Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Sebuah kutipan dari kakawin Sutasoma yang ditulis 7 abad yang lalu, ketika agama mayoritas di Nusantara adalah Buddha dan Hindu. Mpu Tantular, sang penulis cerita, mengajarkan suatu nilai yang sangat penting melalui kakawin yang ia gubah : toleransi antar umat beragama. Pada masa itu pula, Majapahit mencapai masa kejayaannya dan terkenal memiliki budaya toleransi yang tinggi.
600 tahun kemudian, frasa Bhineka Tunggal Ika kembali muncul di Nusantara. Indonesia yang baru saja merdeka menjadikannya sebagai semboyan Negara. Para pendiri NKRI memilih Bhineka Tunggal Ika untuk mengingatkan bangsa Indonesia pada masa itu dan pada masa yang akan datang bahwa kemerdekaan diraih melalui perjuangan panjang para pahlawan dalam persatuan. Kekuatan Indonesia lahir dari persatuan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda, bukan persamaan.
Sayangnya, nilai yang telah ditanamkan sejak ratusan tahun yang lalu kini telah pudar. Bhineka Tunggal Ika hanya sekadar kata-kata yang tergantung di bawah Garuda lambang Negara kita. Pendidikan kewarganegaraan di sekolah hanya menjadi angin lalu bagi mereka yang memecah persatuan bangsa.
Internet katalis perpecahan
Pemudaran nilai persatuan semakin dipercepat oleh perkembangan teknologi yang telah mengubah cara kita berkomunikasi, terutama komunikasi tertulis. Kini dengan adanya gadget yang didukung jaringan internet, komunikasi tertulis yang dulunya membutuhkan waktu lama dapat dilakukan dengan sangat mudah, tidak terbatas oleh jarak dan waktu. Akan tetapi, banyak masyarakat Indonesia yang belum siap untuk menghadapi luasnya dunia maya dengan konten yang sangat banyak, termasuk provokasi.
Para provokator dunia maya dengan mudahnya menyebarkan konten SARA dengan fasilitas internet – melalui berita palsu, post dalam media social, broadcast message, dan cara-cara lain. Konten – konten semacam ini yang kemudian ditemukan oleh pengguna internet yang belum siap secara mental menjadi pemicu perpecahan bangsa. Ibarat anak kecil disuguhi permen, para pengguna dunia maya dengan mudahnya termakan oleh provokasi yang ada. Akibatnya, muncul ribuan“perang” dalam dunia maya untuk membela golongannya masing-masing.
Perang yang terjadi setiap hari ini memberi sebuah dampak yang menyebar bagai virus di masyarakat : muncul stereotipe negatif terhadap golongan yang terlibat dalam “perang” tadi. Stereotipe ini membutakan masyarakat dari kenyataan yang ada. Golongan A menganggap semua golongan B buruk, begitu juga sebaliknya sehingga golongan A dengan golongan B bermusuhan, kemudian permusuhan ini diturunkan kepada anak – cucunya. Hal-hal seperti inilah yang menjadi pukulan besar pada pondasi NKRI yaitu kesatuan dan persatuan hingga mengguncangkan perdamaian Negara.
Indonesia perlu perubahan dalam menyikapi provokasi. Kebiasaan lama masyarakat Indonesia perlu diperbaiki. Untuk itu kita harus memetik pelajaran dari salah satu negara yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia : Amerika Serikat.
Lawan Benci dengan Cinta
Kalimat di atas adalah kutipan dari seorang tokoh pejuang hak sipil paling berpengaruh dalam sejarah Amerika-Martin Luther King Jr-ketika terjadi pemboman yang terjadi dengan latar belakang diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Ketika itu sedang terjadi perjuangan hak sipil bagi ras Afirka-Amerika. Gerakan ini diawali pada tahun 1955 ketika terjadi penangkapan seorang kulit hitam bernama Rosa Parks. Wanita ini ditangkap polisi karena ia menolak memberikan tempat duduknya dalam bis kepada orang kulit putih. 1 tahun kemudian, Mahkamah Agung AS memutuskan untuk menghapus pembagian tempat duduk bis berdasarkan ras. Pergerakan ini tidak berhenti sampai di situ. Gerakan ini menyebar ke seluruh AS hingga pada tahun 1964, Presiden Lyndon Johhnson menandatangani UU yang melarang segala bentuk diskriminasi
Bagaimana gerakan tersebut dapat berhasil? Selama bertahun-tahun gerakan tersebut mendapat penolakan. Demonstrasi damai yang dilakukan dibalas dengan cacian dan kekerasan. Terjadi pemukulan, penangkapan, penyiksaan terhadap pejuang hak sipil, namun Martin Luther King Jr. telah berhasil menanamkan sebuah kebiasaan baik dalam gerakan tersebut. : lawan benci dengan cinta. Para aktivis tidak pernah membalas kekerasan yang dilakukan kepada mereka dengan kekerasan juga, melainkan dengan cinta dan pengampunan.
Bangsa Indonesia, juga perlu menanamkan kebiasaan lawan benci dengan cinta. Ketika menemukan konten provokasi, tidak perlu dibalas dengan cacian dan makian, namun dengan cinta dan pengampunan. Kebiasaan ini dapat meluas menggantikan kebiasaan melawan benci dengan benci. Kebiasaan damai di dunia maya ini kemudian dapat menyebar ke dunia nyata. Dan seperti yang terjadi dengan geraka Martin Luther King Jr, kebiasaan ini bisa memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Inilah yang diharapkan menjadi senjata paling ampuh untuk mematikan para provokator dunia maya dan menumbuhkan toleransi dalam masyarakat.
Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai dasar, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan, dan berbagai UU anti diskriminasi, sudah sepantasnya kita bersikap dan bertindak dengan penuh toleransi. Marilah kita wujudkan cinta kita pada tanah air. Marilah kita kembali menghidupkan nilai persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, sebab lukisan yang paling indah terdiri dari berbagai warna, harmoni yang paling merdu tersusun dari berbagai nada, dan bangsa yang paling hebat bersatu dalam keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H