksekutif, yang mana juga merupakan pihak yang membentuk suatu undang-undang.Â
Sehingga DPR dan Presiden cenderung akan melakukan abuse of power untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan cara melemahkan pemberantasan korupsi lewat perubahan UU KPK.
Untuk mengatasi hal tersebut, menurut hemat penulis, perlu adanya suatu Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar, yang menjadikan KPK sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini tentu harus dilakukan guna mewujudkan prinsip-prinsip konstitusionalisme menurut Ni'matul Huda, yang menyatakan bahwa konstitusionalisme adalah suatu prinsip yang mengatur megenai pembatasan kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.Â
Dengan adanya konstitusionalisme diharapkan hak-hak warga negara maupun hak-hak lembaga negara akan lebih terlindungi oleh konstitusi. Sehingga terjadi pembatasan kewenangan yang dimiliki oleh KPK dan juga terdapat guideline yang dapat memandu pembentuk undang-undang dalam membentuk UU KPK itu sendiri.Â
Sehingga KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang semata-mata hanya dibentuk berdasarkan produk hukum undang-undang, dan juga bukan merupakan suatu open legal policy yang sangat luas bagi pembentuk undang-undang dalam hal mengatur KPK, sehingga KPK tidak mudah untuk dilemahkan atau bahkan dibubarkan.
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Denny Indrayana, yang menyatakan bahwa KPK sudah seharusnya berada di dalam konstitusi karena hal tersebut dapat meredam beragam upaya oknum yang ingin melemahkan kewenangan dan keberadaan KPK.Â
Selain itu pendapat ini juga diperkuat oleh pendapat Jimly Asshidiqie, yang menyatakan bahwa KPK sudah seharusnya dimasukan kedalam konstitusi karena KPK harus dijadikan lembaga yang permanen, karena jika hanya dibentuk undang-undang, kedudukannya sangat rapuh dan seakan-akan hanya merupakan lembaga yang bersifat sementara.
Sebagai perbandingan, sebetulnya sudah ada beberapa lembaga negara independen yang dimasukan dalam UUD NRI Tahun 1945, seperti Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, dan Badan Pemeriksa Keuangan.Â
Selain itu, masuknya lembaga negara independen seperti KPK dalam konstitusi juga dilakukan oleh beberapa negara seperti Brunei Darussalam, Timor Timur, Malaysia, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Afrika Selatan. Hal ini dapat diwujudkan karena setiap negara memiliki ciri khasnya masing-masing dalam kebutuhannya masing-masing pula.
Namun, meski KPK telah masuk dalam UUD NRI Tahun 1945, tidak berarti KPK sepenuhnya dalam posisi yang aman. KPK tidak sepenuhnya aman karena MPR bisa saja merubah isi daripada UUD NRI Tahun 1945 tersebut yang mengatur mengenai KPK dan kembali melakukan pelemahan terhadap KPK.Â
Namun jelas, upaya perubahan UUD NRI Tahun 1945 jauh lebih sulit dibandingkan perubahan undang-undang. Sehingga hal ini diharapkan dapat menjadi 'angin segar' bagi KPK dalam mewujudkan salah satu tuntutan reformasi, yaitu menciptakan pemerintahan yang bebas dari KKN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H