[caption caption="Bersama anak-anak suku dayak di Rumah Betang Panjang Desa Saham - Dok Felix Kusmanto"][/caption]Berbeda dengan hari pertama yang bisa dibilang lebih seperti city tour, hari kedua (Rabu , 27/1/2016) dari Datsun Risers Expedition Etape 3 lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan raya provinsi. Bersama beberapa kompasianer, tim Datsun Indonesia, tim kompasiana dan tim kompas.com, kemarin kita beriring-iringan untuk mencapai Desa Saham. Desa Saham sendiri terletak kurang lebih 200 KM arah utara kota Pontianak. Jalurnya kurang lebih mirip dengan Jalan Nasional 3 di selatan pulau jawa - satu jalur disetiap arahnya, lahan kosong dan pemukiman bergantian di sisi kiri dan kanannya. Yang membedakan jalur ini dengan Jalan Nasional 3 adalah jumlah kendarannya yang lebih sedikit sehingga tidak perlu sering menyalip dan di jalur ini tidak terlalu banyak lubang meski terkadang bergelombang. Kemarin Performa dan kenyamanan Datsun GO+ Panca bisa dibilang ditest untuk pertama kalinya untuk Etape 3. Hasilnya jujur baik, bensin hanya habis 2 bar (bahkan mobil tim no 4 hanya turun 1 bar) dan jalan bergelombang tidak menggangu sama sekali karena suspensi yang baik. Bravo!
Sepanjang perjalanan yang santai dan penuh tawa ini kami melihat bagaimana masyarakat Kalimantan Barat beraktifitas di pasar-pasarnya, kebun-kebun sawit korporasi dan perorangan dan juga barang jajanan yang tidak lazim di pulau Jawa yaitu kelawar. Ada yang mau kelawar? Selama kurang lebih 4 jam perjalanan, kami hanya berhenti dua kali. Pertama berhenti untuk istirahat ke toilet di sebuah SPBU dan kedua istirahat ngopi (dan makan nasi goreng ha ha) di Gunung Sehaq.
[caption caption="Gunung Sehaq - Dok Felix Kusmanto"]
Rumah Betang Panjang Saham, Bukan Rumah Betang Biasa
Dari kedai Melda, hanya butuh kurang lebih 30 menit untuk mencapai Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Apa yang menarik dari Desa Saham ini adalah Rumah Betang Panjang yang dimilikinya? Rumah Panjang yang berada 7 meter di atas permukaan tanah ini memiliki panjang sekitaran 180 meter, terpanjang di jenisnya. Lebih dari ukurannya, rumah panjang yang dibangun dengan kayu ulin ini nyatanya bisa dbilang rumah betang panjang yang paling otentik dan lestari, hal ini karena rumah yang ditempati turun menurun ini masih ditempati kurang lebih 40 kepala keluarga disaat banyak rumah betang panjang lainnya sudah menjadi tempat upacara adat saja.
Terlepas dari ukuran dan kelestarian yang masih terjaga sampai saat ini, yang sangat menarik untuk saya pribadi adalah orang yang tinggal didalamnya dan bagaimana mereka memperlakukan kami sebagai tamu.
Iring-iringan kami sampai di desa saham kurang lebih pukul 1 siang. Mengetahui kehadiran kami yang telah ditunggu-tunggu, anak-anak kecil suku dayak berhamburan lari ke teras depan rumah panjang. Mereka berbaris sambil melambai-lambaikan tangan mereka dengan senyum yang luar biasa lebar, rasa yang jarang saya (mungkin juga peserta lain) rasakan. Sesampainya disana kami disambut Pak Panus selalu sekdes desa Saham.
[caption caption="Kegiatan CSR Datsun Indonesia di Desa Saham - Dok Felix Kusmanto"]
Yang saya rasakan bermain dengan adik-adik ini hanyalah energi yang luar biasa. Seakan-akan energi mereka mengalahkan keterbatasan yang ada disekitar mereka. Senyuman dan energi mereka menghapus semua rasa lelah yang terpancar dari orang-orang tua yang ikut menikmati kegiatan kami. Terus lah semangat!
Sesudah bermain, saya mencoba menghabiskan waktu bersama pak Panus. Saya diundang main ke rumahnya yang udaranya adem plus semilir. Sembari cerita santai tentang kehidupan komunal di rumah panjang ini saya bertanya kepada Pak Panus apa yang pak Panus harapkan dari Indonesia. Pak Panus terdiam dan tersenyum. Tidak lama Pak Panus berkata “harapannya sederhana, semoga pemerintah Indonesia bisa bantu pembangunan desa”. Menurutnya pembangunan di desanya terhambat dana dan penyebaran informasi.
[caption caption="Tim Risers 5 bersama anak-anak suku dayak desa Saham - Dok Debby Amalia King"]
Saat saya tanya mengapa pak Panus memilih menjadi PNS, pak Panus hanya menjawab singkat “Saya menjadi PNS agar aspirasi terwakili dan bisa aktif membangun desa, jika tidak siapa lagi, itu lah kenapa”. Diakhir percakapan kami sebelum beranjak pak Panus berharap “semoga Indonesia menjadi lebih mandiri”. Saya hanya tersenyum mendengar harapan pak Panus.
Kepergian kami juga di tutup dengan senyuman lebar dan lambaian tangan kecil anak-anak kecil tadi, asa yang terus menyala dari daerah terpencil kalimatan barat. Asa yang harus terus dirajut di dalam ketidakpastian yang ada. Asa yang harus terus dirajut oleh mereka yang duduk di gedung bupati megah dan kita yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri.
Salam semangat
Felix Kusmanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H