Saat melihat altar batu Warloka di internet yang diletakkan di atas 4 kaki batu, saya langsung teringat pada  altar batu di kampung lama kami di Doka nua olo ( kampung lama Doka yang  saat ini telah menjadi kebun kopi warga karena kampung Doka telah dipindahkan ke dataran yang lebih rendah sekitar 100 tahun yang lalu) di Kecamatan Golewa - Kabupaten Ngada.  Sebagai orang Flores, saya berikhtiar, harus menjejakkan kaki di situs yang amat berharga ini untuk menelusuri kembali asal-usul saya sebagai orang Flores hingga beberapa milenium ke belakang.Â
Warloka memberi pesan ilmiah dan moral yang kuat kepada seluruh orang Flores, apapun suku, agama dan budayanya, bahwa mereka adalah satu darah dari satu nenek moyang yang sama. Realitas perbedaan yang sekarang ada yang lebih disebabkan karena isolasi geografis yang menyebabkan interaksi antar saudara dalam waktu yang lama. Dalam rentang waktu itu mereka mengembangkan budayanya masing-masing, khas manusia untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungan fisik di mana mereka tinggal.Â
Warloka Misteri Penuh Pesona
Bagi kebanyakan orang, bahkan orang Flores sendiri, Warloka - sebuah desa nelayan yang berada di tenggara Labuan Bajo itu, mungkin kurang dikenal. Namun tempat ini memiliki misteri penuh pesona dan menjadi objek studi antropologis sejak 70 tahun yang lalu.Â
Misteri dan pesona itu terkait  dengan keberadaan situs arkeologis. Pada suatu masa di waktu lampau, daerah itu sangat mungkin merupakan tempat tinggal manusia modern yang ramai  yang menandai masuknya peradaban homo sapiens di tanah itu.Â
Momentum itu  menandai peziarahan manusia modern hingga Australia dan kepulauan Pasifik. Momentum itu juga menandai persaingannya dengan penghuni asli Nusa Nipa,  Homo Floresiensis yang artefaknya saat ini ditemukan di Flores bagian barat, mulai dari  daerah Manggarai hingga Soa di Kabupaten Ngada.Â
Sebagai sebuah situs arkeologis, Warloka sebetulnya sudah lama dikenal secara terbatas oleh komunitas ilmiah. Dimulai  dari ekspedisi  pertama yang beranggotakan beberapa misionaris SVD yang berkedudukan di daerah misi Flores. Buku Pedoman Museum STF-TK Kampus Ledalero - Flores menuliskan bahwa lawatan pertama terjadi pada bulan Agustus 1950, terdiri dari pastor Dr. Th. Verhoeven, SVD,  Uskup Mgr. van Bekkum, SVD dan Pastor Mommersteeg, SVD. Â
Dengan berjalan kaki dari Labuan Bajo, mereka tiba di kampung Warloka setelah 4,5 jam. Di kampung itu mereka menemukan satu tempat bekas kampung (bandar ) lama bernama Berloka (orang setempat lazim menyebut Werloka) yang kaya akan sisa-sisa kebudayaan megalith yang dikenal sebagai kebudayaan batu-batu besar.Â
Setahun kemudian, pada bulan Juli 1951, oleh Misi SVD diadakan satu ekspedisi lagi ke Manggarai Barat secara umum dan Warloka secara khusus bersama beberapa siswa seminari Mataloko. Mereka melakukan penggalian sistematis di Liang Momer dan Liang Panas dekat Labuan Bajo.Â
Dari penggalian itu ditemukan peralatan batu, tengkorak dan tulang-tulang manusia dan dipastikan sebagai manusia Proto Negrito (tinggal di gua-gua, makan buah-buahan, akar-akaran dan hasil buruan). Penelitian ilmiah terakhir dilakukan oleh ekspedisi dari Universitas Gajah Mada. Tim UGM melakukan penggalian di Warloka dan menemukan kerangka seorang wanita yang dikuburkan bersama beberapa properti sebagai bekal bagi arwah wanita tersebut. Namun sayang hingga kini belum ada publikasi massa terkait penemuan itu.Â
Terkait eksistensi Warloka yang sangat penting, sangat baik kalau kita "merasakan" pengalaman seorang wartawan, yaitu Hendrik Hadi yang pernah datang ke sana seperti yang ia tuangkan majalah Vox Seri 20/5/1973:Â
"Hari itu tanggal 21 Juli 1973. Tepat jam 15.00. Akal. Aku duduk. Dengan agak relaks. Beralaskan rerumputan. Di pinggir hutan nan rindang. Di atas puncak Werloka di lepas pantai barat Flores "(hlm.5).Â
Dari lokasi barang-barang kuno tampaklah sejauh mata memandang ke arah barat. "Pandangan kami terpancang pulau-pulau ke arah barat. Di sebelah kiri dan kanan, diantara pohon-pohon rindang bersemak yang barusan kulalui tadi, berserakan puluhan balok-balok besar yang panjangnya kurang lebih 4 m sampai dengan 5 meter" (hlm.6).Â
"Tiang-tiang dari balok-balok batu itu, terdapat dalam wilayah seluas sekitar 3 kilometer persegi sekitar sini. Puluhan balok berserakan dengan panjang kurang lebih 4 m hingga 5 m. Di atas puncak bukit di sana (sebelah kiriku, ada sebuah meja batu, di pulau Rinca di bawah sana, terdapat pula tiang dan balok batu seperti ini, juga di sana, di bukit di bawah sana ( ke kanan ) terdapat pula batu-batu seperti ini", demikian keterangan bapak Willem Waku pada 39 tahun lampau.Â
Dua buah tiang dari batu, berbentuk seperti tiang kayu, sedang berdiri miring, tumbuh berdiri kokoh di atas tanah berkerikil yang keras. Keempat sisinya masing-masing licin bak diskap, dan bagian atasnya masing-masing berbentuk seperti sebuah ujung sebuah tiang kayu persegi empat. Posisi artefak-artefak yang berserakan di situ memberikan kesan seolah sedang ada persiapan membangun rumah baru."Â
Berdasarkan deskripsi Hendrik Hadi di atas, dapat kita simpulkan bahwa Warloka bahkan hingga Pulau Rinca adalah sebuah situs daerah purbakala manusia modern masa megalitikum.Â
Dalam periodesasi persebaran manusia, penganut budaya megalitikum ini dikenal sebagai ras Austronesia. Peninggalan budaya megalitikum berupa menhir, dolmen, tabular batu, patung batu, dan sebuah struktur mirip piramida bernama Punden Berundak di beberapa situs sekitar Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan kepulauan Sunda Kecil.Â
Dari penggalian ekspedisi pertama dan kedua yang dilakukan Misi SVD ditemukan beberapa peninggalan terpenting; di antaranya Porselin Tiongkok yang terdiri dari piring, buyung dan cangkir yang berasal dari Zaman Yung 960-1279, terdapat di kuburan Rinca dan Werloka. Bersama porselin terdapat pula mata uang. Kedua, alat-alat batu dari zaman batu tua dan tengah terdapat di dua buah bukit di Werloka dan sebuah bukit di pulau Rinca.Â
Ziarah Manusia Modern - Misteri Yang Kian Terkuak
Menurut Theory Out of Africa , diperkirakan 50 sampai 60 ribu tahun lalu manusia modern telah mencapai Australia melewati dataran Sunda dan dataran Sahul lebih dahulu sebelum menyebar di wilayah Asia dan Pasifik lainnya. Apakah nenek moyang orang Flores termasuk gelombang pertama pada 50 - 60 ribu tahun lalu itu? Semuanya masih merupakan misteri. Namun misteri itu kini semakin tersingkap berkat kemajuan sains, terutama biologi molekuler dan arkeologi modern.Â
Pakar genetika populasi asal Italia, Luigi Luca Cavalli-Sforza ( 2000 ) menegaskan bahwa membagi manusia dalam "ras" adalah usaha yang keliru. Ia mengatakan bahwa secara biologis, hanya ada satu ras manusia modern, yaitu Homo Sapiens, walaupun kemudian tiap populasi  mengembangkan budaya yang berbeda. Bahkan perbedaan ciri fisik lebih disebabkan karena proses adaptasi terhadap lingkungan fisik di mana mereka tinggal.Â
Untuk Indonesia sendiri, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Harawati Sudoyo menolak pemisahan populasi manusia Indonesia timur dan barat. Menurutnya, genetika manusia Indonesia adalah produk campuran dua atau lebih populasi moyang, walaupun presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia dan  presentasi genetika Papua lebih tinggi di bagian timur Indonesia.Â
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan keberagaman manusia Indonesia, gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal-usulnya tetap satu, yaitu dari Afrika (out of Africa). Truman menyatakan bahwa imigran awal Afrika mencapai kawasan Indonesia sekitar 60.000 tahun lalu. Menurutnya, mereka adalah nenek moyang jauh sebagian masyarakat Indonesia di kawasan timur yang sekarang sering disebut Melanesia.Â
Bukti-bukti bukti awal manusia modern ini bisa ditemukan di banyak situs di Jawa Timur ( Song Terus, Braholo dan Song Kepek ), Sulawesi Selatan ( Leang Burung, dan Leang Sekpao ) serta di sejumlah wilayah wilayah lain di Indonesia. Temuan lukisan tangan di Leang Timpuseng - Maros yang berusia 40.000 tahun, merupakam lukisan tertua di dunia juga terkait erat dengan kelompok imigran awal ini.Â
Di akhir zaman, sekitar 12.000 tahun lalu, menurut Truman, kembali terjadi ke kepulauan Nusantara sebagai akibat perubahan iklim. Mereka datang dari Asia daratan dan membuat diaspora ke berbagai arah, termasuk ke Nusantara.Â
Kelompok manusia yang dikenal sebagai Austromelanesia atau Austroasiatik ini kemudian mengembangkan hunia goa yang sebelumnya juga dilakukan manusia imigran pertama dan melanjutkan tradisi berburu serta meramu. Gelombang berikutnya ke Nusantara adalah kedatangan populasi austronesia ( Out of Taiwan ) sekitar 4.000 tahun silam.Â
Hipotesis Tentang Eksistensi Manusia Flores
Berdasarkan teori-teori yang ada, baik teori  out of Africa secara umum, maupun teori perubahan iklim global dan teori out of Taiwan, kami mengungkapkan beberapa hipotesa terkait keberadaan manusia Flores.Â
Pertama , Manusia Flores adalah Homo Sapiens Africa seperti yang dikatakan oleh Teori Out of Africa. Dalam bukunya, The Incredible Human Journey ,   Dr. Alice Roberts  memperkirakan bahwa homo sapiens, manusia modern yang melakukan dari Afrika barat daya sekitar 70.000 tahun yang lalu, ketika iklim bumi berubah, dan Gurun Sahara menghijau hanya beberapa ratus tahun. Kesempatan ini mendukung sekelompok manusia meninggalkan  Afrika lewat Gurun Sahara dan kelompok ke jazirah Arab di sebelah selatan. Dari sana kelompok itu memecah diri. Ada yang tinggal, ada yang menuju ke timur dan ada yang menuju ke barat lalu ke arah barat laut dan memasuki benua Eropa.Â
Karena merupakan bagian dari manusia modern yang mengembara ke mana-mana, sangat mungkin orang-orang Flores saat ini di dalam dirinya tertanam DNA manusia modern gelombang pertama yang tiba di tanah ini sekitar 40 tahun lalu dan berbagi nenek moyang yang sama dengan penduduk asli Australia, orang Papua dan orang-orang Oseania. Mengapa dikatakan sangat mungkin?Â
Karena secara fisik dan budaya, ada batasan antara manusia yang mendiami ujung barat Lautan Pasifik ini. Ada kemiripan fisik manusia di antara 200 negara yang tergabung dalam Melanesian Spreadhead Group , seperti Fiji, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Timor Leste dan Indonesia bagian Timur yang mencakup Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT.Â
Oleh penjelajah Perancis - Jules Dumont d'Urville orang-orang yang mendiami kawasan ini disebutMelanesia dari bahasa Yunani Melano -- nesos artinya nusa hitam. Bahkam 11 kabupaten dari 22 kabupaten di NTT dengan latar belakang budaya Melanesia.Â
Bahkan orang Manggarai yang selama ini tidak dimasukkan dalam bilangan orang-orang Melanesia secara kasat mata memiliki akar Melanesia yang terekspresi dalam bentuk rumah adatnya. Mbaru Niang yang berada di Wae Rebo dan saat ini dikategorikan sebagai Warisan Dunia memiliki wilayah yang akurat dengan rumah adat orang Papua - Honai.Â
Bahkan Gendang Mbaru yang merupakan rumah adat orang Manggarai pada umumnya, walaupun sudah mengalami evolusi dari sisi bentuk dan strukturnya, secara mendasar tetap membawa 'DNA' rumah adat Melanesia yang umum ditemukan di Timor, Alor dan tentunya Papua.Â
Kedua, Manusia Flores adalah Perpaduan antara Homo Sapiens Africa Gelombang Pertama dengan manusia gelombang kedua yang datang dari Asia sekitar 12.000 tahun lalu. Secara historis, kedua populasi itu sebetulnya berasal dari nenek moyang  yang sama dan berbagi jalan di anak benua India sekitar 60.000 tahun silam.Â
Lalu kenapa ada perbedaan fisik di antara mereka kalau dikatakan berasal dari nenek moyang yang sama -- Homo Sapiens? Perbedaan itu disebabkan karena faktor lingkungan fisik -- tempat tinggal. Berbeda dengan populasi gelombang pertama yang mendiami wilayah Kepulauan Nusantara, termasuk Flores di dalamnya.Â
Daerah ini berada di  katulistiwa yang kaya sinar matahari sehingga tidak terjadi perubahan fisik yang mendasar. Kelompok kedua ini, sebetulnya juga berasal dari Afrika tetapi berbagi jalan migrasi di anak benua Asia sekitar 60.000 tahun lalu. Mereka mengambil jalan ke utara menuju daratan yang sekarang dikenal dengan nama Yunan di Tiongkok yang terletak di daerah sub-tropis.Â
Berada di daerah sub-tropis selama selama kurang lebih 20.000 -- 30.000 tahun menyebabkan terjadinya adaptasi-evolutif sehingga kulit mereka memudar karena kehilangan pigmen dan lama kelamaan menjadi putih. Â
Homo sapiens yang kulitnya terang ini, selanjutnya 12.000 tahun lalu,  sebagian  populasinya  ini melakukan migrasi ke arah tenggara menuju kepulauan Nusantara dan bertemu kembali dengan saudara-saudari mereka gelombang pertama. Terjadi interaksi dan perkawinan  sehingga menghasilkan populasi baru yang disebut Austromelanesia atau Austroasiatik. Hal yang sama juga terjadi di Flores.Â
Ketiga, Manusia Flores, terutama bagian barat hingga tengah adalah perpaduan antara Austromelanesia dengan manusia yang memasuki Indonesia yang disebut dalam Teori Out Of Taiwan . Teori ini menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Kepulauan Formosa (Taiwan), bukan dari Yunan seperti yang tertulis dalam buku-buku sejarah hingga saat ini.Â
Teori ini didukung oleh Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof.Dr.Sangkot Marzuki karena ditemukan adanya kecocokan genetika. Hal ini juga terjadi oleh pola pendekatan linguistik yang telah diteliti oleh beberapa antropolog seperti Harry Truman Simanjuntak.
 Ia menyatakan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan suku-suku di Nusantara berasal dari satu rumpun yang sama, yang dinamakan Rumpun bahasa Taiwan. Manusia modern Dari Taiwan, terutama yang datang  dari utara - Sulawesi telah melakukan interaksi yang intensif, terutama dalam bentuk perkawinan dengan penduduk asli Flores yang mendiami wilayah paling barat Flores yang dikenal sebagai Orang Manggarai saat ini.
Intensitas interaksi itu semakin jarang ke wilayah timur. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya sedikit perbedaan ciri fisik antar Orang Manggarai dengan Orang Ngada-Nage Keo dan Ende-Lio. Namun semakin ke timur manusia Di luar Taiwan semakin resesif dan ciri-ciri manusia Melanesoid tetap "terpelihara" dengan baik. Inilah mengapa secara fisik, kita menemukan antara menemukan Orang Manggarai dengan Orang Sikka dan Lamaholot.
*Pernah dimuat di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H